Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi disebut pernah meminta dana operasional tambahan sebesar Rp50 juta hingga Rp70 juta untuk keperluan kunjungan kerja kepada anak buahnya.
Hal itu diungkapkan oleh mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora, Bambang Tri Joko saat bersaksi dalam sidang lanjutan perkara suap penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah pada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) 2018.
Mulanya, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK), Ronald Ferdinand Worotikan mengonfirmasi keterangan Bambang terkait permintaan Imam ihwal dana operasional tambahan dalan berkas acara pemeriksaan (BAP).
Permintaan itu disampaikan Imam melalui staf pribadinya, Miftahul Ulum ke Alfitra Salam selaku Sekretaris Menpora. Alhasil, Alfitra menyampaikan permintaan dana tambahan itu ke Bambang.
"Dari Sesmen (menyampaikan permintaan itu). Bukan terdakwa Pak. Yang diminta Ulum ke Pak Alfi tadi antara Rp50 juta hingga Rp70 juta. Setelah disampaikan itu, Ulum sampaikan ke kami," papar Bambang, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (27/2).
Bahkan, Ulum sempat menghampiri dirinya untuk meminta dana tersebut kepada Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu Satlak Prima Kemenpora.
"(Ulum) pernah datang ke ruangan saya untuk meminta dana itu kepada saudara bendahara, saudara Lina," ujar Bambang.
Dalam perkara ini, Bambang bersaksi untuk Imam Nahrawi. Sebelumnya, dia telah didakwa menerima uang suap sebesar Rp11,5 miliar terkait mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI. Setidaknya, terdapat dua proposal kegiatan KONI yang menjadi sumber suap Imam.
Pertama, terkait proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Gemes 2018. Kedua, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi Tahun Kegiatan 2018.
Imam didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, dia juga didakwa telah melanggar Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain suap, Imam juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp8,6 miliar. Uang itu diterima Imam melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum dalam rentang waktu 2014 hingga 2019.
Kendati menerima gratifikasi, Imam dianggap melanggar Pasal 12B ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.