Lembaga Imparsial mendesak pemerintah dan DPR, sebagai pihak otoritas untuk mengevaluasi kebijakan pelibatan peran militer di Papua. Hal ini terkait dengan kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap empat orang Papua di Kampung Pigapu, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, yang diduga melibatkan enam anggota TNI.
Pada kasus ini, enam anggota TNI telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Puspom TNI AD. Keenam tersangka terdiri dari atas satu orang berpangkat mayor, satu orang berpangkat kapten, satu orang praka, dan tiga orang berpangkat pratu yang berasal dari kesatuan Brigif 20/IJK/3 Kostrad.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai, proses hukum terhadap enam anggota TNI terduga pelaku pembunuhan dan mutilasi harus dijalankan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
"Idealnya, para terduga pelaku tersebut seharusnya diadili di peradilan umum mengingat perbuatan yang dilakukannya merupakan tindak pidana, namun hingga kini sistem peradilan militer belum direformasi," kata Gufron dalam keterangan tertulis, Senin (5/9).
Menurut Gufron, proses peradilan yang objektif, transparan dan akuntabel terhadap para pelaku penting untuk dilakukan, sehingga tidak terjadi praktik impunitas sebagaimana kecenderungan yang sering terjadi dalam kasus kekerasan di Papua yang melibatkan aparat keamanan.
"Penegakan hukum harus ditegakan, jangan sampai ada proses impunitas terhadap pelaku kekerasan yang hanya akan semakin memperburuk situasi hak asasi manusia di Papua," ujar Gufron.
Evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan keamanan, khususnya peran militer di Papua, secara pararel perlu dilakukan bersamaan dengan penegakan hukum terhadap para terduga pelaku. Sebab, imbuhnya, ada informasi yang berkembang terkait dugaan praktik jual-beli senjata api yang melatarbelakangi peristiwa pembunuhan dan mutilasi tersebut.
"Jika informasi ini benar adanya, jelas bahwa hal tersebut merupakan bentuk penyimpangan dan sekaligus mengindikasikan lemahnya kontrol dan pengawasan secara internal terhadap aparatnya di lapangan," paparnya.
Gufron menilai, isu praktik jual-beli senjata api yang melibatkan aparat bukanlah isu baru yang dipandang turut berkontribusi melanggengkan konflik dan kekerasan bersenjata di Papua. Oleh karena itu, pihaknya mendesak Komisi I DPR, untuk menjalankan pengawasan dan kontrol yang efektif dalam mendorong penuntasan kasus pembunuhan dan mutilasi, juga evaluasi dan koreksi secara menyeluruh kebijakan pelibatan peran militer di Papua.
Menurut Gufron, pada konteks ini, rencana Komisi I DPR yang akan memanggil Menteri Pertahanan dan Panglima TNI menjadi langkah tepat.
"Namun, Imparsial mengingatkan bahwa agenda tersebut jangan hanya berfokus pada peristiwanya saja, tapi juga harus menghasilkan terobosan penting dan nyata dalam mengevaluasi peran militer di Papua, termasuk kebijkannya yang dipandang keliru dan dugaan banyaknya praktik penyimpangan di lapangan. Tanpa adanya evaluasi dan koreksi yang menyeluruh, kekerasan aparat militer akan terus terjadi di Papua," jelas Gufron.
Gufron menambahkan, kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk mendorong reformasi sistem peradilan militer yang tak kunjung dijalankan meski telah dimandatkan sejak awal Reformasi 1998. Reformasi sistem peradilan dinilai penting untuk mewujudkan prinsip persamaan di hadapan hukum, dan untuk mencegah praktik impunitas terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana.