Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, mengatakan informasi yang menyebut ada pemulangan warga negara Indonesia yang diduga terlibat jaringan teroris lintas negara (foreign terrorist fighters/FTF) tidak benar.
Penggunaan kata dipulangkan saja, kata dia, memiliki persoalan sendiri. Sebab, apabila diksi tersebut yang digunakan dapat membuat pola pikir yang seolah-olah negara yang memberangkatkan mereka. Padahal, faktanya tidak demikian.
Suhardi mengklarifikasi, sampai saat ini pemerintah masih melakukan kajian untuk menentukan sikap dan berusaha memverifikasi ihwal sekitar 600 WNI yang diduga terlibat FTF tersebut. Hal itu disampaikannya karena informasi itu didapat dari intelejen internasional.
"Kami dapatkan (informasi) dari beberapa komunitas internasional, apakah saluran intelijen atau badan-badan internasional tentang sekian puluh ribu FTF dan keluarganya yang sekarang ada di Syria. Di beberapa kamp itu. Di antaranya ada kurang lebih 600-an pengakuannya WNI. Itu pun masih belum diverifikasi," kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (7/2).
Verifikasi perlu dilakukan karena informasi yang didapatkan masih mentah. Dia menyontohkan tidak semua identitas dapat diketahui. Musababnya, sekitar 600 WNI itu tercatat dengan nama samaran atau alias. Di sisi lain, mereka juga tersebar di tiga kamp yang bernama Al Roj, Al Hol, dan Ainisa yang terletak di Syiria atau Suriah.
Mengenai rapat di Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan beberapa waktu lalu bersama sejumlah instansi terkait, dia menjelaskan pertemuan itu terkait tanggapan atas informasi FTF WNI tersebut. Pandangan dibutuhkan untuk mengetahui segala aspek.
"Contohnya Kementerian Hukum dan HAM, bagaimana dengan status kewarganegaraan mereka, karena dalam undang-undang dikatakan kalau orang sudah berperang di negara lain itu sudah kehilangan (status) warga negara. Terus bagaimana dengan anak dan istrinya, itu kan yang perlu dibahas," ujar dia.
Diketahui, Menko Polhukam Mahfud MD mengaku tak setuju dengan rencana pemulangan warga negara Indonesia eks kombatan Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS. Sikap Mahfud setali tiga uang dengan sikap Presiden Joko Widodo.
Secara pribadi, Presiden Jokowi memilih untuk tidak memulangkan WNI eks ISIS. Akan tetapi, dia mengatakan keputusan belum diambil karena masih dikaji para pembantunya.
"Kecenderungan kalau saya pribadi sih tidak dipulangkan," kata Mahfud di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Sementara Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendukung wacana pemulangan sekitar 600 WNI eks simpatisan ISIS. Menurut dia, kebijakan itu bisa menjadi jalan bagi negara untuk membantu eks ISIS agar lepas dari ideologi radikal mereka. Menurutnya, kebijakan ini merupakan upaya untuk merangkul mereka yang dinilai ampuh untuk melakukan deradikalisme.
"Ancaman radikalisme, menurut saya merangkul mereka adalah suatu keputusan yang bijaksana. Kalau perlu di-support," kata Bamsoet.
Namun, politikus Golkar itu memberi catatan terhadap opsi ini. Menurutnya, pemulangan WNI eks ISIS harus melewati pertimbangan matang dan disiapkan program penanggulangan radikalisme.
Agenda-agenda yang disiapkan juga wajib memiliki tolak ukur jelas, untuk memastikan mereka bisa kembali lagi kepada nilai-nilai Pancasila, serta nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.