Indonesia Corruption Watch (ICW) kritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut koruptor sebagai penyintas. Kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, istilah itu tidak tepat.
"Padahal korupsi merupakan kejahatan struktural, di mana pelaku utamanya adalah mereka yang saat ini dijebloskan ke (Lapas) Sukamiskin, sementara korban korupsi adalah masyarakat luas," ujar dia dalam keterangannya, Kamis (1/4).
Diketahui, lembaga antirasuah melakukan penyuluhan antikorupsi di Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, pada Rabu (31/3). Dalam giat itu, Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, mengatakan narapidana korupsi sebagai penyintas dan diharapkan dapat membantu mencegah praktik lancung.
Kurnia tidak sepakat dengan pernyataan tersebut karena korupsi menjadi penyebab fasilitas umum dan kualitas pelayanan publik buruk. Hal itu, mengakibatkan masyarakat merugi.
"Jika pelaku korupsi adalah penyintas dalam pikiran pejabat KPK, lalu masyarakat dianggap sebagai apa? Ini merupakan cacat logika yang merupakan turunan dari kerusakan dalam alur pikir keseluruhan program kunjungan pencegahan dan sosialisasi antikorupsi ke Lapas Sukamiskin," ujarnya.
Lebih lanjut, Kurnia berpendapat, kunjungan ke Lapas Sukamiskin yang dilakukan KPK merupakan tindakan yang tidak mendasar. Menurut dia, kegiatan itu memutarbalikkan logika pencegahan dan pemberantasan rasuah.
Sebelumnya, kegiatan penyuluhan antikorupsi digelar KPK kepada narapidana tindak pidana korupsi asilimasi dan koruptor yang masa tahanannya segera habis. Agenda dilaksanakan dua kali, yakni Rabu (31/3), di Lapas Sukamiskin, dan Selasa (20/4), di Lapas Tangerang, Banten.
Kata Pelaksana tugas Juru Bicara bidang Pencegahan KPK, Ipi Maryati Kuding, "Kegiatan penyuluhan ini untuk membangun komunikasi dengan para narapidana kasus tindak pidana korupsi untuk tidak mengulangi perbuatannya dan mau ikut serta berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi, sekembalinya di masyarakat," ujarnya secara tertulis.
Menurut Ipi, lembaga antisuap menggunakan pendekatan ilmu psikologi untuk memetakan narapidana asimilasi. Dijabarkannya, antara lain dengan menggunakan metode komunikasi dua arah, mengenali kepribadian, analisis gesture, vibrasi suara, goresan tulisan dan lain-lain.
"Pemetaan ini diharapkan akan menghasilkan data narapidana yang siap untuk dilibatkan dalam program antikorupsi," ucapnya.