close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto ilustrasi kekerasan seksual/Pixabay.
icon caption
Foto ilustrasi kekerasan seksual/Pixabay.
Nasional
Kamis, 02 Juli 2020 22:22

IFLC desak DPR segera sahkan RUU PKS

RUU PKS dinilai penting karena merumuskan sejumlah ancaman pidana tambahan.
swipe

Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Desakan ini muncul setelah DPR mencabut RUU tersebut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, Kamis (2/7).

IFLC kemudian membeberkan sejumlah alasan mengapa RUU PKS tersebut perlu disahkan. Salah satunya, RUU PKS dinilai mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

"Sehingga RUU PKS sudah sesuai dengan ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP," kata Ketua IFLC Nur Setia Alam Prawiranegara dalam Kertas Posisi yang diterima, Kamis (2/7). 

Tak hanya itu, RUU PKS juga dinilai merumuskan jenis-jenis pemidanaan sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan yang berbeda dengan KUHP.

"RUU PKS memperkenalkan rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu," lanjut Nur Setia.

Alasan lain mengapa RUU PKS dinilai penting, karena merumuskan sejumlah ancaman pidana tambahan yang dijatuhkan sesuai perbuatan yang dilakukan.

"Seperti ancaman pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak poltik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi dan pengumuman putusan hakim," urainya.

Bahkan, jelas dia, RUU PKS mengatur peran dan tugas lembaga negara, pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual.

"Pengaturan ini tidak terdapat dalam KUHP, dan tidak dapat diatur oleh KUHP karena materi muatan ini bukan merupakan tindak pidana," bebernya.

IFLC lantas merujuk data yang didokumentasikan oleh Komnas Perempuan selama 12 tahun (2001-2012), bahwa sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari.

Pada 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, dimana 2,920 kasus diantaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan. 

Sedangkan pada 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus. Sementara 2018, berdasarkan data BPS, tercatat jumlah kasus perkosaan mencapai 1.288 kasus, pencabulan tercatat 3.970 kasus dan kekerasan seksual tercatat 5.247 kasus. 

Mengingat pencegahan kekerasan seksual merupakan hal yang penting, sambung dia, maka pencegahan ini harus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

"Oleh karena itu Indonesian Feminist Lawyer Club meminta kepada DPR RI untuk mengkaji kembali, memberikan ruang untuk masuk ke prolegnas dan mengesahkan menjadi UU yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya korban perempuan dan korban anak serta korban kaum disabilitas," pungkasnya.

img
Fathor Rasi
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan