Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai, tidak ada urgensi bagi pemerintah dan DPR untuk menyusul Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan format sapu jagat (omnibus law).
"Kami mendukung perubahan sistem kesehatan nasional semakin baik. Namun, dengan pembahasan omnibus law, kami khawatir akan mengubah fungsi yang sudah ada dan baik dalam UU existing," ucap Ketua Umum PB IDI, Adib Khumaidi, Selasa (18/10).
DPR bersama pemerintah pada September lalu menyetujui 38 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Salah satunya adalah RUU Kesehatan, yang diusulkan parlemen.
Sayangnya, berdasarkan pengakuan sejumlah organisasi profesi kesehatan, termasuk IDI, tidak ada satu pun di antara mereka yang dilibatkan dalam penyusunan draf RUU Kesehatan.
Atas dasar itu, perwakilan IDI menemui Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, pada Selasa, untuk menyerahkan beberapa masukan terkait penyusunan RUU Kesehatan.
Cak Imin, sapaan Muhaimin, berjanji, DPR bakal mengakomodasi rekomendasi yang disampaikan. "Masukan IDI penting agar [dewan] tidak gegabah memutuskan UU dibahas secara omnibus."
Di sisi lain, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengapresiasi kinerja jajaran IDI dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Kami berharap, IDI bisa terus bekerja sama dengan pemerintah sebagai kekuatan sosial yang bisa membantu sistem kesehatan semakin baik," tandasnya, melansir situs web DPR.
Secara terminologi, omnibus berasal dari bahasa Latin yang artinya untuk semuanya. Omnibus law dalam konteks hukum berarti hukum yang mencakup semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal.
Metode ini kali pertama diadopsi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Regulasi tersebut disusun dengan merevisi sekitar 79 UU yang telah ada sebelumnya.