Implementasi Peraturan Daerah (Perda) Pelestarian Kebudayaan Betawi dinilai lemah. Bahkan, Direktur Eksekutif Jakarta Monitoring Network (JMN), Ahmad Sulhy menilai, aturan ini hanya sebagai tulisan pasal per pasal di atas kertas saja.
Perda yang disahkan pada 13 Agustus 2015, menurut dia, tidak dijalankan dengan baik oleh Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan DKI. Begitu pun, dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan di Kebon Sirih, ikut-ikutan lemah.
"Lemah sekali. Harusnya, dengan aturan ini budaya Betawi bisa tambah berkibar. HUT DKI ini, mesti jadi momentum jalankan Perda Pelestarian Kebudayaan Betawi dengan baik," kata Sulhy, di Jakarta, Selasa (23/6).
Dia menyayangkan, Perda Pelestarian Kebudayaan Betawi hanya untuk dijadikan sosialisasi perda di tengah-tengah masyarakat oleh DPRD DKI dan rutinitas perayaan HUT DKI. "Perda tidak maksimal diterapkan, banyak gedung, hotel, tempat wisata, dan mal tidak memiliki ornamen Betawi. Komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) DKI, sudah progresif. Tapi, Dinas Kebudayaan DKI, Dinas Pariwisata DKI, DPRD DKI, dan Badan Musyawarah (Bamus) Betawi lemah. Akhirnya, perda ini sia-sia," bebernya.
Dia mengaku, sudah keliling beberapa mal, hotel, pasar, dan tempat wisata lainnya tidak ada ornamen Betawi. Padahal, itu diatur dalam Perda Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Sulhy menilai, hanya Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan (Jaksel), yang benar-benar menjalankan Perda Pelestarian Budaya Betawi. "Aturan ini jangan hanya jadi tinta di atas kertas. Tapi, implementasikan dengan baik," tandasnya.