Ikhtiar melawan post-truth industri sawit
Industri sawit di Indonesia saat ini memang belum berkelanjutan. Akan tetapi, industri sawit yang berkembang lebih 100 tahun itu kini lebih berkelanjutan ketimbang 10-20 tahun lalu. Industri sawit Indonesia juga lebih berkelanjutan ketimbang industri minyak nabati lainnya.
"Kita dipaksa mempraktekkan absolut sutainability. Dengan cara itu, sawit ditolak (di pasar Eropa). Mestinya yang dikembangkan adalah relative sustainability," kata Bungaran Saragih saat jadi pembahas peluncuran buku "Sawit Untuk Negeri" di IPB International Convention Center, Botanical Square Mall, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/9).
Menteri Pertanian Kabinet Gotong Royong periode 2000-2004 itu menegaskan, sawit Indonesia lebih berkelanjutan ketimbang minyak dari kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari. Ketiga minyak nabati terakhir ini dihasilkan oleh negara-negara Eropa.
Karena itu, ia berharap Pusat Studi Sawit IPB University bisa menghasilkan inovasi dan terobosan baru untuk menjawab berbagai tantangan industri sawit. Menurut pria kelahiran 17 April 1945 itu, yang perlu didorong adalah jalan tengah menang-menang lewat pembangunan berkelanjutan dengan konsep keberlanjutan relatif.
Isu deforestasi dan biodiversitas, kata Bungaran, tidak tepat diperhadapkan. Demikian pula keliru membandingkan sawit dengan hutan. Sawit dan hutan, kata dia, tujuannya berbeda. Perbandingan menjadi tepat apbila sawit disandingkan dengan minyak nabati lain.
Ia kemudian mengutip hasil riset yang membandingkan lenyapnya biodiversitas (biodiversity lost) per ton di antara minyak nabati di dunia. "Ternyata (biodiversity lost) sawit lebih rendah dari pada kedelai, rapeseed, dan bunga matahari," kata Bungaran.
Hutan dan sawit, kata Bungaran, tidak perlu dipertentangkan. Keduanya diperlukan. Keduanya bisa hidup harmonis dengan fungsi masing-masing. "Sawit menghasilkan kue ekonomi, dan hutan menghasilkan kue ekologi. Keduanya, sawit dan hutan, menghasilkan kue ekonomi dan ekologi."
Pusat Studi Sawit
Senada, Arif Satria menekankan perlunya rasionalitas ekonomi dan rasionalitas ekologi bersanding. Tidak ada kalah-menang. Mengedepankan rasionalitas ekonomi akan berujung kerusakan lingkungan. Sebaliknya, menganakemaskan rasionalitas ekologi bakal berujung stagnasi.
Bersamaan dengan diskusi buku, rektor IPB University itu juga meresmikan berdirinya Pusat Studi Sawit IPB University. "Ini ikhtiar untuk memberikan sumbangan bagi sawit. Tidak saja sisi ekonomi, tapi juga teknologi, lingkungan, dan sosial," kata Arif.
Arif kemudian membeberkan aneka inovasi hulu-hilir yang dihasilkan para peneliti kampusnya. Salah satunya pemupukan presisi untuk sawit yang dijalankan oleh robot. Hasilnya, pemupukan bisa dihemat 22-23%. "Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, inovasi harus didorong," kata dia.
Ada pula aplikasi manajemen hama, rompi antipeluru dan helm dari limbah sawit. Juga baju dan jaket dari limbah sawit. Yang perlu juga dilirik, kata Arif, potensi limbah sawit sebagai gula masa depan.
"Gula masa depan bukan lagi dari tebu, tapi dari bahan apa pun. Sawit salah satunya. Gula dari tebu itu gula generasi pertama. Kita harus kembangkan gula generasi ketiga, keempat," kata Arif yang mengklaim sudah menyampaikan hal ini ke Presiden Joko Widodo dan para menteri.
Melawan post-truth
Tanpa keraguan, Petrus Gunarso memastikan sawit adalah anugerah bagi bangsa Indonesia. Tidak hanya bagi bangsa dan negara, tapi juga terbukti nyata sebagai sumber devisa, menyerap jutaan tenaga kerja, jadi sandaran hidup jutaan petani, dan menghasilkan aneka produk sehat.
Akan tetapi, dalam berbagai diskusi sawit selalu identik dengan masalah: penyebab deforestasi, emisi gas, mengusir habitat orang utan, eksploitasi, dan pemusnah biodiversitas. "Tak sedikit orang mengecam keberadaan sawit dan mengerdilkan potensi dan kebenaran," kata dia.
Dari diskusi intens dengan A.B. Susanto, pemilik The Jakarta Consulting Group, Petrus setuju berkolaborasi. "Kami ingin membela pelaku sawit yang menghadapi post-truth. Informasi (yang tidak benar tentang sawit) disampaikan berulang-ulang, sehingga dianggap kebenaran," kata Petrus.
Akan tetapi, sebelum kolaborasi menulis buku usai, A.B. Susanto meninggal. Petrus lantas melanjutkan hingga tuntas. Di buku ini, Petrus dan Susanto menyajikan informasi berimbang ihwal tudingan miring pada sawit. Bahkan menyajikan bantahan. Ada banyak topik diulas, termasuk tudingan sawit rakus dan merusak air, deforestasi, dan pekerja anak.
"Informasi tentang sawit selama ini timpang," ujar Patricia Susanto, putri A.B. Susanto, saat mengantarkan diskusi buku ini.
Industri sawit tertekan
Bagi Joko Supriyono, menjadikan 'Sawit untuk Negeri' ada syaratnya. Karena faktanya, "Indonesia berbisnis sawit semakin tidak mudah. Permintaan domestik naik, tapi ekspor stagnan, bahkan cenderung turun," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia itu.
Joko mengaku selalu mengintip laporan keuangan perusahaan sawit yang listing di bursa. Kesimpulannya, tujuh tahun terakhir rerata produktivitas stagnan, bahkan cenderung menurun. Jika kemudian produksi minyak sawit mentah (CPO) terus bertambah itu karena ekspansi.
Hari-hari ini, kata Wakil Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk itu, pelaku usaha sawit tidak berani ekspansi. "Bukan karena moratorium perluasan sawit, tapi karena pressure market," kata Joko.
Joko menyontohkan standar no deforestation, no peat development, and no exploitation (NDPE). Tidak ada secuil yang mengatur NDPE di negeri ini. Akan tetapi, NDPE menjadi pressure market yang harus dipenuhi yang membuat pelaku usaha tidak berkutik. "Ini beyond regulation," kata dia.
Di level internasional, kata Joko, hanya dikenal dua kategori: hutan dan bukan hutan. Sebaliknya, di Indonesia ada empat kategori: hutan, bukan hutan, kawasan hutan, dan bukan kawasan hutan. Ini menyulitkan.
Bagi Joko, keharusan keberlanjutan nyata-nyata menjadi beban. Ia mesti disiasati agar sawit tetap kompetitif. Ia lantas mengingatkan semua pihak, "Jangan seperti pepatah Medan, syur bikin regulasi sendiri tapi tidak menjawab tantangan internasional."