Identitas dan hak-hak warga penghayat kepercayaan
Pada 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan tentang pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik (KTP el) dan kartu keluarga (KK).
Keputusan tersebut dikeluarkan, usai MK menerima gugatan para penggagas judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) Pasal 61 ayat 1 dan 2, serta Pasal 64 ayat 1 dan 5 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Adminduk.
Di dalam putusannya, MK menyatakan agama dalam Pasal 62 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tak termasuk penghayat kepercayaan.
Di dalam Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, KK memuat keterangan nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, nomor induk kependudukan (NIK), jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orang tua.
Sedangkan di dalam Pasal 61 ayat 2, keterangan kolom agama seperti yang dimaksud pada ayat 1, bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penganut kepercayaan, tidak diisi. Namun, tetap dilayani dan dicatat dalam basis data kependudukan.
Setelah sebelumnya, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, para penganut penghayat kepercayaan hanya mendapat tanda strip di kolom agama KTP. Usai keluar putusan MK tahun 2017, para penganut kepercayaan bisa mengisi kolom agama dengan kepercayaan.
Diapresiasi, meski mengganjal
Saat ini, menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, ada 105 warga penganut kepercayaan yang terdata.
Sekretaris Jenderal Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Pusat Endang Retno Lastani menyambut baik putusan MK tersebut. Menurutnya, hal ini merupakan perubahan baik yang harus diapresiasi, dan sudah dinanti-nanti warga penghayat kepercayaan di Indonesia.
“Keputusan MK itu kan sebenarnya memasukan ‘kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa’ dalam kolom agama, bukan mengganti kolom agama dengan kepercayaan seperti sekarang,” katanya ketika dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (28/2).
Menurutnya, hal itu terjadi karena masih ada penolakan dari masyarakat untuk memasukan kepercayaan sebagai agama. Walau begitu, ia masih mengapresiasi, sembari terus memantau perkembangannya.
Sebenarnya, kata Endang, sejak akhir 2018 para penghayat kepercayaan sudah bisa mengganti data di KTP el dengan kolom kepercayaan.
“Tapi mungkin belum berlaku untuk semua daerah, karena belum semua menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) yang baru,” ujar Endang.
Setelah putusan MK, para penganut kepercayaan dibikinkan blangko baru dengan sistem aplikasi SIAK 7, mengganti SIAK 6.
Sementara itu, menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Dhany Sukma, tak ada perbedaan prosedur bagi warga penghayat kepercayaan untuk mengurus administrasi kependudukan, seperti pembuatan KTP dan melangsungkan pernikahan dengan agama lain.
“Hanya status agamanya saja yang harus dibuktikan dengan surat resmi dari organisasi penganut kepercayaan,” ucap Dhany saat dihubungi, Kamis (28/2).
Dhany menuturkan, yang paling penting setiap warga penghayat kepercayaan punya NIK. Hal ini pun berlaku bagi siapa pun agar dapat pelayanan administrasi, baik untuk pendidikan, kesehatan, maupun pernikahan.
Pada 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan tentang pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik (KTP el) dan kartu keluarga (KK).
Keputusan tersebut dikeluarkan, usai MK menerima gugatan para penggagas judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) Pasal 61 ayat 1 dan 2, serta Pasal 64 ayat 1 dan 5 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Adminduk.
Di dalam putusannya, MK menyatakan agama dalam Pasal 62 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tak termasuk penghayat kepercayaan.
Di dalam Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, KK memuat keterangan nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, nomor induk kependudukan (NIK), jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orang tua.
Sedangkan di dalam Pasal 61 ayat 2, keterangan kolom agama seperti yang dimaksud pada ayat 1, bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penganut kepercayaan, tidak diisi. Namun, tetap dilayani dan dicatat dalam basis data kependudukan.
Setelah sebelumnya, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, para penganut penghayat kepercayaan hanya mendapat tanda strip di kolom agama KTP. Usai keluar putusan MK tahun 2017, para penganut kepercayaan bisa mengisi kolom agama dengan kepercayaan.
Diapresiasi, meski mengganjal
Saat ini, menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, ada 105 warga penganut kepercayaan yang terdata.
Sekretaris Jenderal Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Pusat Endang Retno Lastani menyambut baik putusan MK tersebut. Menurutnya, hal ini merupakan perubahan baik yang harus diapresiasi, dan sudah dinanti-nanti warga penghayat kepercayaan di Indonesia.
“Keputusan MK itu kan sebenarnya memasukan ‘kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa’ dalam kolom agama, bukan mengganti kolom agama dengan kepercayaan seperti sekarang,” katanya ketika dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (28/2).
Menurutnya, hal itu terjadi karena masih ada penolakan dari masyarakat untuk memasukan kepercayaan sebagai agama. Walau begitu, ia masih mengapresiasi, sembari terus memantau perkembangannya.
Sebenarnya, kata Endang, sejak akhir 2018 para penghayat kepercayaan sudah bisa mengganti data di KTP el dengan kolom kepercayaan.
“Tapi mungkin belum berlaku untuk semua daerah, karena belum semua menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) yang baru,” ujar Endang.
Setelah putusan MK, para penganut kepercayaan dibikinkan blangko baru dengan sistem aplikasi SIAK 7, mengganti SIAK 6.
Sementara itu, menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Dhany Sukma, tak ada perbedaan prosedur bagi warga penghayat kepercayaan untuk mengurus administrasi kependudukan, seperti pembuatan KTP dan melangsungkan pernikahan dengan agama lain.
“Hanya status agamanya saja yang harus dibuktikan dengan surat resmi dari organisasi penganut kepercayaan,” ucap Dhany saat dihubungi, Kamis (28/2).
Dhany menuturkan, yang paling penting setiap warga penghayat kepercayaan punya NIK. Hal ini pun berlaku bagi siapa pun agar dapat pelayanan administrasi, baik untuk pendidikan, kesehatan, maupun pernikahan.
Hak-hak warga penghayat
Endang Retno Lastani berkisah, saat ini hampir semua hak-hak warga penganut kepercayaan terpenuhi. Misalnya dalam urusan menikahkan warga. Endang mengatakan, bila warga penghayat kepercayaan menikah, maka disaksikan pemuka penghayat kepercayaan. “Seperti penghulu kalau di Islam,” kata Endang.
Pemuka penghayat kepercayaan yang ditugaskan menikahkan warga merupakan orang yang ditunjuk masing-masing kepercayan, dan kata Endang, secara hukum terdaftar. Pemuka penghayat kepercayaan ini yang akan menandatangani surat nikah penghayat, kemudian dibawa ke pencatatan sipil untuk mendapatkan akte nikah.
Selain itu, untuk memperoleh pendidikan kepercayaan di sekolah, seperti pendidikan agama, juga sudah mulai bisa diterapkan.
“Kami mulai membuat kurikulum sendiri untuk ‘pendidikan kepercayaan’ dan melatih gurunya sendiri, karena belum ada gurunya. Saat ini sudah bekerja sama dengan beberapa sekolah,” katanya.
Lebih lanjut, Endang mengatakan, di sejumlah sekolah yang menerima guru honorer sudah mau bekerja sama, mempersilakan mengajar murid penganut kepercayaan. Murid-murid ini, kata dia, akan diajar seorang guru pendidikan kepercayaan yang telah bersertifikasi dan melewati uji kompetensi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kalau muridnya berjumlah 5% ke atas biasanya sekolah mengizinkan belajarnya di komunitas masing-masing atau di sanggar penghayat kepercayaan,” tuturnya.
Pengakuan dari institusi negara pun sudah mulai terakomodir. Misalnya, kata Endang, untuk pemangku jabatan yang butuh sumpah. Endang mencontohnya, seorang penghayat kepercayaan Parmalim di Jakarta dalam institusi kepolisian, yang disumpah sesuai dengan cara kepercayaannya.
“Jadi, sama seperti agama lainnya, ada teksnya sendiri. Di daerah kemarin saya lihat juga ada. Di Mamasa, Sulawesi Barat, ada sepuluh pejabat di pemerintahan daerah yang juga sudah disumpah dengan cara yang sama,” ujarnya.
Namun, dalam urusan pemakaman, masih sering terjadi penolakan yang dialami warga penghayat kepercayaan. Ia mengatakan, ada warga penghayat yang dimakamkan di pemakaman muslim, ada juga yang dikremasi. Tergantung kesepakatan pihak keluarga.
“Selama komunikasinya baik dengan warga sebenarnya semuanya bisa dibicarakan. Ada contoh kasus yang dimakamkan di makam muslim, setelah disalatkan terlebih dahulu. Asal keluarganya tidak keberatan,” katanya.
Menurut Endang, untuk kasus warga penghayat yang dimakamkan dengan cara disalatkan terlebih dahulu, pertimbangannya karena pemakaman umum yang dikelola pemerintah daerah terlalu jauh.
“Tapi kami bersepakat dengan warga bahwa para penghayat kepercayaan boleh menghadiri dan mendoakan prosesi pemakaman itu,” tuturnya.
Untuk masalah ini, penolakan pemakaman, Endang mengaku sedang menindaklanjutinya dengan jajaran terkait. Ia berharap, pemerintah bisa menyediakan lahan pemakaman khusus bagi warga penghayat kepercayaan.
Memelihara diskriminasi
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito mengatakan, amar putusan MK merupakan sebuah bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi penghayat kepercayaan, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, serta dijamin dalam konstitusi.
“Mereka (warga penghayat kepercayaan) mestinya tidak lagi takut dalam mengekspresikan kebebasan dalam menganut kepercayaan yang mereka yakini,” tuturnya ketika dihubungi, Kamis (28/2).
Selanjutnya, Arie memandang, hal ini juga harus dihormati semua pihak, dan negara memiliki kewajiban melindungi hak-hak warga penghayat.
Dihubungi secara terpisah, menyoal pencantuman kepercayaan di KTP el, antropolog sekaligus peneliti Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat (PUSAKA) R Yando Zakaria mengatakan, kelompok para penghayat kepercayaan sebenarnya punya aspirasi yang tidak tunggal.
Menurutnya, ada tiga bentuk aspirasi. Pertama, ada yang tidak mempermasalahkan pencantuman itu atau mengasosiasikan diri dengan agama resmi yang ada. Kedua, ada yang puas dengan diakuinya kepercayaan sebagai identitas yang tercantum di KTP el, meski secara otomatis berbeda dengan agama. Seperti yang kini diterapkan. Ketiga, ada yang menginginkan kesetaraan antara agama dan kepercayaan.
Selain tiga aspirasi tersebut, kata Yando, ada pula yang menolak agama tradisi atau lokal dikategorikan sebagai kepercayaan, dan menuntut kolom agama di KTP el bisa diisi dengan nama agama tradisi atau lokal.
“Keputusan saat ini, yang membedakan agama dan kepercayaan pada kolom KTP el, bukan tidak mungkin memelihara diskriminasi yang ada,” katanya saat dihubungi, Kamis (28/2).
Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah saat ini tidak akan memuaskan semua pihak. Dan pada titik tertentu, menurutnya, masih mempertahankan politik diskriminatif yang ada.
“Ya, yang menggunakan KTP el dengan kolom kepercayaan tetap saja dianggap tidak beragama. Padahal, agama itu apapun wujudnya, fundamental sekali bagi seseorang atau kelompok. Coba saja di balik, enam agama resmi sekarang itu dikategorikan sebagai kepercayaan, mau enggak?” kata dia.