Di balik integrasi BRIN dan lembaga riset: Tekanan penguasa dan gundah peneliti
Peneliti Balitbang Departemen Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Eko Noer Kristianto mendadak mengundurkan diri sebagai pemohon gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas-Iptek) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan itu diungkap kuasa hukum Eko, Wasis Susetio dalam sidang perdana uji materi UU Sisnas-Iptek di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (21/9). Dengan keputusan itu, pemohon yang tersisa tinggal Heru Susetyo, peneliti Lembaga Riset dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta.
“Setelah dipanggil atasannya, mungkin ada hal-hal yang kemudian mengubah pikirannya (Eko). Dinamika yang ada di lingkungan (kerja) itulah yang kemudian membuat Mas Eko mengundurkan diri,” ujar Wasis saat dihubungi Alinea.id, Selasa (21/9).
Menurut Wasis, Eko sebenarnya berniat untuk tetap maju sebagai pemohon. Eko bahkan sudah menanggalkan jabatan fungsional sebagai peneliti di Kemenkumham. Namun, bos Eko membujuk dia untuk mundur lantaran sang bos khawatir bakal jadi "sasaran tembak".
“Ya, ini kan jadi kemunduran bagi demokrasi semuanya ini kan. Serba digencet. Waduh, saya juga menyayangkan (Eko mundur sebagai pemohon), ya,” tutur Wasis.
Menurut sumber Alinea.id, MenkumHAM Yassona Laoly juga turut berperan dalam keputusan Eko mundur sebagai pemohon uji materi. Ia menyebut Yassona sempat berang saat mendengar salah satu anak buahnya ikut-ikutan menggugat UU Sisnas-Iptek ke MK.
Yasonna, kata sang sumber, memanggil Kepala Balitbang Kemenkumham agar dapat “mengondisikan” agar Eko mundur dari posisinya sebagai pemohon uji materi. "Sang atasan sampai memohon kepada Eko. Bila tidak, akan ada konsekuensi yang juga menimpa atasan Eko," kata dia.
Menurut Wasis, nasib Heru sebagai pemohon juga tak kalah memprihatinkan. Tanpa merinci, Wasis mengatakan proyek penelitian yang tengah dijalankan Heru dihentikan. Ia pun terancam kehilangan pekerjaannya sebagai peneliti di UI. "Itu terancam kedudukannya untuk keluar,” imbuh dia.
Dalam uji materi UU Sisnas-Iptek, kedua pemohon mempersoalkan makna kata 'terintegrasi' dan frasa 'antara lain' dalam Pasal 48 UU Sisnas-Iptek berikut penjelasannya. Bunyi pasal itu, "Untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan serta invensi dan inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional."
Pada bab penjelasan, makna integrasi diuraikan sebagai 'upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi, dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.'
Pemerintah memaknai integrasi sebagai peleburan empat lembaga riset nonkementerian (LPNK) dan balitbang ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Awal September lalu, empat LPNK itu sudah "turun kelas" menjadi organisasi-organisasi riset (OR) di berbagai bidang.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), misalnya, kini berubah menjadi OR Tenaga Nuklir, sedangkan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) berubah menjadi OR Penerbangan dan Antariksa. Badan Pegembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) masuk dalam struktur organisasi BRIN dengan nama OR Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Adapun LIPI dipecah menjadi sejumlah OR, semisal OR Ilmu Pengetahuan Teknik, OR Ilmu Pengetahuan Kebumian, OR Ilmu Pengetahuan Hayati, serta OR Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sudah menunjuk para pelaksana tugas untuk mengepalai OR-OR itu.
Menurut Wasis, keputusan peleburan empat LPNK dan balitbang kementerian dan lembaga ke BRIN membuat para peneliti resah. "Termasuk prinsipal. Mau dikemanakan dalam hak-haknya profesinya sebagai peneliti? Yang lebih mereka concern dan prihatin juga, ini dunia iptek menjadi tidak jelas,” kata Wasis.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai tekanan yang dialami Eko merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional. Meski berstatus sebagai ASN, menurut dia, setiap warga negara punya hak mengajukan pengujian terhadap sebuah regulasi.
“Kalau kemudian ada pimpinannya yang melarang hak warga negara itu, ya, pimpinannya bisa dipermasalahkan dalam koridor hukum. Saya pikir tidak boleh menghalangi hak orang untuk mengajukan perkara di MK karena itu merupakan hak konstitusional warga negara, ya,” terang Feri saat dihubungi Alinea.id, Selasa (21/9).
Alinea.id telah berupaya menghubungi Menkumham Yasonna untuk mengklarifikasi tekanan yang dialami Eko selaku pemohon uji materi. Namun, Yasonna tidak merespons permintaan wawancara dari Alinea.id.
Nasib pegawai LPNK riset dan balitbang
Tak hanya yang berstatus sebagai ASN, keresahan juga dirasakan pegawai pemerintah non pegawai negeri (PPNPN) atau para pegawai honorer di lembaga riset. Kepada Alinea.id, salah satu pegawai honorer di LPNK yang telah dibubarkan pemerintah mengaku khawatir kontrak kerjanya dihentikan saat integrasi BRIN dan LPNK benar-benar rampung.
“Pertimbangannya tidak tahu bagaimana. Belum ada kepastian, belum ada keputusan. Sebenarnya sih lebih ke khawatir. Cuma berharap kita tuh PPNPN diperjuangkan saja. Kita hanya berharap itu,” tutur pegawai yang enggan disebut identitasnya itu saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (21/9).
Menurut dia, ada 900 pegawai honorer di LPNK tempat dia bekerja. Pegawai sementara, semisal petugas keamanan dan petugas kebersihan, kini telah ditarik ke lembaga penyalur pekerja. Adapun para staf di bidang administrasi masih terkatung-katung nasibnya.
Ia sendiri sudah sejak 2011 bekerja di LPNK riset tersebut. Di usianya yang hampir menginjak 40 tahun, sumber Alinea.id mengaku tak percaya diri jika harus melamar pekerjaan di tempat lain. "Dengan usia seperti ini, saya lihat lowongan itu (persyaratannya) fresh graduate, maksimal umur 25 tahun atau 30 tahun,” tuturnya.
Kepada para pemangku kebijakan, ia menyandarkan asa agar nasib para tenaga honorer di LPNK riset diperhatikan. Ia berharap mereka tetap dipekerjakan seperti sedia kala meskipun LPNK riset dibubarkan dan dilebur ke BRIN.
“Enggak tahu, ya, (jika di-PHK). Belajar ikhlas aja. Apalagi, mohon maaf, saya sebagai single parent. Jadi, cukup berat, ya. Dengan jumlah ratusan (tenaga honorer) sekian, apa ada rasa manusiawi dari yang membuat keputusan itu? Semoga pemerintah memperhatikan kami semua," kata dia.
Keresahan dalam bentuk berbeda dirasakan peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertanian (Kementan) Bess Tiesnamurti. Bess pesimistis proses integrasi BRIN dengan Balitbang Kementan dapat berjalan lancar.
Dibandingkan dengan balitbang lainnya, menurut Bess, Balitbang Pertanian memiliki sumber daya yang besar. Jumlah penelitinya mencapai sekitar 1.600 orang dan laboratoriumnya tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia.
“Saya bayangkan, kalau pun kita pindah ke BRIN, yang mengerjakan (penelitian) juga kita semua. Jadi ngapain kita harus pindah,” tutur Bes dalam konferensi pers uji materi UU Sisnas-Iptek yang disiarkan secara virtual, Selasa (21/9).
Menurut Bess, ada dua opsi yang ditawarkan bagi para peneliti, yakni pindah ke BRIN atau bertahan di Kementan. Sebagian peneliti yang sudah berusia lanjut, kata dia, terpaksa memilih untuk pindah ke BRIN karena bekerja untuk posisi lain di Kementan tidak lagi memungkinkan.
"Contohnya saya. Saya sudah 38 tahun menjadi peneliti. Sekarang kalau saya mau pindah ke jabatan fungsi lain, bayangkan umur saya sudah 64 tahun harus berpikir seperti anak 22 tahun. Kira-kira seperti itu,” tutur Bess.
Mengganggu iklim riset?
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengkritik langkah pemerintah mengintergrasikan LPNK dan balitbang ke dalam BRIN. Menurut dia, kebijakan itu membuat tugas dan fungsi yang sebelumnya diemban LPNK terganggu.
“Sebelumnya (tugas itu ada) pada lembaga BATAN, LAPAN, dan BPPT. Tapi, karena lembaga-lembaga tersebut dilebur dalam BRIN, untuk itu lembaga-lembaga ini perlu dibentuk kembali,” ujar Mulyanto saat dihubungi Alinea.id, Senin (20/9).
Ia juga mempersoalkan peleburan Kemenristek ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menurut dia, penggabungan itu hanya sebatas perubahan nomenklatur. Pasalnya, wewenang Kemenristek tidak ikut diambil alih oleh Kemendikbud.
Padahal, kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu, Kemenristek selama ini memiliki beragam fungsi strategis, seperti merumuskan dan menetapkan kebijakan, mengoordinasi pelaksanaan kebijakan, serta mengawasi perkembangan riset dan teknologi.
"Pascapenggabungan Kemenristek kedalam Kemendikbud menjadi Kemendikbud-Ristek, fungsi Kemenristek hilang tidak masuk dalam fungsi Kemendikbud-Ristek. Kemendikbud-Ristek pascapenggabungan hanya mengurusi kegiatan riset di perguruan tinggi yang secara umum sejak dulu menjadi fungsi Dirjen Dikti," jelas Mulyanto.
Lebih jauh, Mulyanto menyebut pemerintah telah ingkar janji dalam penggabungan dua kementerian itu. "Hanya akal-akalan pemerintah saja karena secara substansial tidak ada penambahan fungsi apa-apa terkait ristek dalam Kemendikbud-Ristek. Ini benar-benar sebuah akrobatik dalam penyusunan kelembagaan iptek nasional," imbuhnya.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan iklim riset dan inovasi di dalam negeri bakal tidak kondusif jika tidak ada lembaga yang berfungsi sebagai regulator dalam merumuskan kebijakan iptek.
“Akibatnya, riset dan inovasi tidak akan berkembang dan kalaupun dipaksakan, hasilnya tidak maksimal untuk bangsa dan negara,” ujar Satryo saat dihubungi Alinea.id, Senin (20/9).
Satryo meminta agar pemerintah menetapkan lembaga yang ditugaskan untuk mengeluarkan kebijakan dan regulasi terkait iptek. Menurut dia, wewenang itu tidak tepat jika dilekatkan kepada BRIN yang notabene idealnya hanya sebagai lembaga pelaksana.
“Tidak bisa, di mana-mana dua fungsi lembaga tersebut (regulator dan pelaksana) harus terpisah untuk mekanisme check and balance. Bayangkan jika DPR atau legislatif bersatu dengan pemerintah atau eksekutif, maka terjadi dictatorship,” jelas Satryo.