close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pengacara publik. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi pengacara publik. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Senin, 12 April 2021 17:15

Idealisme seorang pengacara publik dan ancaman yang kerap mengintai

Menjadi pengacara publik adalah pilihan hidup yang penuh risiko.
swipe

Sore itu, suasana di sebuah gubuk berukuran sekitar dua meter beratap terpal yang berdiri di atas puing bangunan bekas tinggal warga yang tergusur di bilangan Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, terjadi diskusi yang agak memanas. Umpatan kekesalan beberapa warga terlontar. Mereka menganggap aparat dari Pemprov DKI Jakarta semena-mena melakukan penggusuran.

Tak jarang, kekesalan warga pecah ketika ada petugas Satpol PP datang ke lokasi sekitar penggusuran. “Mereka ke sini niatnya emang mau nyerang mental kami, biar kami pergi,” kata M. Husein, salah seorang warga korban penggusuran saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Rabu (7/4).

Warga menolak angkat kaki dari lokasi penggusuran karena menilai tempat tinggal mereka dirobohkan tak sesuai prosedur. Tak ada transparansi dari pihak Pemprov DKI Jakarta terkait peruntukan lahan di RT01/RW01, Kelurahan Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan.

"Mereka hanya bilang ini milik Pemprov DKI Jakarta. Tapi mereka enggak menunjukkan dasarnya. Itu yang ngomong Lurah Menteng Dalam," ujar warga korban penggusuran lainnya, Fitriah.

Selasa (30/3) pagi, Pemprov DKI Jakarta menggusur 25 permukiman dan beberapa kios milik warga di RT001/RW001 Kelurahan Menteng Dalam. Pasukan Satpol PP dibantu TNI-Polri sempat terlibat kericuhan dengan warga yang menolak digusur. Pemprov DKI mengklaim, permukiman dan kios berdiri di atas lahan milik pemerintah daerah.

Husein dan Fitriah adalah dua di antara 14 pemilik rumah yang bertahan di lokasi penggusuran. Seorang pengacara, Rizky Sianipar, meladeni diskusi warga di gubuk kecil itu. Sudah sepekan terakhir pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) itu sibuk mendampingi korban penggusuran tersebut.

“Saya khawatir sewaktu-waktu mereka dipaksa angkat kaki oleh Satpol PP atau aparat lain dari tempat ini,” ujar Rizky.

Pilihan hidup

Jauh dari kesan penampilan seorang pengacara, Rizky hanya mengenakan kaos, celana bahan, dan sandal jepit. Sesekali, ia meyakinkan para korban penggusuran untuk tak menyerah menuntut keadilan. Rizky mengakui, posisi warga yang tergusur lemah lantaran tak punya sertifikat tanah. Sehingga dengan gampangnya Pemprov DKI mengklaim kepemilikan lahan.

"Padahal daerah ini sudah ditempati warga sejak 1937 dan yang sekarang menempati adalah generasi keempat," ujar Rizky.

Sementara Husein mengatakan, warga sudah punya firasat buruk sejak 2018. Saat itu, mereka yang mengajukan pembuatan sertifikat tanah ditolak pihak Kelurahan Menteng Dalam.

“Tanpa alasan yang jelas,” kata Husein.

Rizky Sianipar (berkaos biru) tengah mendampingi warga korban penggusuran di Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (7/4/2021). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.

Menurut Rizky, penggusuran di Menteng Dalam merupakan bentuk perampasan hak asasi manusia. Atas dasar itu, ia merasa perlu memberi pendampingan hukum bagi warga yang menjadi korban penggusuran. Korban penggusuran pun, kata Rizky, acapkali dikibuli dengan uang ganti rugi yang tak pantas.

“Saya melihat posisi mereka lemah dan layak dibantu secara hukum,” tuturnya.

Pria berusia 30 tahun yang sudah menjadi pengacara publik sejak 2013 itu menuturkan, korban penggusuran juga sering berhadapan dengan korporasi raksasa, yang mengincar lahan warga demi kepentingan bisnis lewat tangan pemerintah.

Sejak lulus kuliah dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), ia sudah bertekad menjadi pengacara publik. “Sebab saya melihat, pelaksanaan undang-undang belum tentu berjalan baik di lapangan,” kata dia. “Masyarakat bisa jadi pihak yang dirugikan.”

Walau tak punya penghasilan tetap layaknya pengacara di kantor hukum bergengsi, Rizky mengaku memiliki kepuasan tersendiri menjadi pengacara publik. Ia menyebut, penghasilannya hanya mengandalkan pembayaran tanggungan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tatkala menangani perkara. Nominalnya pun terbilang kecil.

“Untuk kasus dari tingkat kepolisian sampai kejaksaan itu Rp2 juta dari pemerintah. Kalau sampai pengadilan Rp3 juta. Jadi, dalam satu proses itu bisa sampai Rp5 juta per kasus. Tapi, proses itu bisa sampai setahun,” ucapnya.

Cekaknya penghasilan sudah menjadi bagian dari risiko profesinya. Ia mengatakan, pengacara publik memang hadir untuk warga yang tak mampu bayar jasa pengacara.

“Jadi memang kami ini nonprofit," ujar Rizky.

Menjadi pengacara publik, bagi Ronald Siahaan, juga menjadi pilihan hidupnya. Pengacara dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ini mengatakan, sejak masa kuliah sudah banyak bergaul dengan aktivis lingkungan dan membaca buku-buku bertema lingkungan.

“Saya lihat, banyak potret kriminalisasi yang terjadi pada kawan-kawan penggiat lingkungan hidup,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (7/4).

Banyak aktivis lingkungan yang dikriminalisasi dengan pasal karet oleh negara atau perusahaan karena mengusut kasus kerusakan lingkungan.

"Contohnya dengan menyerang balik lewat pasal pencemaran nama baik, penyerobotan, mengganggu perkebunan dan pertambangan, atau sejenisnya," ujar Ronaldo.

Serangan balik itu, menurut Roland, dirancang agar penanganan kasus tersendat. Seringkali ia malah sibuk mengurus kriminalisasi itu.

"Semisal kasus-kasus yang terjadi di Kalimantan, masyarakat adat di sana sering dikriminalisasi. Padahal mereka korban," katanya.

Kriminalisasi, sebut Ronald, sengaja dilakukan terhadap aktivis atau warga yang menjadi pelapor sebagai modus menyandera mereka agar tak lanjut meneruskan perkara ke jenjang yang lebih tinggi.

Ronald mengatakan, ia hanya mendapatkan bayaran sebesar upah minumum provinsi (UMP) DKI Jakarta selama bekerja sebagai pengacara di Walhi. Dalam menangani kasus, kata dia, Walhi juga menggunakan uang organisasi.

Pria berusia 49 tahun itu menegaskan, Walhi punya anggaran tersendiri—yang berasal dari donasi warga dan jaringan internasional—dalam menangani kasus.

Sementara itu, Nelson Nikodemus Simamora, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan, tertarik menjadi pengacara publik karena merasa hukum di Indonesia belum begitu memberi jaminan bagi semua pihak.

"Kondisi hukum yang amburadul karena ada mafia peradilan dan hukum jadi alat politik, mendorong saya ingin jadi pengacara publik," kata Nelson saat dihubungi, Rabu (7/4).

Sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Nelson sudah bercita-cita berkarier sebagai pengacara publik. Mulanya pilihan hidup Nelson ditentang keluarga, yang menilai penghasilan pengacara publik kurang menggiurkan.

“Mereka menyarankan saya seperti Hotman Paris saja, banyak duitnya,” ujarnya.

Ia sempat mencoba peruntungan di kantor hukum bergengsi di Jakarta. Namun, ia mengaku tidak betah. Nuraninya berontak karena sering menyaksikan praktik mafia hukum di kantornya itu.

“Akhirnya tahun 2012 saya pindah ke LBH Jakarta," ujar Nelson.

Ia menyebut pula, penghasilan seorang pengacara publik tak sebesar pengacara di kantor hukum ternama. Penghasilannya kini tak lebih dari Rp8 juta.

“Waktu awal masuk LBH Jakarta, gaji saya itu Rp2,5 juta. Bahkan pernah enggak dapat gaji, cuma uang makan dan transportasi aja,” katanya.

Ilustrasi pengacara./Pixabay.com.

Risiko jadi pengacara publik

Dalam menjalankan pekerjaannya, Rizky mengatakan, kerapkali ada oknum yang mencoba menyuapnya dengan nilai uang yang besar, agar mau melepas kasus yang tengah dipegangnya.

“Godaannya lumayan berat, uang dalam kantong keresek pernah dihadapkan ke saya untuk melepas kasus,” ujarnya.

Rizky mengaku, sering pula mendapat teror dari oknum yang diduga terkait erat dengan kasus yang sedang ia tangani. Ancaman bukan hanya datang melalui telepon.

"Saya juga pernah diikutin waktu kita nanganin kasus. Dia ngikutin beberapa hari, dia datangi kantor kami. Setiap pulang kantor juga kami diikutin. Jadi kayak diintimidasi," kata Rizky.

Di samping itu, tak jarang Rizky menjadi sasaran baku hantam ketika terjadi gesekan antara aparat dengan warga. Namun, Rizky tak gentar.

Menjadi pengacara publik adalah jalan terjal bagi Nelson. Ia sering berhadapan dengan “penguasa” ketika menangani kasus.

“Potret itu saya lihat di kasus pertama saya, yakni korban salah tangkap pengamen di Cipulir (Jakarta Selatan), di mana polisi dan jaksa merekayasa bukti, hakim tak netral. Pengamen itu menjadi korban,” katanya.

Bagi Nelson, menjadi pengacara publik harus berani melawan ketakutan terlebih dahulu. Ancaman dan teror bisa kapan pun menghampiri. Ia menuturkan, pernah mendapat ancaman penangkapan, ketika mendampingi korban salah tangkap pengamen di Cipulir pada 2013.

Tak berbeda jauh, Ronald mengaku, profesinya sebagai pengacara publik membuat ia sering dihantui bahaya yang mengancam jiwa. Ia pernah mendapat ancaman pembunuhan, sebelum kematian advokat Walhi Sumatera Utara Golfrid Siregar pada Oktober 2019. Ketika itu, Golfrid tengah menangani kasus PLTA Batang Toru di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Sumatera Utara.

“Sebelum meninggal, di persidangan dia bisik-bisik, ‘Bang Ronald, kita dapat informasi nant tim lawyer ada yang dibunuh’. Ternyata, besoknya saya mendengar kabar dia terbunuh,” kata Ronald.

Meski polisi menyatakan Golfrid tewas akibat kecelakaan, tetapi Ronaldo yakin ia dibunuh. Bukan hanya itu. Ronald juga pernah dituduh antek asing oleh oknum warga yang mulanya ia bela. Ronald menduga, warga yang menyerang balik Walhi itu menerima suap dari perusahaan yang awalnya berkonflik.

"Saya katakan jujur, dalam menangani kasus kami tidak dibiayai oleh masyarakat. Jangankan itu, ucapan terima kasih saja kami tidak pernah minta,” kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu.

“Makanya saya sangat marah saat ada masyarakat yang menyerang balik.”

Menyandang status sebagai pengacara publik, membuat Ronald harus menutup rapat-rapat segala ancaman yang sedang menghampirinya maupun keluarga. Ia tak ingin membuat keluarganya khawatir. Selain ancaman, menurut Ronald, ada pula godaan uang dan jabatan.

“Pekerjaan ini berisiko. Kekhawatiran ini tidak pernah saya bawa pulang ke rumah,” ucapnya.

"Mengadvokasi masyarakat adalah pekerjaan tanpa pamrih.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan