Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadili tersangka kasus suap penetapan DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW), Harun Masiku dengan mekanisme persidangan in absentia, dianggap sebagai upaya menutupi keterlibatan pihak lain.
"Saya curiga, rencana Harun Masiku diadili secara in absentia untuk menutupi keterlibatan pihak-pihak tertentu," kata Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zaenur Rohman, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (6/3).
Dalam istilah hukum, in absentia merupakan proses mengadili seseorang tanpa dihadiri terdakwa yang berperkara. Ketentuan persidangan in absentia, telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam aturan itu menyebutkan, bila seorang terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. "Jadi secara hukum memang itu dimungkinkan," kata Zaenur.
Hanya saja, konsep peradilan in absentia mempunyai tujuan utama, yakni pengembalian kerugian keuangan negara atau asset recovery. Untuk itu, peradilan in absentia dapat dilakukan jika fokus peradilan untuk mengembalikan kerugian negara.
"Nah, dalam kasus Harun Masiku tak ada kekayaan negara yang ingin dikejar. Yang ingin dikejar adalah keterlibatan Harun Masiku beserta pihak-pihak lain. Sehingga orientasi untuk pidana badan itu tetap penting," papar Zaenur.
Itulah sebabnya, KPK tak mempunyai alasan yang kuat jika ingin mengadili Harun dengan mekanisme in absentia. Untuk itu, Pukat UGM Yogyakarta menolak dengan tegas rencana tersebut
"Jadi, peradilan in absentia untuk Harun Masiku itu tak memiliki alasan kuat, karena bukan persoalan uang negara yang ingin dikembalikan, yang sedang ingin dipulihkan. Pukat menolak!" ujar Zaenur.
Terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tetap bersikeras mengadili Harun secara in absentia. Hal itu dilakukan jika penyidik belum juga dapat menangkap Harun Masiku. Sebab, dia meyakini, konsep peradilan merupakan ruang pembelaan bagi terdakwa.
"Mau ada atau tidak, yang jelas itu hak dia untuk membela (di persidangan). Kalau dia (Harun Masiku) tidak ada, sekali lagi itu, berarti tersangka atau terdakwa tidak menggunakan hak membela diri," ujar dia.
Dia pun enggan menanggapi kritik yang dilayangkan Pukat UGM Yogyakarta. Ghufron menegaskan, pihaknya akan tetap merampungkan dan melimpahkan berkas penyidikan Harun meski belum ditangkap.
"Kami tidak komentar atas (kritik Pukat UGM Yogyakarta) itu. Yang jelas, kami akan melakukan sesuai dengan prosedur. Kalau sudah lengkap berkasnya, kami akan serahkan ke pengadilan, dan kemudian akan kami sidangkan. Baik ada maupun tidak ada terdakwa," papar Ghufron.