Indonesia seharusnya bisa meratifikasi konvensi internasional tentang antipenghilangan paksa. Satu dari empat rekomendasi DPR pada 2009 mengenai penculikan paksa terhadap aktivis adalah meminta pemerintah melakukan ratifikasi tersebut.
"Tetapi, kami sebagai keluarga korban masih agak ragu, sebab sudah 21 tahun berjuang untuk penyelesaian kasus kami sendiri, dan belum ada hasilnya," kata Paian Siahaan dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (26/11).
Paian adalah orang tua Ucok Munandar Siahaan, korban penghilangan paksa 1998. Paian mendorong agar pemerintah dan parlemen segera meratifikasi konvensi itu, sehingga keluarga korban bisa merasakan ada kemauan dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Sementara itu, korban penculikan 1998, Mugiyanto menuturkan, ratifikasi perlu dilakukan agar penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak berjalan mundur.
Dia menjelaskan, konvensi antipenghilangan paksa merupakan satu-satunya konvensi HAM yang belum diratifikasi oleh Indonesia. Delapan konvensi lainnya sudah diratifikasi oleh Indonesia.
"Kami berharap ratifikasi bisa terjadi pada tahun pertama Presiden Jokowi menjalankan periode kedua pemerintahan. Hanya dengan begitu, kami bisa yakin penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, tidak hanya penghilangan paksa saja (tapi kasus yang lain) bisa dilakukan," imbuhnya.
Sejak kemarin, 25 November 2019, telah digelar diskusi bersama beberapa stakeholder, seperti perwakilan dari DPR, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), serta Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) terkait konvensi penghilangan paksa. Diskusi berlanjut hari ini, Selasa (26/11).
Selain para pihak itu, turut hadir pula komunitas korban penghilangan paksa dan lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi keluarga korban. Dalam diskusi tersebut membahas tentang pentingnya Indonesia meratifikasi konvensi tentang antipenghilangan orang secara paksa.