close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Petugas memeriksa sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) saat melakukan pemeriksaan lanjutan di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (19/6)./ Antara Foto
icon caption
Petugas memeriksa sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) saat melakukan pemeriksaan lanjutan di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (19/6)./ Antara Foto
Nasional
Rabu, 26 Juni 2019 02:15

ICEL: Penyelundupan impor sampah plastik manfaatkan celah hukum

Regulasi yang ada tak menjabarkan kategori sampah atau limbah yang dapat diimpor sehingga dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab.
swipe

Indonesian Center for Environmentl Law (ICEL) menyatakan Indonesia telah memiliki regulasi guna melarang kegiatan impor sampah, limbah, atau pun limbah B3. Namun ada celah hukum yang dapat digunakan pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan penyelundupan sampah plastik sebagaimana disoroti oleh Ecological Observations and Wetlands Conservation (Ecoton).

Dalam catatan Ecoton, terdapat peningkatan volume impor kertas bekas, yaitu sebanyak 739.000 ton pada 2018 dibanding 546.000 ton pada 2017. Kertas bekas tersebut diimpor untuk bahan baku pabrik kertas di Jawa Timur, namun terkontaminasi dengan sampah plastik. Kegiatan impor sampah kertas yang terkontaminasi sampah plastik oleh perusahaan-perusahaan dan tidak terkelola dengan baik, menimbulkan polusi di air, udara, dan lahan.

Menurut Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, Margaretha Quina, ada regulasi yang dapat dijadikan modal pemerintah untuk menindak tegas kasus tersebut. Regulasi yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (PP B3).

“Untuk limbah dan limbah B3 sebenarnya juga ada ketentuan pidananya. Hanya memang ada kompleksitas definisi dari kapan suatu benda disebut sampah , kapan dia disebut limbah, kapan dia nyebrang menjadi limbah B3, dan kapan dia dapat legally diizinkan untuk masuk ke Indonesia. Karena kalau untuk ketentuan impor limbah tadi sebenarnya ada pengecualiannya,” kata Margaretha di kantor Wahan Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, Jakarta Selatan, Selasa (25/6).

Indonesia juga telah memiliki regulasi terkait limbah plastik, berupa Peraturan Menteri Perdaganagan (Permendag) nomor 31 tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun. Regulasi tersebut menjelaskan bahwa hanya limbah berupa sisa, reja, dan skrap, yang dapat diimpor ke Indonesia.

Dalam regulasi yang sama juga ada ketentuan yang mensyaratkan siapa yang boleh mengimpor, pengimpor harus menggunakan barangnya sendiri, tidak boleh diperdagangkan ke pihak lain atau tidak boleh dipindahtangankan. Selain itu, ada juga ketentuan objek yang diimpor tidak boleh dari tempat sampah, tidak boleh berupa sampah, tidak boleh terkontaminasi, dan juga tidak boleh tercampur dengan limbah lain.

“Tapi diregulasi itu tidak ada penjabaran lebih lanjut atau detail. Jadi sebenarnya sampah ini kapan sih dia bisa dikategorikan sebagai sampah, atau juga dikatakan limbah. Balik lagi ke situ,” kata Margaretha.

Selain itu, UU nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga kerap dijadikan celah hukum oleh pelaku sehingga masih terjadi penyelundupan impor sampah sebagaimana yang terjadi saat ini. Kendati demikian, Margaretha menilai pemerintah bisa menangani ini dengan cara melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap persetujuan impor. 

“Karena tadi yang saya jelaskan, sebenarnya jika merujuk regulasi yang ada, telah ada persyaratan mengenai siapa yang boleh melakukan impor dan sebagainya,” katanya menerangkan.

Dia mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan tindakan tegas karena terjadi pelanggaran dengan cara menjual sampah kepada para pengepul atau masyarakat, sebagaimana juga disebutkan dalam laporan Ecoton. Pemerintah juga harus mendalami pelaporan data, karena jika para pelaku memiliki persetujuan impor (PI), seyogyanya mereka memiliki kewajiban untuk melapor.

Jika tidak melakukan pelaporan, pemerintah dapat memberikan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin usaha. “Juga bisa didalami mengenai apakah ada pemalsuan data yang terjadi pada saat aplikasi PI-nya. Kalau persetujuan impornya ternyata didasarkan atas data-data yang salah, nah ini sebenarnya juga bisa langsung di-enforce dengan pencabutan,” kata Margaretha.

Bagi dia, pemerintah harus melakukan tindakan cepat jika ingin serius menangani isu sampah dan lingkungan hidup. Ia mendorong pemerintah untuk cepat tanggap akan modus dan kejanggalan-kejanggalan yang ada pada kasus ini.

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan