Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) sudah cukup baik mengakomodir pengetatan syarat pemberian remisi bagi koruptor. Dengan dibatalkannya PP tersebut oleh Mahkamah Agung (MA), ICW menilai pemberantasan korupsi kembali berada di titik nadir.
"Betapa tidak, regulasi yang dianggap pro terhadap pemberantasan korupsi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) malah dibatalkan oleh MA. Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman," beber ICW dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/10/2021).
ICW kemudian membeberkan tiga catatan penting atas pencabutan PP tersebut. Pertama, MA dinilai inkonsisten terhadap keputusannya sendiri. "Betapa tidak, sebelumnya melalui putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana," terangnya.
Lagi pula, jelas ICW, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan Undang-Undang Dasar 1945. "Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime," lanjut ICW.
Catatan kedua, pandangan hakim MA yang menilai bahwa pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice juga keliru. "Mesti dipahami, pemaknaan model restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan," urainya.
Menurut ICW, secara konsep, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan. "Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada deterrent effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya," ungkapnya.
Poin ketiga, ICW memandang MA keliru dalam melihat persoalan overcrowded di lembaga pemasyarakatan. "Sebab, problematika terkait overcrowded bukan pada persyaratan pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya terkait narkotika," jelasnya.
ICW kemudian merujuk pada sistem database pemasyarakatan per Maret 2020, di mana jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7% atau 1.906 orang. "Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal," katanya.
ICW mengkhawatirkan putusan MA ini, terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim yang dinilai sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada para koruptor.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ICW mencatat setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS).
Tidak hanya itu, Menkumham sendiri juga pernah mengeluarkan SE MenkumHAM M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 yang pada intinya memberikan kemudahan bagi koruptor yang dipidana sebelum berlakunya PP 99/2012.
"Maka dari itu, merujuk dari catatan-catatan di atas, ICW mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor," pungkasnya.