Indonesia Corruption Watch atau ICW membandingkan penanganan kasus korupsi yang melibatkan partai penguasa di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Peneliti ICW Tama S langkun menilai, terdapat perbedaan mencolok dari sikap Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam menangani kasus semacam itu.
Dia mencontohkan penanganan kasus penetapan anggota DPR RI dari PDIP melalui mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW, yang menyeret politikus partai pemenang Pemilu 2019 Harun Masiku. Menurutnya, KPK terkesan alot dan lamban menangani kasus tersebut.
Hal berbeda terjadi saat KPK menangani kasus Hambalang yang melibatkan Anas Urbaningrum. Saat itu, Anas menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, partai penguasa besutan SBY yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI.
"Perkara seperti Harun itu sangat sulit dan terjal. Padahal parpol sama-sama pemenangan pemilu. Sebelumnya Anas Urbaningrum sebagai anggota Partai Demokrat toh jalan saja. Sekarang enggak demikian. Sekarang kok lebih sulit memproses dan mengejar Harun," kata Tama di kantornya, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (18/2).
Di samping proses penanganan perkara, Tama juga menilai adanya kemunduran terkait sikap KPK terhadap korupsi. Hal itu tercermin dari pengembalian Kompol Rossa Purbo Bekti ke Polri. Rossa merupakan salah satu penyidik yang termasuk dalam tim satgas kasus suap penatapan anggota DPR RI melalui mekanisme PAW.
"Kita melihat adanya kemunduran ketika ada penyidik yang secara sembarangan itu dikembalikan. Padahal, penyidik itu yang menjadi bagian dari OTT. Harusnya dia mendapat apresiasi, tetapi dia dikembalikan. Pengembalian pun mengundang banyak sekali kontroversi," kata Tama menjelaskan.
Dia meyakini, upaya pemberantasan korupsi yang menjadi tugas KPK akan semakin terkendala. Ironisnya, Tama menilai hal tersebut tidak disebabkan oleh faktor-faktor di luar KPK.
"Kalau ke depan akan ada penanganan perkara, justru KPK akan disibukan dengan urusan antara penyidik dan pimpinan," ucap dia.
Hal yang sama diungkapkan peneliti ICW Wana Alamsyah. Menurutnya, hal ini terjadi lantaran pemberlakukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Karena bagaimanapun juga, keterbatasan instrumen hukum yang melekat pada KPK itu akan sulit. Ada layer yang harus ditempuh untuk dilakukan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan," kata Wana.
Hal ini, kata dia, sudah terbukti dengan proses penanganan perkara yang dilakukan oleh KPK dalam dua bulan ini. "Di bulan Januari saja, itu hanya dua kasus saja. Sedangkan di tahun sebelumnya itu ada 62 kasus. Kontribusi pada 2019 itu adalah kontribusi sebelum RUU KPK dan kontribusi pimpinan sebelumnya," kata dia menerangkan.