Peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 mengalami penurunan tajam menjadi peringkat ke-110 dari 180 negara/wilayah. Sebab, hanya mengantongi 34 poin dari skala 0-100. Semakin tinggi nilainya, maka kian bagus IPK suatu negara. Skor di bawah 50 menunjukkan sebuah negara memiliki masalah korupsi serius.
Posisi tersebut, menurut Transparency International, lembaga yang menyusun IPK setiap tahunnya, yang terburuk dalam 2 dasawarsa terakhir. IPK Indonesia tertinggi terjadi pada 2019 dengan 40 poin dan tahun 2002 yang terburuk karena hanya meraih 19 poin.
IPK disusun dengan melibatkan berbagai stakeholder, khususnya pelaku bisnis dan pakar. Pun mengambil beberapa data yang relevan, yakni PRS International Contry Risk Guide, Global Insight Country Risk Ratings, IMD World Competitiveness Yearbook, Economist Intelligence Unit Country Ratings, Bertelsmann Foundation Transform Index, PERC Asia Risk Guide, World Justice Project-Rule of Law Index, dan Varieties of Democracy Project (VDem).
Berdasarkan analisis Transparency International atas hasil 8 indikator komposit pada IPK 2022, terjadi penurunan pada 3 sumber data dibandingkan tahun sebelumnya. Perinciannya, PRS merosot 13 poin, IMD World Competitiveness Yearbook merosot 5 poin, dan PERC Asia turun 3 poin.
Tiga sumber data lainnya, Global Insight, Bertelsmann Transformation Index, dan Economist Intelligence Unit, mengalami stagnasi. Kenaikan tipis hanya terjadi pada 2 sumber daya, yakni World Justice Project-Rule of Law Index naik 1 poin dan VDem naik 2 poin.
Gayung bersambut, kata berjawab. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sesumbar bakal menindaklanjuti temuan tersebut. "Itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama."
Sangsi IPK membaik
Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, meragukan IPK Indonesia pada 2023 akan membaik. Ia lantas menyinggung dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuka ruang bagi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Kasus putusan MK [terkati syarat menjadi] capres (calon presiden)-cawapres (calon wakil presiden) yang bermasalah itu menjadi indikasi pengembangan wilayah korupsi menjadi lebih luas," jelasnya kepada Alinea.id, Senin (11/12).
"Memang [Putusan MK 90] tidak merugikan keuangan negara secara langsung, tetapi sengaja membelokkan hukum untuk kepentingan keluarga sendiri jelas selain melanggar konstutusi, juga upaya membunuh demokrasi dengan memaksakan orang yang belum cukup umur menjadi wapres," imbuhnya.
Melalui Putusan 90, MK menambah norma "pernah menjadi kepala daerah" sebagai syarat maju pada pemilihan presiden (pilpres). Gibran pun memenuhi kriteria ini lantaran hingga kini menjabat Wali Kota Surakarta (Solo) sekalipun belum berusia 40 tahun.
Keyakinan Fickar atas IPK Indonesia 2023 takkan membaik karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi yang dibentuk untuk memberantas berbagai praktik lancung, justru "diacak-acak" dengan merevisi alas hukumnya. KPK lantas tidak lagi independen, tetapi menjadi di bawah pemerintah (eksekutif).
"Akhirnya, melahirkan 'badut-badut pemeras', KPK dijadikan tameng dan alat penerasan," tegasnya. "Akhirnya, KPK tidak lagi berbeda dengan institusi lain [yang merupakan] bagian dari pemerintahan."
Diketahui, Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, ditetapkan penyidik Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ia dijerat Pasal 12e atau Pasal 12B atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo. Pasal 65 KUHP dengan ancaman penjara seumur hidup.
Faktor lainnya, sambung Fickar, kejaksaan dan Polri sebagai lembaga penegak hukum lainnya tidak mengalami kemajuan berarti dalam penanganan kasus korupsi. Kinerjanya dinilai normatif.
"[Kejaksaan dan Polri] malah tidak memperlihatkan kemajuan berarti, terutama di bidang pemberantasan korupsi. Dua institusi itu terjebak kerja rutin saja, tidak ada prestasi apa-apa, tidak banyak uang negara [yang] dapat dikembalikan," jelasnya.
Berikutnya, berlarut-larutnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Sebab, beleid itu diyakini turut memengaruhi tren pemberantasan korupsi.
"Ya, makanya UU Perampasan Aset harus menjadi prioritas supaya ada legalitas negara merampas aset para koruptor tanpa pengadilan," kata Fickar.
Menurutnya, praktis upaya pemberantasan korupsi hanya bisa mengandalkan kerja-kerja masyarakat sipil. Setidaknya dengan terus menyuarakan agar para koruptor dijatuhi hukuman maksimal: vonis mati atau seumur hidup. Harapannya, menimbulkan efek jera.