Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, menilai sistem perencanaan pemerintah terkait pengelolaan dan pengembangan perkeretaapian kacau. Hal ini buntut dari polemik rencana impor kereta api listrik (KRL) bekas dari Jepang.
Menurutnya, pemerintah malas mengkaji dan memperkirakan jumlah kebutuhan rangkaian kereta api nasional. Akibatnya, pemerintah selalu mengandalkan impor untuk pengadaan kereta. Padahal, di dalam negeri ada industri pembuatan kereta api yang perlu didukung dan dikembangkan juga.
"Harusnya ada perencanaan yang matang berupa roadmap kebutuhan kapasitas KRL dan kemampuan pengadaannya secara domestik. Sehingga match antara kebutuhan PT KCI dengan kemampuan produksi PT INKA. Menteri BUMN jangan impor minded. Sayang kalau devisa kita terkuras terus dan kapabilitas industri dalam negeri tidak dioptimalkan," kata Mulyanto kepada wartawan, Senin (6/3).
Polemik impor kereta api bekas dari Jepang bermula dari usulan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) terkait rencana penggantian 10 unit rangkaian kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek yang akan pensiun pada 2023, serta 19 unit pada tahun 2024.
Selain mengimpor rangkaian KRL bekas sebanyak 29 unit pada 2023-2024, KCI telah berkomitmen membeli 16 rangkaian KRL baru buatan PT INKA senilai Rp4 triliun. Kontrak pengadaan kereta buatan domestik itu baru akan diteken pada Maret 2023 tapi selesai produksinya nanti pada 2025-2026.
Namun demikian, upaya KCI untuk melakukan penambahan dan peremajaan ini menemui kendala, yaitu berupa dana, waktu dan masalah perizinan. Dari sisi pendanaan, pengadaan 16 KRL baru dari INKA mencapai Rp4 triliun, sementara untuk impor 10 KRL eks Jepang hanya membutuhkan biaya Rp150 miliar.
Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan KRL baru dari INKA mencapai 34 bulan, sementara untuk impor dari Jepang hanya membutuhkan waktu 12 bulan.
Sayangnya, upaya KCI untuk mengimpor KRL eks Jepang menemui kendala lantaran surat permohonan persetujuan impor barang modal dalam keadaan tidak baru (BMTB) ini pada bulan Januari 2023 ditolak oleh Kemenperin karena tidak memenuhi syarat minimal tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Ketimbang impor dari Jepang, Kemenperin) meminta KCL membeli produk dalam negeri dari PT Industri Kereta Api (INKA).
Lebih lanjut Mulyanto menegaskan, dari polemik impor KRL ini terlihat betapa perhatian pemerintah terhadap peningkatan kualitas layanan transportasi publik masih minim. Selama ini, kata dia, tugas peningkatan layanan transportasi publik dibebankan kepada pemerintah daerah dan swasta. Akibatnya, kondisi transportasi publik di beberapa daerah tidak standar dan sangat memprihatinkan.
"Perhatian pemerintah pada peningkatanan kualitas layanan transportasi publik masih lemah. Ini bisa kita lihat dari postur APBN kita yang lebih banyak digunakan untuk mensubsidi pemilik kendaraan pribadi daripada untuk memperbaiki jumlah dan kualitas layanan transportasi publik," ucap potikus PKS itu.
Mulyanto membandingkan perhatian pemerintah terhadap infrastruktur KRL dengan subsidi mobil listrik atau kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Harusnya kan pemerintah lebih memperhatikan kualitas layanan transportasi publik, ketimbang subsidi untuk pembelian mobil listrik pribadi bagi orang yang mampu," tuturnya.