Ibu dan anak-anak dalam pusaran teror bom Surabaya
Tiga aksi teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo melibatkan ibu dan anak-anak.
Minggu pagi (13/5), publik dikagetkan dengan ledakan di tiga gereja di kawasan Surabaya, Jawa Timur. Aksi teror bom itu menelan korban jiwa dan luka.
Tak lama berselang, pada malam harinya, ledakan kembali terjadi. Kali ini di sebuah rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Wonocolo, tepat di belakang kantor Polsek Taman, Sepanjang, Sidoarjo.
Keesokan harinya, Senin (14/5), aksi bom bunuh diri kembali terjadi. Mapolrestabes Surabaya menjadi sasaran teroris yang juga mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka.
Masyarakat geram. Indonesia berduka. Bahkan, Presiden Joko Widodo menyebut aksi brutal bom bunuh diri itu biadab dan di luar nalar kemanusiaan.
Lebih mengagetkan lagi, aksi teror di Jawa Timur itu dilakukan oleh keluarga. Identifikasi oleh kepolisian mengungkap aksi bom bunuh diri juga dilakukan oleh ibu dan anak-anak.
Keluarga Dita Oeprianto dan Puji Kuswati bersama keempat anaknya, YF, FH, FS dan FR, tewas dalam aksi bom bunuh diri di tiga gereja terpisah di Surabaya, Jawa Timur (Facebook)
Radikalisme pada anak
Adalah YF, remaja berusia 17 tahun, anak tertua Dita Oeprianto. Dita mengajak istri dan empat anaknya untuk melakukan aksi bom bunuh diri di tiga gereja secara terpisah di Surabaya.
YF membonceng sang adik FH mengendarai sepeda motor. FH yang baru berusia 15 tahun itu memangku bom di antara dirinya dan YF. Kemudian, mereka meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Surabaya.
Penelusuran akun media sosial FH, terungkap bahwa remaja ini terbilang pintar. FH selalu masuk peringkat 3 besar di kelasnya. Bahkan, FH yang tak suka Matematika dan lebih menyukai Biologi itu pernah menjabat ketua OSIS semasa kelas 2 SMP.
Seperti remaja-remaja lain, FH suka bermain game online dan aktif menggunakan media sosial. Dia juga kerap berseloroh dengan teman-temannya. FH terbilang anak yang ceria.
Tak berbeda, sang kakak tertua YF juga tampak seperti remaja sebayanya. YF juga menyukai game online counter-strike, gemar kartun, suka berbagi kekonyolan dalam 9gag, MCI, 1CAK, Mice, dan lainnya. Namun, keduanya tampak terakhir aktif di medsos pada Desember 2017.
Game counter-strike kesukaan YF dan FH (counter-strike)
Sedangkan, dua adik perempuan mereka yakni FS dan FR. Usia FS adalah 12 tahun, dan si bungsu 8 tahun. Kakak beradik itu juga tampak sangat dekat satu sama lain.
Keempat kakak beradik itu juga beberapa kali tampak berlibur bersama sang ayah dan ibunya. Misalnya, pernah mengunggah foto bermain arung jeram, di pantai, hingga di halaman sebuah hotel.
Sang Ibu, Puji Kuswati, membawa serta FS dan FR untuk melakukan aksi bom bunuh diri di GKI Diponegoro, Surabaya. Sedangkan, Dita ayahnya, meledakkan diri di Gereja Pantekosta Jalan Arjuno, Surabaya.
Lain lagi kejadian di Rusunawa Wonocolo. HAR berusia 17 tahun. Dia anak pertama dari Anton Ferdiantono, teroris yang ditembak mati oleh polisi di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo.
Tampaknya, bom yang tengah dirakit oleh Anton itu meledak dan merenggut nyawa anak dan istrinya, Puspitasari. Beruntung, AR, FP, dan GHA, masing-masing anak kedua, ketiga, dan keempat Anton berhasil selamat.
Anton melarang anak-anaknya keluar rumah. Mereka didoktrin pemahaman radikal. Bahkan, keluarga Anton kerap bertemu dengan keluarga Dita Oeprianto.
Berbeda hari dan lokasi, terjadi ledakan di Mapolrestabes Surabaya. Dua sepeda motor dikendarai oleh keluarga Tri Murtono dan Tri Ernawati.
Keduanya membawa tiga orang anak, yakni DAM berusia 18 tahun, DSM berumur 14 tahun, dan si bungsu AAP baru menginjak 7 tahun.
Saat ledakan pertama, AAP terlempar beberapa meter yang kemudian diselamatkan oleh aparat kepolisian yang berjaga.
Namun, DAM dan DSM tewas bersama ayah dan ibunya di tempat kejadian setelah meledakkan bom bunuh diri. DAM tercatat baru saja lulus SMA di salah satu sekolah negeri unggulan di Surabaya.
Sedangkan sang adik, DSM yang juga turut tewas, terbilang anak yang pintar dan suka bersepeda. Ketiga anak itu rutin diberi tontonan video jihad oleh orang tuanya.
Satu hal, ketiga keluarga tersebut dipastikan merupakan satu jaringan. Ketiganya kerap bertemu dalam pengajian yang digelar di rumah Dita.
Aksi heroik polisi menyelamatkan AAP, anak teroris yang terlempar dalam aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur (Youtube)
Kecaman dari berbagai pihak
Rangkaian aksi bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela dan di Mapolrestabes Surabaya melibatkan anak-anak dan remaja sebagai pelaku teror. Sejumlah pihak mengutuk aksi teror, apalagi melibatkan anak-anak.
Presiden Joko Widodo yang langsung terbang ke Surabaya, mengutuk keras aksi terorisme ini. "Aksi terorisme kali ini sungguh biadab dan di luar batas kemanusiaan yang menimbulkan korban anggota masyarakat, anggota kepolisian, dan juga anak-anak yang tidak berdosa termasuk juga pelaku yang menggunakan dua anak berumur kurang lebih 10 tahun sebagai pelaku bom bunuh diri," kata Presiden.
Presiden menegaskan, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apapun, di mana semua ajaran agama menolak terorisme apapun alasannya.
Senada, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengatakan bom bunuh diri di beberapa titik di Surabaya merupakan aksi yang paling menyedihkan di antara aksi teror sebelumnya di Indonesia.
"Ini sangat menyedihkan sekali. Dari semua, saya kira, bom bunuh diri kali ini yang paling menyedihkan, disamping tentu juga kita kutuk. Ini menyedihkan karena anak-anak diikutsertakan," kata Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden Jakarta, dilansir Antara, Selasa (15/5).
Menurut Wapres, aksi terorisme dengan menggunakan bom bunuh diri menjadi tindak pidana yang paling sulit untuk diselidiki karena perbuatannya tidak wajar dan tidak masuk di akal sehat.
"Contohnya, bagaimana anak-anak itu bisa dilibatkan. Coba bayangkan saja, sampai saya sangat sedih, apa yang dikatakan (pelaku orang tua) kepada anaknya sebelum pergi? Pasti dia bilang 'Nak, ya kita ketemu di surga lah', bayangkan itu. Jadi memang tidak mudah orang apabila mau bunuh diri," jelasnya.
Presiden Joko Widodo mengunjungi langsung tempat kejadian perkara pemboman di Surabaya (Istimewa)
Teroris anak sebagai korban
Kendati demikian, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyatakan anak-anak yang dilibatkan pelaku teror pada serangkaian aksi teror di Surabaya dan Sidoarjo akhir-akhir ini adalah korban.
Ketua Umum LPAI Seto Mulyadi saat mendatangi Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur di Surabaya, mengatakan ada tujuh anak pelaku teror yang saat ini masih hidup dan ada yang diajak melakukan teror.
Kak Seto, sapaan akrabnya, mengatakan berdasar catatan lembaganya, rentetan aksi teror yang melibatkan anak-anak itu adalah yang pertama kali di Indonesia.
"Kami dapat kabar bahwa anak-anak ini mendapat stimulasi negatif. Mereka sangat mudah dipengaruhi," ujarnya.
Menurutnya, anak-anak tersebut perlu mendapatkan perlindungan ke depannya. Untuk itu, LPAI yang punya cabang di 28 provinsi, akan berusaha meluruskan informasi bahwa anak-anak tersebut bukanlah pelaku.
"Di dalam Undang-undang Perlindungan Anak, anak tidak bisa disalahkan. Mereka tidak bisa disebut sebagai pelaku. Anak adalah korban. Mereka korban dari lingkungan," ujarnya.
Kak Seto menjelaskan, ada dua amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Pertama adalah tidak melakukan kekerasan terhadap anak, dan yang kedua tidak menyuruh anak melakukan kekerasan. Pada kasus teror ini, poin kedua akan menjadi perhatian LPAI.
Selain itu, Kak Seto mendesak negara harus hadir untuk melakukan terapi psikologis dengan cara mengubah lingkungan anak-anak tersebut.
"Sesuatu yang negatif itu bisa bisa cepat dihilangkan, diganti dengan yang positif. Harus diciptakan lingkungan yang kondusif," tuturnya.
Pada sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan siap mendampingi anak pelaku aksi teror di Surabaya dan Sidoarjo, hingga anak tersebut dewasa.
"Kami akan mendampingi anak-anak ini untuk menghilangkan traumatis dan doktrin ajaran salah yang selama ini mereka terima dari orang tuanya hingga dewasa," kata Ketua KPAI Susanto usai mengunjungi anak-anak dari pelaku bom di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur, Rabu (16/5).
Susanto menjelaskan selama ini para anak itu mendapatkan doktrin terkait ajaran radikalisme dari orang tuanya. Bahkan tontonan video terkait aksi radikalisme kerap ditunjukkan oleh orang tuanya.
Menurutnya, saat ini tren infiltrasi radikalisme sudah bergeser dari pola tradisional ke pola baru. Dari tren infiltrasi radikalisme yang dahulu melalui guru atau teman sebaya, saat ini dipilih melalui pola pengasuhan.
"Ini merupakan kejahatan yang serius. Tidak boleh orang tua melakukan pengasuhan dengan diberi muatan radikalisme. Harusnya orang tua menjadi pelindung utama," katanya.
Untuk itu KPAI meminta penanganan kasus kepada anak-anak pelaku itu harus komperehensif dan dipastikan rehabilitasinya.
"Kami sepakat bahwa anak ini membutuhkan rehabilitasi yang tuntas baik dari sisi sosial, psikologis bahkan pendekatan agama. Agar anak kembali memiliki pemahaman yang umum," ucapnya.
(Ilustrasi ibu dan anak-anak)
Antisipasi terorisme anak
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) mengumpulkan seluruh kepala SD/MI, SMP/MTs, madrasah diniyah dan pondok pesantren se-Kota Surabaya, di Gedung Convention Hall, Surabaya, Rabu (16/5) guna mengantisipasi aksi terorisme.
"Para guru tolong konsen dan deteksi ketika mendengar ucapan yang tidak biasa dilontarkan anak-anak," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di sela-sela sambutannya.
Dalam pertemuan bertema Rapat Kerja Kepala Sekolah itu, Risma meminta kepala sekolah untuk berkomunikasi dengan wali kelas agar mampu mendeteksi anak-anak yang mengalami perilaku aneh ketika berbicara.
Hal itu, kata Risma, diyakini mampu menjadi informasi yang baik untuk ditindaklanjuti.
"Para guru tolong konsen dan deteksi ketika mendengar ucapan yang tidak biasa dilontarkan anak-anak," ujarnya.
Menurut dia, hal ini penting disampaikan untuk menekankan kepada para kepala sekolah dan guru dalam memperhatikan tutur kata, perilaku serta meningkatkan komunikasi anak-anak yang cenderung mengalami perubahan secara mendadak.
"Ini memang berat, tapi komunikasi harus dibangun antara guru dan anak agar tidak kecolongan lagi," katanya.
Agar imbauan ini dapat diterapkan, Risma meminta kepada seluruh guru bimbingan konseling (BK) dan agama untuk lebih aktif berinteraksi utamanya pada jam-jam istirahat terhadap anak-anak.
Sebab, kata dia, guru agama memiliki peran penting untuk mengembangkan perilaku dan pola pikir anak dalam hal keagamaan.
Selain itu, kata dia, para guru diminta untuk menjelaskan secara detail kepada anak-anak bahwa Pancasila dan semua agama menyelipkan poin toleransi antarumat manusia, hubungan antarmanusia dan pencipta.
"Itu harus diajarkan dan ditanamkan agar mereka mengerti," katanya.
Hal serupa juga ditekankan Risma kepada anak-anak yang bersekolah di pondok pesantren. Ia berharap agar anak-anak dipantau baik saat di pondok pesantren maupun di rumah.
"Semua elemen harus bergerak dan bersinergi membangun komunikasi tanpa terkecuali," katanya.
Aksi solidaritas dukungan dan doa bagi korban aksi teroris (Antara Foto).
Perempuan dan terorisme
Sementara itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai maraknya aksi teror yang melibatkan perempuan karena masih adanya relasi dan hirarki gender yang timpang.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny, mengatakan, adanya hirarki yang disertai doktrin kepatuhan ini melemahkan posisi tawar perempuan di tengah budaya maskulin dalam lingkaran jaringan kelompok radikal.
"Terlepas bahwa ada kerelaan karena dorongan keyakinan, namun keterlibatan mereka tidak bisa dilepaskan dari hirarki gender ini," kata Venny.
Komnas Perempuan mencatat, dalam berbagai peristiwa terorisme di Indonesia sejumlah perempuan ditangkap sebagai pelaku, sebagian sedang menjalani proses pengadilan dan sebagian lainnya sedang menjalani hukuman akibat tindak pidana terorisme.
Pada tahun 2016, setidaknya ada dua perempuan yang gagal melakukan aksi pengeboman di istana dan yang ditangkap di Purworejo karena terindikasi akan melancarkan aksi bom bunuh diri di luar Jawa.
Aksi pengeboman di Surabaya adalah kasus pertama pelaku perempuan berhasil melakukan aksi bunuh diri, meskipun tidak sendiri tapi bersama dengan keluarganya.
Melihat gejala ini, Komnas Perempuan mengkhawatirkan bahwa tren perekrutan perempuan menjadi pelaku bom karena asumsi bahwa perempuan berpotensi lebih militan dan mampu dimanipulasi agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan.
Selain itu para kaum radikal juga memanfaatkan peran perempuan sebagai ibu yang strategis untuk mentransmisikan ideologi radikal dan mempersiapkan anak-anak menjadi martir.
Hasil penelitian yang dilakukan The Wahid Institute menunjukan bahwa perempuan independen atau mandiri, kecil kemungkinan akan direkrut oleh kelompok radikal bersenjata atau teroris.
"Independen di sini salah satu kriterianya adalah dia ikut berperan dalam proses pengambilan keputusan," kata Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid di Jakarta.
Anak ketiga dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid ini menjelaskan bahwa perempuan yang mampu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri juga masuk dalam ciri-ciri independen.
Yenny mengatakan dari beberapa kriteria tersebut, bisa dilihat kalau perempuan mandiri itu cenderung sulit untuk ditekan. Selain itu, mereka juga dikatakan memiliki banyak argumen serta pertimbangan sehingga tidak bisa serta-merta diminta untuk patuh serta menuruti permintaan pihak lain tanpa alasan yang jelas.
"Makin independen perempuan, makin susah digiring sehingga ketika suaminya mengajak bergabung ke sana (ISIS), dia bisa menolak dan bisa sadarkan suami dari pengaruh teroris," kata dia.
Aksi bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur (Antara Foto)
UU Terorisme
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendesak DPR RI segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme menyusul rentetan aksi teror di Surabaya dan Sidoarjo.
Ketua Komas PA Arist Merdeka Sirait kepada wartawan di Mapolda Jawa Timur Surabaya, mengatakan RUU itu harus dikebut karena saat ini sudah darurat teroris. Jika tidak selesai, ia mendukung gagasan pemerintah mengeluarkan Perppu Antiterorisme.
"Maka berhentilah (DPR) berdebat yang dimaksud dengan teroris bagaimana. Nantinya kami meminta merujuk ke Undang-Undang Perlindungan Anak karena beberapa kasus terorisme sudah melibatkan anak. Karena anak bukan pelaku, mereka korban," kata Arist.
Dia mengatakan jika UU atau Perppu Antiterorisme itu jadi, maka tidak boleh ada hukuman berat untuk anak yang melakukan aksi teror.
Sebab, kata Arist, jika kasus anak seharusnya semua masuk di UU Perlindungan Anak. Ia tidak membenarkan ada aturan hukum yang berbunyi melibatkan anak atau menghukum anak.