Indonesia dipastikan menguasai ruang udara penerbangan (Flight Informatin Region/FIR) di Kepulauan Riau (Kepri) dan sekitarnya dari Singapura. "Negeri Singa" menguasainya sejak 1946, saat masih di bawah pemerintah kolonial Inggris.
Finalisasi penguasaan tersebut dikabarkan dibahas dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, di Kabupaten Bintan, Kepri, pada hari ini (Selasa, 25/1).
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, menilai, sedikitnya ada tiga keuntungan yang didapatkan Indonesia dengan menguasai FIR Kepri. Seluruhnya demi kesejahteraan rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 mengingat wilayah kedaulatan udara tergolong sumber daya alam (SDA).
"Apa tuh untuk kesejahteraan rakyat? Yang pertama, adalah karena traffic-nya (lalu lintas penerbangan) tinggi, maka pemasukkannya tinggi, kan," ucapnya saat dihubungi Alinea.id, beberapa saat lalu.
Kedua, Indonesia memiliki kebebasan untuk bergerak di wilayah tersebut karena tidak lagi dikuasai otoritas negara lain. Apalagi, kawasan Kepri dan sekitarnya tergolong perbatasan kritis (critical border).
"Karena itu daerah yang merupakan kawasan disebut critical border karena berbatasan dengan banyak negara, apalagi dekat South China Sea (Laut China Selatan/LCS), maka tentunya ada kepentingan Angkata Udara dan Angkatan Laut (AL) untuk beroperasi di sana," jelasnya.
Terakhir, dapat mengawasi wilayah udara dengan optimal dan maksimal, terutama dalam memantau pergerakan pesawat tanpa izin. "Selama ini penerbangan tanpa izin lewat-lewat saja di situ," ungkap Chappy.
Pendiri Indonesia Center for Air Power Studies (ICAP) itu menambahkan, kedirgantaraan (air and space) merupakan masa depan umat manusia yang bernilai tinggi sehingga kerap disebut sebagai martabat bangsa.
"Kenapa bernilai tinggi? Karena satelit komunikasi, kan, di udara. Satelit komunikasi, kan, menyangkut kehidupan sehari-hari," katanya. "Internet, Wi-Fi, dan segala macam. ATM enggak bisa kita ambil uang sendiri kalau time signal dari satelit mati. Betul enggak?"
Meskipun demikian, Chappy mengingatkan, kedirgantaran tergolong wilayah yang kritis terhadap ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri. Dirinya lalu mencontohkan dengan berbagai peristiwa besar yang pernah terjadi dan menyedot perhatian dunia.
"Contohnya ancaman dari luar negeri Pearl Harbor [di Amerika Seriakt] diserang Jepang [saat Perang Dunia II] lewat udara; Hirosima dan Nagasaki dibom Amerika, [yang menjadikan] Perang Dunia II selesai, [juga] lewat udara; [dan peristiwa] 9/11 [atau] Twin Tower berakhir pas ditabrakin pesawat, [juga via] wilayah udara," bebernya.
Selain itu, kini mulai marak pesawat nirawak (drone) seiring dengan kemajuan teknologi. "Jadi, [wilayah] udara tuh rawan," tegasnya.
Jika FIR di Kepri masih di bawah kendali Singapura, menurut Chappy, maka proses menjaga teritorial melalui patroli akan terlalu birokratis karena harus mengajukan izin terlebih dahulu.
"Karena sekarang sudah dikuasai Indonesia, maka Angkatan Udara Indonesia bisa terbang bebas tanpa minta izin dengan negara lain, kita lebih berdaulat. Mau menyelenggarakan patroli udara, mau bikin latihan perang-perangan di Natuna, suka-suka kita," tandasnya.
Singapura menguasai sebagian langit Indonesia ditetapkan dalam pertemuan International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946. Melalui keputusan itu, Singapura menguasai sekitar 100 mil laut (1.825 km) wilayah udara RI, yang mencakup, Kepri, Tanjung Pinang, Natuna, Sarawak, dan Semenanjung Malaya.
Imbasnya, pesawat Indonesia harus minta izin kepada otoritas penerbangan Singapura apabila ingin terbang dari Tanjungpinang ke Pekanbaru. Pun berlaku bagi penerbangan ke Pulau Natuna, Batam, dan di kawasan Selat Malaka.