close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Seorang pranata nuklir melakukan pembuatan pelet dari serbuk uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di kawasan Reaktor Nuklir Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (11/9/2019). /Foto Antara
icon caption
Seorang pranata nuklir melakukan pembuatan pelet dari serbuk uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di kawasan Reaktor Nuklir Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (11/9/2019). /Foto Antara
Nasional
Selasa, 05 April 2022 15:19

Nasib PT Inuki di bawah "kendali" BRIN: Akses ditutup, terpaksa impor

Sejak akhir tahun lalu, PT Inuki tak bisa lagi mengakses fasilitas reaktor di kawasan Puspitek, Serpong.
swipe

Sejak Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memegang penuh kendali semua fasilitas lembaga riset non-kementerian (LPNK), PT Industri Nuklir Indonesia atau Inuki (Persero) tak bisa lagi berbisnis secara normal. Sejak akhir tahun lalu, PT Inuki dilarang memasuki kawasan reaktor di Pusat Penelitian Ilmu dan Pengetahuan (Puspiptek) Serpong, Tangerang, Banten.

“Sejak Desember (2021), untuk (produksi) radioisotop maupun radiofarmaka itu berhenti karena, memang dari BRIN, kita (INUKI) tidak diberi izin untuk menggunakan reaktor untuk sementara ini,” ujar sumber internal dari PT Inuki yang enggan disebut namanya kepada Alinea.id, Rabu (30/3).

Sebagai mitra Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang kini dilebur ke BRIN, PT Inuki sebelumnya bebas mengakses reaktor. PT Inuki butuh akses ke reaktor untuk memproduksi radioisotop, radiofarmaka, hingga elemen bahan bakar nuklir (EBN) yang dibutuhkan untuk pengoperasian reaktor. 

Didirikan sejak 1996 untuk hilirisasi riset, perusahaan pelat merah itu punya kantor di kawasan Puspiptek. Pada 2015, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mewajibkan Inuki membayar sewa kepada BATAN karena kantor PT Inuki berada di atas lahan milik negara. Per tahun, nilai sewa lahan yang ditetapkan BPK sebesar Rp900 juta. 

Berbasis laporan BPK pada 2015, BRIN menganggap PT Inuki punya utang ke negara sebesar Rp8,1 miliar. Angka itu diperoleh dari akumulasi uang sewa lahan selama 9 tahun, yakni dari 2014 hingga 2022. "Padahal, temuan BPK itu tahun 2015," kata sang sumber. 

Menurut dia, utang sewa itu sebenarnya bisa ditutup dari duit yang seharusnya didapat Inuki dari kontrak pengadaan EBN untuk reaktor di Serpong. Namun, BRIN tak bersedia membayar nilai kontrak yang disepakati jauh sebelum peleburan BATAN itu. Duit itu, kata sang sumber, kini bahkan telah dikembalikan ke negara. 

"Nilai EBN kami yang belum dibayarkan (BATAN/BRIN) sebesar Rp8,9 miliar. Meskipun kita ada kontrak Rp8,9 miliar, itu masih kurang karena mereka (BRIN menghitung biaya sewa lahan sejak 2014) sampai 2022,” imbuh sang sumber.

PT Inuki, klaim sang sumber, sudah beritikad untuk menyelasaikan masalah ini. Salah satunya dengan meminta bantuan sejumlah instasi untuk menegahi polemik tersebut, semisal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), BPK, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Namun demikian, hingga kini belum ada kesepakatan yang tercapai antara BRIN dan PT Inuki. Meskipun masih punya kantor di kawasan Puspiptek, BRIN bersikeras menutup akses bagi pekerja PT Inuki memasuki reaktor untuk keperluan produksi. 

“Dengan kondisi ini, kami berpikir kalau sudah tidak dikehendaki di situ (Puspiptek, Serpong). Ya, sudah kami akan pindah. Jadi, artinya PT Inuki tidak boleh menghilirisasi produk-produk (riset BRIN), mulai Desember 2021,” imbuhnya.

Supaya perusahaan bisa tetap hidup, menurut sang sumber, kini PT Inuki terpaksa banting setir. Tak lagi jadi produsen, PT Inuki kini sekadar jadi distributor radioisotop dan radiofarmaka untuk memenuhi kontrak yang sudah disepakati dengan pembeli. Kedua produk andalan PT Inuki itu kini diimpor dari sejumlah negara. 

“Karena enggak bisa produksi, otomatis kami impor sekarang. Saat ini, untuk industri radioisotop itu malah hampir 100% itu kita impor. Kalau untuk radiofarmaka, mungkin hampir sekitar 95% itu impor,” ucap sang sumber.

Selain mengandalkan impor, menurut sang sumber, PT Inuki juga berencana memproduksi radioisotop menggunakan siklotron. Siklotron adalah salah satu jenis akselerator yang lazimnya digunakan untuk mempercepat partikel dengan lintasan berbentuk siklik (lingkaran).

"Karena ini (sikoltron) sama sekali tidak terkait dengan reaktor atau pun juga bisnis iradiator. Jadi, bisa digunakan untuk sterilisasi, baik peralatan medis atau dari makanan yang mungkin akan diimpor,” kata dia. 

Suasana laboratorium radioisotop dan radiofarmaka milik PT Inuki di kawasan Puspitek, Tangerang Selatan, Banten. /Foto dok. PT Inuki

Penuh tantangan

Salah satu petinggi PT Inuki mengungkapkan perusahaannya sebenarnya bakal lebih untung jika mengimpor produk dari luar negeri. Pasalnya, PT Inuki tidak memerlukan biaya tambahan untuk mengurus sertifikasi pegawai dan fasilitas produksi hingga membayar beragam pajak. 

“Namun, kalau bicara kemandirian, kan ini perlu dipertanyakan. Masa iya, seumur hidup kita punya reaktor 35 megawatt (MW) harus impor? Itu, menurut saya, keterlaluan.” ucap sang sumber saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (30/3).

Kondisi terbaru itu, kata sang sumber, bikin PT Inuki serba salah. Ia khawatir bisnis berbasis teknologi nuklir bakal kian tidak diminati. Padahal, Indonesia memiliki reaktor yang fasilitasnya terlengkap di Asia Tenggara. 

Ia merinci sejumlah negara yang tak punya reaktor, tapi industri berbasis nuklirnya tergolong maju. Salah satunya ialah Korea Selatan. Negara asal K-pop itu kini dikenal sebagai salah satu eksportir radioisotop besar di dunia. “Nah, ini berarti ada sesuatu hal permasalahan di dalam ekosistem,” imbuh dia.

Ekosistem bisnis tenaga nuklir, sambungnya, memilik empat elemen penunjang. Pertama, produk yang dikembangkan dari hasil riset. Kedua, fasilitas produksi. Ketiga, konsumen. Keempat, regulator untuk mendukung industri melalui instrumen kebijakan.

Menurut dia, keempat elemen ekosistem industri tenaga nuklir dalam negeri masih jalan di tempat. Alhasil, industri berbasis teknologi nuklir tak bergairah. Regulator, misalnya, dianggap belum punya kebijakan yang memudahkan pelaku usaha.

“Regulasi untuk industri, otomatis itu ada di BATAN. Tetapi, kalau radiofarmaka ada sejumlah institusi lagi, Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir), BPOM (Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan) dan Kemenkes (Kementerian Kesehatan). Jadi, regulasinya cukup ketat sekali,” ucapnya.

Karena beragam tantangan itu, menurut dia, tak banyak perusahaan yang mau terjun ke bisnis produk-produk berbasis teknologi nuklir. Apalagi, rumah sakit yang jadi konsumen radiofarmaka dan radioisotop juga diwajibkan untuk membeli produk bersertifikasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dari BPOM. 

Diakui narasumber Alinea.id, PT Inuki juga belum punya fasilitas produksi bersertifikasi CPOB. Untuk membangun fasilitas semacam itu, perusahaannya diperkirakan harus menggelontorkan investasi sebesar Rp30 miliar. 

“Kalau di dalam bidang kedokteran nuklir, bisnis itu tidak terlalu atraktif. Artinya, kalau kita masuk, biayanya cukup besar dan perizinan cukup sulit. Akan tetapi, profitnya juga tidak tebal-tebal banget,” kata dia. 

Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Bapeten Indra Gunawan mengatakan produk-produk kedokteran nuklir tak bisa diedarkan sembarangan. Jual beli produk-produk yang dihasilkan berbasis teknologi radiasi harus seizin Kemenkes. 

“Sementara dalam konteks perizinan radiofarmaka ini, Bapeten menjadi UMKU (untuk menunjang kegiatan usaha). Artinya, kami menjadi bagian dari izin yang lead-nya itu Kemenkes,” tutur Indra saat dihubungi Alinea.id, Senin (4/4).

Ihwal izin untuk mengoperasikan fasilitas produksi industri ketenaganukliran, Indra mengatakan aturan terkait itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada paragraf 6 Pasal 43 tentang Ketenaganukliran.

Dalam beleid itu, menurut Indra, mekanisme pengurusan sertifikasi dan pemberian izin pada fasilitas produksi industri ketenaganukliran disederhanakan. Pelaku usaha dapat mengajukan izin satu pintu melalui aplikasi yang dikembangkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Karena lead-nya Kemenkes, jadi kita (Bapeten) isunya rekomendasi (keamanan dan keselamatan produk). Jadi, nanti yang menerbitkan izin adalah si aplikasi one single submission on behold milik BKPM,” jelas Indra.

Suasana laboratorium radioisotop dan radiofarmaka milik PT Inuki di kawasan Puspitek, Tangerang Selatan, Banten. /Foto dok. PT Inuki

Ganggu riset

Peneliti ahli utama Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN Djarot Sulistio Wisnubroto menyayangkan jika PT Inuki harus hengkang dari kawasan Puspiptek. Menurut dia, selama ini BATAN dan PT Inuki punya hubungan yang saling menguntungkan. 

“Kalau PT Inuki nantinya ditutup, otomatis kita tidak dapat suplai bahan bakar (EBN). Kedua, siapa yang akan menjual hasil atau produk dari reaktor tersebut? Jadi, ini menjadi dilema besar bagi kami,” ucap Djarot saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (30/3).

Menurut informasi yang ia ketahui, Djarot mengungkapkan, tidak ada kontrak baru untuk pengadaan EBN pada 2022. Artinya, EBN yang tersisa di reaktor harus dihemat. Itu bisa dilakukan dengan menurunkan daya yang mampu dihasilkan reaktor. 

"Supaya memperpanjang pemanfaatan bahan bakar nuklir. Karena Inuki, misalnya, mau ditutup atau apa pun, jadi reaktor mungkin nanti dayanya tidak, misalnya maksimum 30 MW. Secara normal, akan dioperasikan 15 MW dan mungkin nanti akan diturunkan lagi," kata eks Kepala BATAN itu. 

Terbatasnya bahan bakar reaktor, kata Djarot, berimplikasi serius. Ia memastikan riset-riset yang membutuhkan akses terhadap fasilitas reaktor akan terganggu. Pasalnya, reaktor tidak bisa berfungsi secara maksimal. 

“Pelanggan (EBN) Inuki itu, selain kita, ada perguruan tinggi dan ada juga laboratorium di internal OR. Mereka gunakan reaktor juga untuk melakukan radiasi beberapa bahan mereka. Nah, itu akan terkendala,” ucap Djarot.

Infografik Alinea.id/Muji Prayitno

Alinea.id sudah berulangkali mencoba menghubungi beberapa pejabat BRIN, termasuk di antaranya Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN Yan Rianto, untuk mengklarifikasi "konflik" antara BRIN dan PT Inuki. Pihak BRIN tak merespons permintaan wawancara dari Alinea.id.

Meski begitu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko sebenarnya sempat mengemukakan rencana besar BRIN untuk PT Inuki. Dalam sebuah webinar pada 16 September 2021, Handoko menyebut BRIN bakal turun tangan langsung untuk "menyelamatkan" PT Inuki. 

“Jadi bagaimana kita selamatkannya? Sudah semua aset-aset INUKI kita (manfaatkan untuk) riset saja. Kita ambil alih, kita putihkan, termasuk sampah limbah-limbah itu. Kita semua yang tanggung. Kalau dia (PT Inuki) digondeli begitu, dia tidak bisa berkembang,” ujar Handoko. 

Handoko mengatakan BRIN akan tetap menempatkan PT Inuki sebagai mitra kerja untuk menghilirisasi produk-produk riset berbasis teknologi nuklir. Ia bahkan menyebut BRIN punya rencana bikin fasilitas produksi bersertifikasi CPOB. 

“CPOB kita buatkan, tetapi dia (PT Inuki) pinjam. Kita bikin relasi B2B (bussines to bussines) bagaimana peminjaman itu. Dia sebagai mitra operator dan seterusnya. Saya sudah lakukan (relasi B2B) itu di LIPI, dan itu enggak ada problem,” imbuh eks Kepala LIPI itu. 

Menurut Handoko, pengelolaan fasilitas nuklir itu memerlukan sumber daya yang besar. Dengan tidak dibebani biaya untuk mengelola fasilitas produksi, Handoko meyakini kondisi finansial PT Inuki bisa lebih sehat. 

“Jadi, ya sudah kita sekalian saja kita recall semua. Jadi, benar-benar PT Inuki start dari nol karena kita tetap perlu mitra itu. Selain PT Inuki, saya tidak melihat swasta berani masuk ke begitu (industri ketenaganukliran),” ucap Handoko.
 

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan