Eksploitasi dalam bentuk penambangan pasir secara ekologi dapat meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai. Juga bisa menurunkan kualitas perairan laut dan pesisir pantai, berpotensi meningkatkan pencemaran pantai, menurunkan kualitas air laut dengan meningkatnya kekeruhan air laut.
Lebih jauh, eksploitasi juga merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove, dan mengganggu lahan pertambakan, mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun menurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan.
Menurut Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan Misbachul Munir, kerusakan daya dukung ekologi akibat pemanfaatan atau penambangan pasir laut akan mengakibatkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir.
"Seperti menurunnya pendapatan nelayan, biaya operasional melaut yang makin mahal, dan larangan akses dan melintas di areal penambangan pasir laut hingga hilangnya lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tertentu, seperti nelayan pertorosan atau tadah arus di Surabaya," kata Munir dalam keterangan tertulis yang dikutip Jumat (2/6).
Padahal, kata dia, dinyatakan tegas dalam Pasal 35 huruf i UU No. 27 Tahun 2007 yang telah diubah melalui UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Karena itu, kata Munir, KNTI meminta Presiden Jokowi membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan itu, menambah panjang daftar narasi kebijakan yang meresahkan masyarakat.
Tertuang di Pasal 2 beleid itu, tujuan pengelolaan hasil sedimentasi di laut adalah: (1) menanggulangi sedimentasi yang menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, dan (2) mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir.
Sementara pada Pasal 9 dinyatakan bahwa hasil sedimentasi di laut dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan atau material sedimen lain berupa lumpur. Pasir laut dapat digunakan untuk empat hal: reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
PP Nomor 26 Tahun 2023 yang terbit pada 15 Mei 2023 ini berbeda 180 derajat dari Keputusan Presiden RI No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dibuat Megawati. Saat itu, Megawati menghentikan sementara ekspor pasir laut. Dua puluh tahun kemudian aturan itu diubah Presiden Jokowi.