Lembaga kajian independen dan advokasi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mendorong kepolisian mengusut pelanggaran anggotanya dalam tragedi Stadion Kanjuruhan. Personel Polri yang terbukti melakukan pelanggaran pidana diminta bertanggung jawab sesuai jalurnya, bukan hanya melalui pemeriksaan etik.
Sejauh ini, ada 28 personel Polri yang dinyatakan terlibat dalam tragedi Kanjuruhan dan telah diperiksa. Kendati demikian, Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menyayangkan sikap kepolisian karena hanya mengarahkan ke pemeriksaan kode etik.
"ICJR menegaskan, bahwa tragedi ini bukanlah bentuk pelanggaran etik, melainkan sudah memasuki ranah pidana karena jatuhnya korban jiwa terjadi karena penggunaan kekuatan yang belebihan," kata Erasmus dalam keterangannya, Selasa (4/10).
"Penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang tidak proporsional, dan menyebabkan kematian sudah seharusnya diusut menggunakan jalur pidana," imbuh dia.
Menurut Erasmus, dampak fatal akibat penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of power) dapat diprediksi, terlebih saat dilakukan di dalam ruang dengan keterbatasan akses keluar, seperti stadion. Karenanya, penting bagi Polri untuk menangani kasus ini secara imparsial dan akuntabel, walaupun aktor-aktor yang terlibat bagian dari institusinya.
Apalagi, Erasmus mengingatkan, kepolisian telah mengakui mulainya pemeriksaan pelanggaran ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP terkait menyebabkan kematian karena kealpaan. Menurutnya, pasal-pasal ini tentunya dapat digunakan selain Pasal 338 KUHP berkaitan dengan pembunuhan.
Lebih lanjut, Erasmus menuturkan, beberapa kronologi yang diperoleh dari pemberitaan media maupun masyarakat menunjukkan buruknya kontrol konflik massa yang dilakukan Polri sebagai penanggung jawab pengamanan di dalam stadion ketika peristiwa terjadi. Akibatnya, orang-orang menuju pintu keluar pada waktu bersamaan dan menimbulkan kepadatan.
Selain itu, dalam beberapa video yang beredar, terlihat adanya penggunaan gas air mata. Padahal, ini dilarang sesuai standar pengamanan di lapangan sepak bola milik FIFA. "Gas air mata tersebut juga diarahkan kepada tribun penonton bahkan bukan pihak yang menimbulkan kerusuhan sama sekali," papar Erasmus.
Erasmus menyebut, kematian pun terjadi karena banyak orang terinjak-injak dan mengalami sesak nafas saat keluar stadion guna menghindari gas air mata yang terus dilontarkan aparat. Bahkan, sempat beredar video yang menunjukkan suporter memohon pihak keamanan tidak melemparkan gas air mata ke arah penonton.
"Dari kronologi tersebut, dapat dilihat kausalitas dari kematian para penonton tersebut dan ini bukanlah permasalahan kode etik, melainkan sudah menjadi perbuatan pidana," paparnya.
Erasmus menilai, meskipun penggunaan kekuatan telah diatur di dalam regulasi internal Polri melalui Perkap Nomor 1 Tahun 2009, tetapi penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak pernah diperiksa dan dipertanggungjawabkan kepolisian secara tegas. ICJR pun mendorong kepolisian mengusut tindakan anggotanya dalam tragedi Stadion Kanjuruhan secara pidana.
"Peristiwa ini harus menjadi titik balik kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena tidak seluruh kesalahan yang dilakukan personel adalah pelanggaran kode etik," tandas Erasmus.