Integrasi BRIN dan darurat bisnis riset
Perasaan was-was meliputi seorang mantan pejabat di lembaga penelitian nonkementerian (LPNK) yang lembaganya kini dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Eks petinggi LPNK yang enggan disebut namanya itu mengaku khawatir pengoperasian laboratorium-laboratorium riset bakal terganggu karena tak kunjung rampungnya proses integrasi LPNK dengan BRIN.
“Kalau (periset dan teknisi) di laboratorium (beralih), mungkin kasarnya laboratorium itu tidak berjalan. Pertama, tenaga yang ada, dari PNS (pegawai negeri sipil) itu kurang,” ungkap dia saat dihubungi Alinea.id, Minggu (16/1).
Sebagaimana bunyi Pasal 65 Perpres Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN, semua lembaga LPNK dan balitbang kementerian diwajibkan untuk bergabung ke dalam BRIN. Dimulai sejak September 2021, saat ini tercatat sudah ada 33 LPNK dan balitbang yang diakuisisi BRIN.
Seturut akuisisi aset, periset di laboratorium juga turut tercerai-berai. Menurut sumber Alinea.id, banyak periset dan peneliti yang pindah tempat kerja. Walhasil, laboratorium kekurangan periset dan teknisi yang berlisensi. Padahal, pengoperasian laboratorium riset tidak bisa dijalankan sembarangan orang. .
Sang sumber juga mengeluhkan beban kerja periset bakal bertambah lantaran tenaga teknisi yang berstatus honorer tak lagi diperpanjang kontraknya oleh BRIN per 1 Januari 2021. “Kualitas (hasil riset) bisa terancam juga kalau kemudian semua (periset) mengerjakan semua (kegiatan riset). Jadi jelas terganggu,” imbuh dia.
Menurut sumber Alinea.id, laboratorium juga terancam tidak bisa menghasilkan produk dan menyediakan layanan berbasis riset lantaran terganjal akreditasi. Ia mencontohkan situasi yang terjadi pada Laboratorium Uji Modul Photovoltaic yang sebelumnya berada di bawah naungan Balai Besar Teknologi Konversi Energi (B2TKE) BPPT.
Laboratorium itu biasanya menggarap sertifikasi terhadap produk modul fotovoltaik atau panel tenaga surya dengan standar SNI IEC 61215:2016.
Dengan beralihnya kepemilikan laboratorium, ia khawatir akreditasi SNI IEC 61215:2016 yang tersemat pada makmal pengujian panel tenaga surya satu-satunya di Indonesia itu tidak berlaku. Pasalnya, akreditasi diberikan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) saat makmal masih menjadi satuan kerja di bawah naungan B2TKE BPPT.
“Saya bisa jamin tidak ada laboratorium di Indonesia yang selengkap di B2TKE untuk pengujian modul surya dengan standard IEC 61215:2016. Nah, kalau laboratorium enggak jalan, kan pengujiannya enggak jalan. Lantas SNI berdasarkan apa? Enggak bisa itu dilaksanakan,” tutur dia.
Menurut dia, tidak jelasnya status akreditasi laboratorium bakal berdampak bagi pengguna layanan. Ia memprediksi perusahaan panel tenaga surya dalam negeri yang selama ini menjadi mitra B2TKE bakal terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk menguji produk di luar negeri.
Tak jelasnya akreditasi laboratorium B2TKE, lanjut dia, bakal mengganjal implementasi Permen ESDM Nomor 2 tahun 2021 tentang Penerapan Standar Kualitas Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin. Sebelumnya, Permen ESDM bertarikh 7 Januari 2021 itu dirilis guna memastikan keamanan dan keselamatan konsumen pengguna produk modul surya fotovoltaik.
Dari informasi yang ia dengar, sang sumber menyebut Permen tersebut bahkan terpaksa ditunda diberlakukan. “Permen itu bisa diterapkan kalau modul-modul surya itu sudah melalui pengujian, masuk standar Indonesia (SNI), dapat cap. Nah, permen itu baru berlaku. Lah, ini gimana permennya mau berlaku kalau alat ujinya (status akreditasi) laboratorium masih belum pasti?” cetus dia.
Saat dikonfirmasi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana membantah tengah menyiapkan regulasi penundaan uji kualitas modul fotovoltaik silikon kristalin. Menurut dia, aturan uji modul yang diatur Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2021 tetap berlaku 1 Januari 2022 guna memberikan keluwesan kegiatan uji modul yang telah terdaftar di unit pelayanan.
Untuk memastikan pelayanan tetap berjalan, menurut Dadan, setidaknya ada sekitar 99 peneliti, perekayasa, litkayasa, serta sebagian fasilitas riset milik Badan Litbang Kementerian ESDM yang bakal dialihkan ke BRIN.
“Tidak ada penundaan wajib SNI. Yang diterapkan sekarang adalah fleksibilitas untuk yang sudah masuk antrean untuk pengujian modul,” kata Dadan saat dihubungi Alinea.id, Rabu (19/1).
Lebih jauh, Dadan mengatakan Kementerian ESDM bakal mengikuti proses integrasi yang tengah berjalan di BRIN sebagaimana mandat Perpres BRIN. Saat ini, struktur organisasi Balitbang ESDM juga sudah dihapus dari kementerian tersebut.
"Untuk sebagian tugas yang terkait dengan dukungan kepada Kementerian ESDM, antara lain survei, pemetaan dan pengujian akan tetap berada di Kementerian ESDM dengan digabungkan ke ditjen-ditjen terkait secara bertahap," ujarnya.
Ganjalan akreditasi
Kekhawatiran serupa juga diungkap seorang eks periset di Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT yang kini bergabung dengan BRIN. Menurut dia, hingga kini belum ada kejelasan mengenai status akreditasi layanan modifikasi cuaca yang biasanya disediakan BBTMC untuk mitra-mitra kerja.
“Kami sekarang tidak mempunyai anggaran sendiri. Sertifikasi pasti membutuhkan biayalah, ya. Ini masih buntu. Waktu itu sudah kami sampaikan (ke BRIN) bahwa kami harus memperpanjang ISO. Ya, untuk sementara diinventarisir. Cuma belum ada tindak lanjutnya,” kata sumber Alinea.id, saat dihubungi Kamis (20/1).
BBTMC, kata dia, sebelumnya memiliki tiga jenis layanan, yakni terkait teknologi, penerapan teknologi, dan administratif. Menurut dia, akreditasi kegiatan riset yang fokus untuk modifikasi cuaca perlu diperbaharui setiap tahun.
Sejak dilebur ke dalam BRIN, lanjut sumber Alinea.id, BBTMC dan balai-balai lainnya di BPPT "bubar". Aset diakuisisi BRIN dan pegawainya tercerai-berai ke sejumlah pusat riset di bawah BRIN. Balai-balai itu turun kasta menjadi sekadar unit laboratorium di bawah kendali Deputi Infrastruktur BRIN.
“Nah, sekarang dengan adanya perubahan organisasi, maka struktur organisasi juga berubah. Kami sekarang di lab tidak mempunyai struktur seperti itu. Jadi, tugas dan tanggung jawabnya ini akan dipegang oleh siapa? Ini yang belum berlanjut. Di kami juga stuck untuk ISO. Untuk saat ini, ya,” tuturnya.
Sumber Alinea.id mengatakan sudah berkonsultasi dengan Tuv Nord terkait proses integrasi BRIN dan lembaga riset. Tuv Nord ialah perusahaan asal Jerman yang menyediakan layanan inspeksi, uji peralatan riset, dan sertifikasi.
“Mereka (Tuv Nord) menilai ini ada perubahan major. Perubahan organisasi berubah, penanggung jawab juga berubah. Saat ini, karena kami tidak menjadi organisasi struktural, maka kami tidak punya struktur yang harus bertanggung jawab,” ucap dia.
Sumber Alinea.id lainnya, seorang eks peneliti BPPT yang kini bergabung di BRIN, membenarkan layanan-layanan yang rutin disediakan eks balai-balai BPPT terancam terganggu karena proses integrasi. Menurut dia, status akreditasi layanan tidak bisa serta merta dialihkan dari satu lembaga ke lembaga lainnya.
“Ganti nama, bukan sekadar ganti judul. Semua harus diulang. Padahal, layanan (satuan kerja riset) kita terakreditasi, ada ISO. Kalau lembaga dihilangkan, maka otomatis akreditasi hilang,” tutur dia saat dihubungi Alinea.id, Minggu (16/1).
Pernyataan sumber Alinea.id mengacu pada persyaratan dan aturan akreditasi lembaga penilaian kesesuaian (LPK) yang diterbitkan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Dalam aturan nomor 2.2.2 persyaratan akreditasi LPK KAN, disebutkan bahwa permohonan akreditasi harus melampirkan informasi legalitas LPK atau organisasi induknya.
Sumber Alinea.id menyayangkan jika proses akreditasi harus diulang. Pasalnya, akreditasi layanan jasa yang dimiliki laboratorium-laboratorium eks BPPT terbilang canggih. Sebagian laboratorium itu bahkan telah lama berfungsi sebagai lembaga sertifikasi produk (LSPro) yang mutunya diakui secara global.
Ia mencontohkan laboratorium Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) BPPT. Ia menyebut laboratorium di balai itu sebagai satu-satunya LSPro yang berwenang melayani uji durabilitas kendaraan roda empat di Indonesia.
“Kenapa ATPM (agen tunggal pemegang merek) saat produksi kendaraan (melakukan uji produk) ke kita? Karena memang kalau uji di luar negeri harus antre. Di samping itu, biayanya tinggi. Sehingga mereka uji durability di B2TKS. Alat ujinya juga sudah memenuhi persyaratan,” tutur dia.
Sebelum diserap ke BRIN, tercatat ada 16 balai dan balai besar di BPPT. Terdiri dari 44 unit kerja, balai dan balai besar itu menyumbang pendapatan nasional bukan pajak (PNPB) hingga ratusan miliar tiap tahunnya lewat layanan jasa riset untuk mitra-mitra kerja dan "jualan" produk-produk riset.
Selain soal ketidakjelasan status akreditasi, sumber Alinea.id juga mempersoalkan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak Yang Berlaku Pada BRIN.
PMK yang mengatur penetapan tarif layanan riset pada BRIN itu, kata dia, aneh karena rumusannya hanya mengadopsi PP Tarif BPPT yang diterbitkan pada 2018 dan eks LPNK lain. Menurut dia, biaya layanan seharusnya dibahas dengan melibatkan para pakar dan direvisi per tahun sejalan dengan inflasi.
"Nama PMK-nya saja sudah lucu. Ada kata mendesak. Itu (PP tarif) masih mengadopsi dari BPPT juga. Padahal itu biasanya PP tarif itu dipengaruhi dari inflasi. Ketika inflasi tinggi, maka tarif harus disesuaikan," ujar sang sumber.
Jika ditelisik, harga jasa layanan yang dipatok dalam PMK Nomor 210/PMK.02/2021 memang terkesan mengadopsi tarif yang diatur dalam PP masing-masing LPNK riset yang dilebur ke BRIN. Tarif layanan untuk kalibrasi alat ukur paparan radiasi survei meter, misalnya, dipatok Rp500 ribu dalam PP Nomor 8 tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada BATAN.
Serupa, mekanisme dan biaya layanan jasa teknologi modifikasi cuaca per provinsi yang diatur dalam PP Nomor 51 tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada BPPT juga besarannya sama dengan yang tertera pada PMK Nomor 210/PMK.02/2021.
Masa transisi
Ketua Komite Akreditasi Nasional (KAN) Kukuh Syaefudin Achmad mengaku sudah bertemu dengan BRIN untuk membahas status akreditasi layanan-layanan riset di laboratorium eks LPNK yang kini bergabung dalam BRIN. Menurut dia, KAN bakal memberikan kelonggaran untuk laboratorium-laboratorium itu.
“Rabu (19/1) kita melakukan rapat. Kita memberi masa transisi satu tahun untuk laboratorium itu bisa tetap mememuhi persyaratan akreditasi. Jadi, tidak kemudian yang tidak memenuhi persyaratan terus dicabut akreditasinya. Enggak begitu. Kita ada masa transisi,” ujar Kukuh saat dihubungi Alinea.id, Kamis (20/1).
Kebijakan kelonggaran itu, menurut Kukuh, dikeluarkan supaya layanan laboratorium milik eks LPNK-LPNK bisa tetap berjalan. Apalagi, dari 33 jenis akreditasi yang diperoleh satuan kerja di beragam eks LPNK, sebanyak 14 di antaranya merupakan akreditasi yang diakui secara internasional.
Akreditasi berstandar internasional itu, lanjut Kukuh, misalnya, didapat laboratorium-laboratorium penguji produk, laboratorium kalibrasi, dan lembaga sertifikasi produk yang sebelumnya berada di bawah naungan BPPT.
“Tetapi, kita harus ikuti aturan sana. Kita tidak ingin juga, misalnya, kita pertahankan akreditasinya, tetapi tidak memenuhi syarat. Kita tidak ingin juga mencederai pengakuan internasional terhadap kita. Jadi, pilihannya sudah jelas. Mereka harus memenuhi persyaratan. Kalau enggak memenuhi, enggak bisa,” tegas Kukuh.
Saat disinggung terkait perubahan SDM di laboratorium-laboratorium eks LPNK, Kukuh mengakui, transisi ke BRIN bukan semata-mata perubahan nomenklatur. Meski begitu, ia enggan berspekulasi proses transisi bakal membuat laboratorium atau LSPro kehilangan SDM yang kompeten.
"Kalau SDM berubah, pasti harus kita cek atau verifikasi dululah. Tetapi, SDM itu salah satu faktor utama (penilaian). Wong, laboratorium kan harus ada orangnya. Iyalah pasti (SDM paling utama),” tegasnya.
Lebih jauh, Kukuh berharap proses integrasi lembaga riset dan BRIN dapat berjalan mulus dan tidak mengganggu layanan-layanan yang selama ini disediakan laboratorium eks LPNK. Ia menegaskan KAN atau Badan Sertifikasi Nasional tidak akan mengeluarkan akreditasi jika ada persyaratan yang tidak dipenuhi BRIN saat masa transisi berakhir.
"Tetapi, akreditasi kan ada ruang lingkupnya. Misalnya, satu laboratorium diakreditasi untuk 10 pengujian. Bisa saja nanti, hasil transisi satu tahun, dari 10 pengujian setelah kita identifikasi, misalnya, ada perubahan SDM dan hanya 8 yang masih bisa dipastikan kompetensinya. Akreditasi dipertahankan, tetapi ruang lingkupnya dikurangi. Bisa juga terjadi seperti itu,” jelas Kukuh.
Alinea.id sudah mencoba mengonfirmasi terkait nasib pelayanan unit kerja litbangjirap ke Kepala BRIN Laksana Tri Handoko melalui asisten pribadinya dan staf Humas BRIN sejak Selasa (18/1). Namun, hingga laporan ini terbit, daftar pertanyaan Alinea.id tak kunjung direspons.