Kejaksaan Agung (Kejagung) hendak mengulik lebih jauh kebijakan dari Airlangga Hartarto selaku Menko Perekonomian melalui pemeriksaan hari ini. Pemeriksaan Ketua Umum Partai Golkar itu terkait penyidikan perkara korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, termasuk minyak goreng (migor).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan dari Airlangga terkait CPO yang akan menjadi rujukan penyidik. Sebab, tidak dapat dibantah Airlangga mengetahui hal itu lebih rinci sebagai pembuat kebijakan.
"Dari sisi kebijakan, pelaksanaan, tentu beliau lebih tahu, monitor soal itu," katanya di Gedung Bundar JAM Pidsus Kejagung, Selasa (17/7).
Setelah keterangan soal kebijakan diketahui lebih jauh, kata Ketut, penyidik akan membandingkan dengan situasi di lapangan.
Situasi di lapangan dan kebijakan yang dibuat akan dikomparasi lebih dalam oleh penyidik. Dengan cara itu, penyidik akan menemukan titik celah lain dalam kasus ini.
"Tentu semua terkait dengan adanya kebijakan, terkait dengan pelaksanaan di lapangan, yang pada akhirnya menimbulkan satu putusan menyebabkan kerugian negara lebih daripada Rp4 triliun. Negara juga rugi dalam hal pemberian BLT sampai Rp4,1 triliun. Kalau tidak salah putusan Mahkamah Agung juga merugikan sampai Rp4,6 triliun. Nah dasar-dasar inilah kita memanggil beliau," ujarnya.
Sebelumnya, pada kasus ini penyidik telah menetapkan juga tiga perusahaan sebagai tersangka korporasi. Ketiga korporasi itu yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Ketut menjelaskan penetapan tersangka ini berdasar pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap terhadap para terdakwa kasus tersebut.
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari kasus yang sudah diusut Kejaksaan Agung. Ada sejumlah pihak yang telah dijerat yakni Dirjen Daglu Kemendag, Indra Sari Wisnu Wardhana, Lin Che Wei, dan lainnya. Total ada lima orang yang dijerat.
Mereka didakwa bersama-sama melakukan tindakan melawan hukum dalam mengondisikan produsen CPO untuk mendapatkan izin Persetujuan Ekspor (PE) CPO dan turunannya.
Kelimanya sudah menjalani sidang di pengadilan hingga tingkat kasasi di MA. Yaitu Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, Anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Kemudian Indra Sari Wisnu Wardhana, eks Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dengan ukuman 8 tahun penjara denda Rp300 juta; Pierre Togar Sitanggang, General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta; serta Master Parulian Tumanggor, Komisaris Wilmar dengan hukuman 6 tahun penjara dengan denda Rp200 juta.
Lalu, Stanley M.A, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta. Perkara kelimanya disebut sudah berkekuatan hukum tetap alias inkrah setelah putusan kasasi dijatuhkan.
Merujuk putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, perhitungan kerugian negara dalam kasus ini dinyatakan terbukti oleh hakim. Namun nilainya lebih sedikit dari dakwaan jaksa. Kerugian negara itu berdasarkan audit dari BPKP terkait persetujuan ekspor CPO pada Februari hingga Maret 2022.
“Terdapat kerugian keuangan negara seluruhnya berjumlah Rp 6.047.645.700.000. Sebagaimana hasil audit BPKP nomor pe.03/SR-511/03/01/2022 tanggal 18 Juli 2022. Bahwa dari kerugian tersebut terdapat kerugian negara sebesar Rp 2.952.526.912.294,45,” ucap hakim.
Angka Rp2,9 triliun lebih itulah yang dinilai merupakan kerugian negara dalam kasus ini. Uang tersebut merupakan beban keuangan yang ditanggung pemerintah dengan diterbitkannya PE tergabung dalam perusahaan-perusahaan grup Wilmar grup Permata Hijau dan grup Musimas.
“Terhadap unsur perbuatan merugikan negara telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa,” kata hakim.
Berikut rinciannya:
- Grup Wilmar Rp1.658.195.109.817,11
- Grup Permata Hijau Rp186.430.960.865,26
- Grup Musim Mas Rp1.107.900.841.612,08