Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, pelaporan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK), Yudi Purnomo Harahap, atas penyebaran informasi bohong tidak tepat.
Yudi dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK lantaran mengadvokasi dan menyuarakan kepada publik terkait penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti yang saat itu hendak dikembalikan ke "Korps Bhayangkara" oleh pimpinan KPK.
"Kami berpandangan, apa yang dilakukan oleh Yudi Harahap sebagai Ketua Wadah Pegawai KPK sudah tepat terkait dengan advokasi atau mempersoalkan penyidik Rossa Purbo Bekti yang dikembalikan 'paksa' oleh Ketua KPK," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Jumat (21/8).
Bagi ICW, Ketua KPK, Firli Bahuri, justru yang harus bertanggung jawab atas terjadinya polemik di masyarakat terkait pengembalian Rossa ke Polri. Pasalnya, pengembalian itu dinilai tidak didasarkan penilaian objektif.
"Justru dalam hal ini Dewan Pengawas yang harus memanggil Komjen Firli Bahuri sebab proses pengembalian tersebut diduga tidak berlandaskan penilaian objektif," terang dia.
Saat itu, kata Kurnia, Rossa belum memasuki masa akhir tugas di KPK. Bahkan, tidak pernah melanggar kode etik atau hukum.
"Ditambah lagi, bahwa yang bersangkutan sedang menangani perkara besar, yaitu pergantian antarwaktu anggota DPR RI yang melibatkan Harun Masiku dan Wahyu Setiawan," sambungnya.
Kendati demikian, Kurnia menyarankan, Dewas KPK mengusut pengembalian Rossa daripada menangani laporan Yudi.
"Akan lebih baik jika Dewan Pengawas mengusut proses pengembalian penyidik Rossa ke instansi asal daripada harus mempersoalkan pembelaan Ketua WP terhadap rekan sejawatnya," tuturnya.
Atas laporan terhadapnya, Yudi akan menjalani sidang etik Dewas KPK pada 24 Agustus 2020. Dirinya diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku "integritas" pada Pasal 4 ayat (1) huruf o Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 02 Tahun 2020.