close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi memasuki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (2/6/2020)/Foto Antara/Aditya Pradana Putra.
icon caption
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi memasuki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (2/6/2020)/Foto Antara/Aditya Pradana Putra.
Nasional
Rabu, 22 Juli 2020 08:28

ICW dan Lokataru endus 7 aset mewah Nurhadi

ICW dan Lokataru meminta lembaga antirasuah menjerat mantan petinggi MA itu dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU). 
swipe

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Lokataru mendeteksi terdapat tujuh jenis aset mewah yang diduga milik mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, tersangka kasus dugaan jual-beli perkara di MA.

"Dalam penelusuran yang sudah dilakukan, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dalam keterangan resmi, Rabu (22/7).

Ketujuh jenis aset mewah yang diduga milik Nurhadi, yakni empat lahan usaha kelapa sawit, delapan badan hukum baik berbentuk PT maupun UD, 12 mobil mewah, tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah, dan 12 jam tangan mewah.

Kendati mengendus sejumlah jenis aset tersebut, ICW dan Lokataru meminta lembaga antirasuah menjerat mantan petinggi MA itu, dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

"Tak hanya itu, KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya," tutur Kurnia.

Instrumen hukum yang dapat digunakan oleh KPK, yakni dengan menjerat Nurhadi dengan Pasal 5 UU TPPU atau pelaku pasif dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda sebesar Rp1 miliar. 

KPK mendapat keuntungan jika menjerat Nurhadi dengan TPPU. Pertama, penyelidikan dan penyidikan tidak akan diwarnai dengan resistensi dan intervensi pihak tertentu lantaran menggunakan metode follow the money.

Kedua, TPPU sejalan dengan konsep pemidanaan yang berorientasi pada pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi. Ketiga, memudahkan proses unjuk bukti bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Sebab, Pasal 77 UU TPPU mengakomodir model pembalikan beban pembuktian. Sehingga Jaksa tidak sepenuhnya dibebani kewajiban pembuktian, melainkan berpindah pada terdakwa itu sendiri," ucap dia.

Karena itu, ICW dan Lokataru melayangkan surat ke KPK guna membuka penyidikan dugaan TPPU Nurhadi. Dia meyakini, data yang dimilikinya telah menunjukan mantan petinggi MA memiliki harta tak wajar.

"Sehingga, patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," tutup Kurnia.

Nurhadi telah berhasil ditangkap oleh KPK pada Senin (1/6) malam. Dia diringkus setelah hampir genap empat bulan menyandang status buron bersama menantunya, Rezky Herbiyono.

Dengan  demikian hanya seorang tersangka yakni, Direktur Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto yang belum ditangkap oleh penyidik pada perkara itu.

Dalam perkaranya, Nurhadi bersama Rezky diduga kuat telah menerima suap dari Hiendra berupa sembilan lembar cek dengan total Rp46 miliar. Suap ditujukan untuk menangani sebuah perkara di MA.

Adapun perkara yang ditangani pertama, berasal dari kasus perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) atau PT KBN, dan perkara perdata saham di PT MIT.

Dalam penanganan perkara itu, Hiendra diduga meminta memuluskan penanganan perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi Nomor: 2570 K/Pdt/2012 antara
PT MIT dan PT KBN.

Kedua, pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan.

Selain itu, Nurhadi juga diminta Hiendra untuk menangani perkara sengketa saham PT MIT yang diajukan dengan Azhar Umar. Hiendra diduga telah memberikan uang sebesar Rp33,1 miliar kepada Nurhadi melalui Resky. Penyerahan uang itu dilakukan secara bertahap, dengan total 45 kali transaksi.

Beberapa transaksi juga dikirimkan Hiendra ke rekening staf Resky. KPK menduga, penyerahan uang itu sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan penggelembungan pengiriman uang. Sebab, nilai transaksi terbilang besar

Sedangkan penerimaan gratifikasi, Nurhadi diduga telah menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp12,9 miliar melalui Resky. Uang tersebut, diperuntukan guna memuluskan penanganan perkara terkait sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian. Uang itu diterima Nurhadi dalam rentang waktu Oktober 2014 hingga Agustus 2016. 

Sebagai pihak penerima, Nurhadi dan Resky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Hiendra sebagai pihak pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan