Mengapa indeks persepsi korupsi jeblok, tapi perilaku antikorupsi naik?
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, pemerintah risau dengan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 yang merosot. Menurut Mahfud, penurunan IPK ini yang tertinggi. Sebab, sejak era reformasi, indeksnya naik terus.
“Apakah korupsi makin banyak? Bisa ya karena buktinya, kita menangkap orang, OTT (operasi tangkap tangan),” kata Mahfud usai mengunjungi panti asuhan Bina Siwi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, seperti dikutip dari Antara, Jumat (3/2).
IPK dan IPAK
IPK tahun 2022 dirilis Transparency International (TI)—jaringan organisasi global antikorupsi nonpemerintah—pada akhir Januari 2023. Organisasi yang berbasis di Berlin, Jerman itu melaporkan, skor IPK Indonesia tahun 2022 adalah 34 poin, menurun dibandingkan 2021 yang sebesar 38 poin. Skor IPK Indonesia 2022 menyamai tahun 2014, saat awal pemerintahan Joko Widodo.
IPK adalah indikator komposit guna mengukur persepsi korupsi sektor publik pada skala nol (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) di 180 negara dan teritori. Semakin tinggi nilai persepsi korupsi, semakin rendah tingkat korupsi di negara itu. Sebaliknya, semakin rendah skor persepsi korupsi, semakin tinggi pula tingkat korupsinya.
Dengan skor 34, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei. Di Asia Tenggara, IPK Indonesia kalah dengan Singapura (83 poin), Malaysia (47 poin), Timor Leste (42 poin), Vietnam (42 poin), dan Thailand (36 poin). Skor persepsi korupsi Indonesia sama dengan Bosnia-Herzegovina, Gambia, Mawali, Nepal, dan Sierra Leone.
Menariknya, ketika IPK jeblok, justru indeks perilaku antikorupsi Indonesia (IPAK) pada 2022 meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, IPAK 2022 sebesar 3,93, naik dibanding 2021 yang sebesar 3,88. Nilai indeks yang mendekati lima poin menunjukkan masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sedangkan nilai indeks yang mendekati nol menunjukkan masyarakat berperilaku permisif terhadap korupsi.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman mengatakan, IPK disusun lembaga internasional, sedangkan IPAK diterbitkan pemerintah, dalam hal ini BPS. Selain IPAK, Indonesia punya sistem penilaian integritas (SPI) yang dikeluarkan KPK sebagai indikator keberhasilan pemberantasan korupsi.
Selain diterbitkan dua lembaga berbeda, indikator survei IPK dan IPAK, menurut Zaenur juga tak sama. Indikator yang dihitung IPK, kata dia, adalah indeks-indeks yang sudah dihasilkan lembaga lain.
“Yang kurang lebih memotret bagaimana kemudahan berusaha, kepastian hukum, hak asasi manusia, risiko korupsi, dan seterusnya,” kata Zaenur dihubungi Alinea.id, Jumat (17/3).
“Jika (semua indikator) disatukan, akan menunjukkan tingkat toleransi terhadap korupsi.”
Indeks yang turun dan naik
Dilansir dari situs web Transparency International Indonesia (TII), IPK dihitung menggunakan data dari 13 sumber eksternal, termasuk Bank Dunia, Forum Ekonomi Dunia, serta perusahaan konsultan dan risiko swasta.
Jenis korupsi sektor publik yang disorot dalam IPK, antara lain penyuapan, pengalihan dana publik, penuntutan kasus korupsi yang efektif, kerangka hukum yang memadai, akses informasi, serta perlindungan hukum bagi pelapor, jurnalis, dan penyidik.
“CPI (corruption perception index) tidak mengukur bentuk korupsi, seperti penggelapan pajak, pencucian uang, kerahasiaan keuangan, arus keuangan ilegal, atau korupsi sektor swasta lainnya,” tulis keterangan dalam situs web TII.
IPK lebih menyasar penyelenggara pelayanan publik. Sementara IPAK, lanjut Zaenur, tujuannya mengukur perilaku antikorupsi di masyarakat. Hal ini dilihat dari seberapa tinggi atau rendah tingkat permisif masyarakat terhadap korupsi.
“Bagaimana pendapat masyarakat terhadap kebiasaan mengenai korupsi dan pengalaman ketika berhubungan dengan pelayanan publik,” ujarnya.
“Yang dinilai masyarakatnya dan singgungan antara masyarakat dengan pemerintah.”
Menurut BPS, IPAK disusun berdasarkan dimensi persepsi dan pengalaman. Dimensi persepsi berupa penilaian terhadap kebiasaan antikorupsi di masyarakat. Sementara dimensi pengalaman adalah pengalaman antikorupsi yang terjadi di masyarakat.
Dalam catatan BPS, nilai indeks persepsi 2022 menurun 0,03 poin dibanding 2021, dari 3,83 menjadi 3,80. Sedangkan indeks pengalaman 2022 sebesar 3,99, meningkat 0,09 poin dibanding 2021 sebesar 3,90.
Dimensi persepsi terdiri dari tiga subdimensi, yakni persepsi keluarga, komunitas, dan publik. Sedangkan dimensi pengalaman terdiri dari subdimensi pengalaman publik dan pengalaman lainnya. BPS pun mencatat, semakin tinggi pendidikannya, masyarakat semakin antikorupsi.
“Pada 2022, IPAK masyarakat berpendidikan dasar (SD ke bawah) sebesar 3,87, menengah (SMP dan SMA) sebesar 3,94, dan tinggi (di atas SMA) sebesar 4,04,” tulis BPS dalam laporan bertajuk Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Tahun 2022, yang diterbitkan pada Agustus 2022.
Secara umum pada 2022, BPS melaporkan persentase masyarakat yang berperilaku korup mengalami penurunan. Misalnya, persentase masyarakat yang pernah ditawari uang, barang, atau fasilitas lain untuk memilih kandidat tertentu dalam pilkades, pilkada, atau pemilu menurun dari 16,70 pada 2021 menjadi 11,88 pada 2022.
Zaenur menyimpulkan, jika IPAK naik berarti masyarakat semakin sadar akan bentuk korupsi, beserta bahayanya. Sedangkan jika IPK turun, artinya indeks-indeks yang berpengaruh terhadap korupsi juga merosot.
“Jadi kalau IPK turun, tapi IPAK-nya naik, berarti masyarakat semakin antikorupsi. Kesimpulannya seperti itu. Tapi kan pemerintahnya belum tentu (sadar korupsi)? Iya enggak?” tuturnya.