Hari Anti Hukuman Mati Sedunia (World Anti-Death Penalty) diperingati setiap 10 Oktober. Dalam tatanan moral dan hukum Internasional, hukuman mati mulai ditinggalkan, sebab dinilai tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta tidak terbukti menyelesaikan permasalahan maraknya kejahatan di suatu negara.
Sampai saat ini, ada 147 negara di dunia yang tidak mempraktikkan hukuman mati, baik karena sudah menghapus maupun melakukan moratorium. Kendati demikian, lembaga Imparsial mencatat Indonesia justru masih masuk ke dalam sedikit negara yang masih menjatuhkan vonis hukuman mati di berbagai tingkat pengadilan.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengungkapkan, berdasarkan pemantauan media yang dilakukan pihaknya, sepanjang 2019-2022 atau di periode ke-2 pemerintahan Presiden Jokowi, ada 232 terpidana mati baru.
Angka tersebut, ujar Gufron, menjadikan jumlah total terpidana mati sepanjang pemerintahan Jokowi sejak 2014 menjadi 453 orang. Adapun jumlah terpidana mati di periode pertama Jokowi dibanding dengan periode ke-2, meningkat hingga 174%.
"Jika dibandingkan dengan pendahulunya, 15 tahun masa pemerintahan BJ. Habibie, Gusdur, Megawati, dan dua periode SBY, hanya terdapat 197 terpidana mati. Hal ini membuat jumlah terpidana mati di masa pemerintahan presiden Jokowi yang hanya delapan tahun, meningkat hingga 431%," kata Gufron dalam keterangan tertulis, Senin (10/10).
Gufron menjelaskan, mayoritas terpidana mati adalah mereka yang terjerat kasus narkotika. Berdasarkan jenis kejahatan yang dilakukan, 180 orang terjerat kasus narkotika, 32 orang terlibat pembunuhan/pembunuhan berencana, 11 orang divonis mati lantaran terlibat kasus pemerkosaan yang disertai pembunuhan, dua orang divonis mati untuk kasus pemerkosaan, dan ada tujuh terpidana yang divonis mati untuk kasus terorisme.
Disampaikan Gufron, sebagian besar terpidana mati berjenis kelamin laki-laki, yakni 224 orang, dan tujuh orang lainnya berjenis kelamin perempuan. Kemudian, ada satu orang yang tidak diketahui jenis kelaminnya, sebab sulit sekali menemukan data resmi tentang para terpidana mati. Adapun dari kewarganegaraannya, ada 217 WNI dan 16 WNA yang mendapat vonis hukuman mati.
"Hal yang paling menyedihkan adalah, dari 232 terpidana mati di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, terdapat 185 terpidana divonis hukuman mati di tengah situasi pandemi Covid-19. Sebuah ironi, disaat seluruh masyarakat di dunia mencoba untuk menyelamatkan nyawa, pengadilan di Indonesia malah membuat putusan untuk mencabut nyawa dengan pemberian hukuman mati melalui sidang yang dilakukan secara virtual (teleconference)," ujar Gufron.
Dari 185 terpidana, 86% divonis mati melalui sidang virtual. Hanya 14% yang divonis melalui sidang langsung, itupun dengan pembatasan-pembatasan yang dilakukan selama pandemi Covid.
Gufron menilai, sidang virtual jelas tidak bisa maksimal untuk mengungkap kebenaran materil dalam sebuah tindak kejahatan. Menurutnya, mencabut nyawa melalui sidang virtual sudah jelas tidak memberikan keadilan substantif bagi terdakwa, lebih dari itu juga tidak manusiawi.
"Kami menilai, di tengah sistem peradilan di Indonesia yang masih butuh banyak perbaikan, tidak patutlah menerapkan hukuman mati yang tidak menyisakan ruang koreksi. Sudah banyak kasus hukuman mati dengan indikasi peradilan sesat (unfair trial) yang sampai saat ini tidak kunjung ada kejelasan," ujar dia.
Oleh karenanya, Imparsial mendesak agar Jokowi membentuk tim khusus yang bertugas untuk mengevaluasi vonis hukuman mati yang telah dijatuhkan selama ini, khususnya selama masa pandemi karena rentan terhadap unfair trial atau peradilan sesat.
Kemudian, pihaknya mendesak Jokowi membentuk tim untuk mengkaji permohonan-permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati sekaligus meninjau kondisi terpidana mati di dalam Lapas, dan memastikan langkah-langkah komutasi terhadap terpidana mati berdasarkan hasil kajian tersebut.
Lalu, mendesak Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung memerintahkan jajarannya untuk menghentikan penuntutan dan penjatuhan vonis mati dalam proses persidaangan yang dilakukan secara virtual. Sebab, proses hukum yang berjalan sangat rawan akan terjadinya kegagalan memberikan keadilan substantif/materil.
Pihaknya juga mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya terhadap perkara kasus terpidana mati untuk memastikan adanya proses hukum yang benar, adil dan akuntabel, sehingga menutup peluang terjadinya kesalahan penghukuman.
Terakhir, mendesak pemerintah melakukan moratorium resmi dengan membatalkan semua rencana eksekusi mati pada masa yang akan datang dalam rangka untuk menghapus hukuman mati dari sistem hukum Indonesia.