close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi nelayan Kepulauan Seribu. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
icon caption
Ilustrasi nelayan Kepulauan Seribu. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
Nasional
Rabu, 02 November 2022 17:06

Ironi Kepulauan Seribu: Surga wisata yang kian terpuruk dalam kemiskinan

Kemiskinan di Kepulauan Seribu kian parah selama pandemi Covid-19.
swipe

Perahu kayu bercat cokelat itu melaju membelah laut menuju Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Sabtu (29/30). Mendekati dermaga kecil Sebira, perahu "bertudung terpal" itu melambat. Jangkar dilempar, kapal ditambatkan.  

"Ini anak-anak (para pemancing) mau merapat sebentar buat beli makan sama bumbu buat keperluan nyambung (memancing) nanti malam," kata Sardian, salah satu anak buah kapal itu, saat berbincang dengan Alinea.id

Sardian membawa rombongan pemancing dari Maringgai, Lampung. Sejak dini hari, ia dan para pemancing telah berkeliling perairan sekitar Pulau Sebira. Namun, tak banyak ikan barakuda dan giant trevally (GT) yang berhasil mereka tangkap. 

"Baru dapat 5 kilogram GT. Belum mau pulang mereka. Mau lanjut mumpung besok hari Minggu," ucap Sardian. 

GT ialah sebutan lain bagi ikan kuwe. Ikan jenis itu paling banyak ditangkap di perairan tropis. Bobot seekor ikan GT bisa sampai puluhan kilogram. 

Charles, salah satu pemancing yang ikut dalam rombongan tersebut, mengaku tertarik memancing di perairan Sebira lantaran kawasan itu konon masih dihuni ikan-ikan berkategori monster. 

"Saya sebenarnya hampir dapat GT. Kayaknya, ada kira-kira sembilan kilo beratnya. Tapi, mata pancing saya putus, apes. Istirahat sebentar, nanti lanjut lagi," kata Charles. 

Charles mengaku ia dan rombongannya sebenarnya sudah mendapatkan cukup banyak tangkapan ikan. Namun, mereka masih penasaran karena belum mampu mengangkat monster. "Barangkali udah ditarikin," imbuh dia. 

Pulau Sebira merupakan salah satu pulau di Kepulauan Seribu yang terjauh dari DKI Jakarta. Pulau seluas 8 hektare itu cenderung lebih dekat dengan daratan Lampung. Total, ada sekitar 700 orang menghuni pulau tersebut. 

Abidin, salah satu warga asli Pulau Sebira, bercerita pulau itu memang sejak lama terkenal sebagai surga bagi pemancing. Dulu, kata dia, mayoritas penghuni Pulau Sebira bahkan berprofesi sebagai nelayan karena melimpahnya ikan di perairan dekat pulau itu. 

"Tahun 2015 sampai 2017 itu, nelayan masih ada 50 orang dan 30 kapal yang operasi. Dari 2017 sampai sekarang itu paling ada 10 nelayan yang beroperasi. Turunnya drastis," kata Abidin.

Menurut Abidin, banyak nelayan di Pulau Sebira yang terpaksa menjual perahunya karena selalu merugi saat melaut. Jumlah ikan tangkapan, kata dia, kerap tak mampu menutupi biaya operasional, termasuk di antaranya ongkos BBM. 

Nelayan-nelayan yang masih berusia muda banting setir menjajal profesi lainnya. Abidin salah satunya. Ia kini berstatus sebagai guru di sekolah kejar paket di Pulau Sebira. 

Rekan-rekan Abidin lainnya direkrut sebagai penyedia jasa layanan perorangan (PJLP) Pemprov DKI Jakarta. Sisanya masih menganggur hingga kini. Kebanyakan warga, kata Abidin, ingin bekerja sebagai pegawai Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) atau petugas Dinas Perhubungan (Dishub). 

"Di sini, lapangan kerja memang susah. Kalau ada bukaan, paling keterima satu atau dua. Kemarin, satu instansi ada bukaan 6 lowongan. Yang daftar itu 65 orang. Jadi, masih bergantung dengan pekerjaan dari pemerintah," kata Abidin.

Menurut Abidin, sulitnya mencari kerja di Pulau Sebira terkesan ironis. Pasalnya, jumlah tenaga kerja terdidik di pulau tersebut terus meningkat seiring dibukanya program sekolah kejar paket dari Pemprov DKI Jakarta. "Lulusan ada, lapangan kerjanya tidak tersedia," imbuh dia. 

Selain pengangguran, menurut Abidin, kemiskinan dan ketersediaan bahan pokok jadi persoalan utama yang dihadapi warga Sebira. Ia menyebut warga terkadang kehabisan stok beras. Karena langka, harga gas ukuran tiga kilogram per tabung juga terbilang mahal. 

Satu tabung dibanderol dengan harga Rp33 ribu. Padahal, harga gas "melon" per tabung di ibu kota hanya kisaran Rp16 ribu-Rp25 ribu. "Tabung gas itu kami pengennya di sini ada kayak agen untuk penyuplai... Beras juga kadang susah, kalau stok udah abis ya kita bingung juga," ujar Abidin.

Di Pulau Sebira, sebenarnya sudah ada satu gerai PD Pasar Jaya yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan pokok masyarakat. Namun, jenis barang yang disediakan gerai tersebut sangat terbatas. Warga terkadang harus berbelanja ke daratan ibu kota yang berjarak hampir 120 kilometer dari Pulau Sebira. 

"Pasokan barangnya juga enggak selengkap yang kita pesan di darat. Jadi, dia itu enggak tiap bulan suplainya. Kadang-kadang tanggal sekian enggak jadi datang. Jadinya, menurut saya, enggak ada solusi juga di situ. Keberadaan gerai itu belum bisa kita harapkan," kata Abidin. 

Seorang bocah bersepeda melintasi pintu masuk Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Sabtu (29/30). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Potret serupa

Persoalan serupa juga dialami warga Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Maulana, salah satu penduduk asli pulau itu, bercerita barang-barang kebutuhan pokok kerap langka. Seandainya tersedia, harganya pun melonjak tinggi. 

"Harga minyak goreng yang curah itu sekarang sudah Rp15 ribu. Untuk gas, kemarin baru naik harganya itu jadi Rp27 ribu per tabung 3 kilogram," ucap Maulana kepada Alinea.id. 

Berdekatan dengan Pulau Pramuka, Pulau Panggang merupakan salah satu pulau terbesar di gugusan Kepulauan Seribu. Luas pulau itu sekitar 6,210 kilometer persegi. Menurut hasil sensus pada 2017, jumlah penduduk Pulau Panggang mencapai 6.260 jiwa. 

Terkenal akan pasir putihnya, pulau itu utamanya menggantungkan hidup pada denyut pariwisata. Selain berenang, snorkeling dan diving jadi atraksi wisata yang paling diminati para pengunjung pulau itu. 

Meski tergolong kawasan padat penduduk, menurut Maulana, tak ada pasar di Pulau Panggang. "Untuk kebutuhan pangan itu dari darat stoknya. Untuk bahan pokok seperti sayuran dan sebagainya yang daya tahannya tidak lama itu, kita harus menunggu orang yang berbelanja dari darat dulu," ujar Maulana.

Selain bahan pokok, Pulau Panggang juga seringkali mengalami krisis bahan bakar dan gas untuk keperluan melaut dan rumah tangga. Ketika solar dan gas langka atau mahal, warga Pulau Panggang kerap jadi tak produktif. 

"Soal bahan bakar itu kemarin kita agak kesulitan. Gas juga ada kesulitan karena stok dari darat juga kan tidak terpenuhi. Mau tak mau apa penggantinya ketika gas lagi mahal," kata Maulana. 

Seperti Pulau Sebira, menurut Maulana, pengangguran juga jadi masalah utama yang dihadapi Pulau Panggang. Ia menuturkan banyak pemuda di pulau tersebut tak bekerja lantaran hampir tidak ada lowongan pekerjaan. 

"Rata-rata tingkat pendidikan di sini SMA. Setelah lulus SMA, mereka tidak langsung bekerja karena untuk dapat kerja mereka harus ke darat. Jadi, tidak ada wadah yang sekiranya ketika warga yang sudah lulus langsung mendapat pekerjaan yang layak," ucap Maulana.

Tak hanya buntut dari pandemi Covid-19, Maulana bercerita, terbatasnya kesempatan bekerja di Pulau Panggang merupakan persoalan yang sudah mengemuka sejak puluhan tahun. Upaya-upaya pemerintah DKI Jakarta untuk membuka lapangan pekerjaan di pulau itu jarang membuahkan hasil.

"Sudah 20 tahun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu itu berdiri. Dari kecamatan hingga menjadi kabupaten administrasi. Tapi, memang solusi soal ini (tingkat pengangguran) sampai saat ini belum terpecahkan," kata dia. 

Merujuk data indikator kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta pada 2022, angka pengangguran di Kepulauan Seribu memang meningkat dalam dua tahun tahun terakhir. 

Pada 2020, pengangguran di Kepulauan Seribu tercatat mencapai 7,37% dari total 572.780 ribu pengangguran di DKI Jakarta. Jumlah penganggur meningkat pada 2021 menjadi sekitar 8,58% dari total 439.899 ribu pengangguran di DKI Jakarta. 

Tingkat kemiskinan setali tiga uang. Pada 2020, jumlah warga miskin di Kepulauan Seribu mencapai 14,87% dari total 496,84 ribu warga miskin di DKI Jakarta. Setahun berselang, jumlahnya meningkat menjadi 15,06% dari total 498,29 ribu warga miskin di ibu kota.

Sejumlah perahu nelayan tertambat di dermaga Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Sabtu (30/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Rehabilitasi struktural

Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad menilai naiknya jumlah warga miskin dan pengangguran di Kepulauan Seribu menunjukkan ketimpangan pembangunan antarkawasan di DKI Jakarta. Ia menyebut ketimpangan itu sebagai indikasi minimnya perhatian pejabat Pemprov DKI terhadap Kepulauan Seribu.

"Persentase penduduk miskin 15,06% di Kepulauan Seribu pada Maret 2021. Bandingkan dengan Jakarta Selatan yang hanya 3,56%, Jakarta Timur 4,28%, Jakarta Barat 4,31%, Jakarta Pusat 4,94% dan Jakarta Utara 7,24%. Ini menunjukkan ketimpangan pembangunan yang memprihatinkan di Provinsi DKI Jakarta," kata Andy kepada Alinea.id, Senin (24/10).

Tingginya tingkat kemiskinan di Kepulauan Seribu, kata Andy, juga mengindikasikan Kepulauan Seribu tak jadi prioritas Pemprov DKI Jakarta saat pandemi Covid-19. Program-program pemulihan perekonomian pasca-Covid-19 juga tak menyentuh surga wisata di pinggiran Jakarta itu. 

"Pemulihan ekonomi masih prioritas di daratan. Kabupaten Kepulauan Seribu yang merupakan daerah periphery (pinggiran) yang betul-betul terpinggirkan dalam pembangunan ekonomi," kata Andy. 

BPS melaporkan tingkat ketimpangan atau rasio gini di DKI Jakarta sebesar 0,411 pada September 2021. Rasio gini meningkat 0,002 poin jika dibandingkan Maret 2021 yang sebesar 0,409. Andy menduga naiknya tingkat kemiskinan di Kepulauan Seribu jadi penyumbang utama melebarnya rasio gini DKI. 

"Perekonomian membaik, PDB (produk domestik bruto) meningkat. Tapi, gini ratio meningkat. Kenapa bisa begitu? Karena akses untuk pengembangan ekonominya kecil sekali dengan dibandingkan kaum kaya,"  kata dia. 

Infografik Alinea.id/Debbie Alyuwandira

Selain karena kebijakan pemerintah, tingkat kemiskinan dan naik turunnya jumlah pengangguran di Kepulauan Seribu juga dipengaruhi faktor eksternal. Ia mencontohkan fenomena maraknya nelayan yang "pensiun dini" di Kepulauan Seribu.

"Nelayan di Kepulauan Seribu itu banyak didatangi kapal ikan besar. Padahal, masyarakat di sana kapalnya kecil. Wilayah tangkapan mereka dikuasai kapal besar dengan teknologi yang canggih sehingga mereka kalah bersaing," kata dia.

Sebagai solusi, Andy mengusulkan rehabilitasi struktural. Pemprov DKI, kata dia, harus proaktif mengintervensi persoalan-persoalan sehari-hari yang dihadapi warga Kepulauan Seribu, semisal langkanya barang-barang kebutuhan pokok dan minimnya lapangan pekerjaan.

"Rehabilitasi struktural itu berupa keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan pembangunan ekonomi yang setidaknya meliputi pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, redistribusi aset, pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi, orientasi program-program pembangunan yang berkeadilan dan berkesetaraan antarwilayah," ucap Andy.

Alinea.id berupaya mengonfirmasi persoalan kemiskinan di Kepulauan Seribu kepada sejumlah pejabat di dinas terkait Pemprov DKI, semisal Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Suharini Eliawati dan Kepala Dinas Sosial DKI Premi Lasari. Namun, mereka belum merespons permintaan wawancara dari Alinea.id.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan