Ironi nelayan kita: Miskin di laut yang kaya
Siang itu, perahu-perahu nelayan berjejer di tepi dermaga Kampung Nelayan Cilincing, Jakarta Utara. Beberapa orang nelayan tengah sibuk membetulkan jaring, memperbaiki mesin, dan membuang air yang masuk ke kapal. Selemparan batu dari sana, rumah-rumah semi permanen berdiri, berhimpit-himpitan.
Yakub, salah seorang warga yang tinggal di situ mengaku sudah pensiun jadi nelayan. Menurutnya, hidup sebagai nelayan serba susah, berbeda dengan dahulu saat ia masih melaut.
“Sudah malas jadi nelayan. Capek. Anak jangan sampai jadi nelayan dah,” ucap pria 55 tahun itu kepada Alinea.id, Kamis (2/2).
Ayah tiga orang anak itu mengatakan, salah satu faktor penyebab yang bikin nelayan nelangsa adalah limbah warga dan pabrik. Kini, ia bekerja serabutan dan dikirim uang dari anaknya.
“Anak saya yang satu jadi guru di Bandung,” ucapnya.
Masuk dalam jurang kemiskinan
Seorang warga setempat lainnya, Rosyid, membenarkan pernyataan Yakub. Menurut dia, antara 1995 hingga awal 2000-an jadi masa kelam hidup nelayan. Lelaki kelahiran Muara Karang, Jakarta Utara itu mengatakan, pada periode tersebut pabrik-pabrik mulai berdiri di pesisir Jakarta.
Situasi makin runyam karena sampah rumah tangga. Imbasnya, nelayan harus merogoh ongkos lebih lantaran mesti melaut ke tengah.
“Dulu jangan kan jarak satu kilometer (dari pesisir), jarak 100 meter saja sudah banyak (ikan),” ujarnya pria 47 tahun itu.
Rosyid, yang sudah menjadi nelayan sejak usia 12 tahun menambahkan, jika dihitung harian, pendapatan ideal nelayan saat ini seharusnya di atas Rp150.000. Sayangnya, hal itu sulit tercapai karena kondisi nelayan tak ada perubahan.
“Yang kaya bos, bakul (pengepul) yang beli udang, ikan, cumi-cumi, dan kerang. Nelayannya, kadang sampai perahunya rusak, kagak kuat kebeli lagi,” kata dia.
Keinginan nelayan untuk membeli perahu baru, kata Rosyid, dirasa sulit. Perahu dengan panjang empat meter, terbuat dari kayu jati, harganya sekitar Rp25 juta. Belum termasuk mesin. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah.
“Nelayan sekarang itu penjualannya kecil, pengeluarannya besar. Kayak semacam ongkos melaut, itu semua sudah mahal,” kata dia.
BBM hingga konsumsi di tengah laut, ujar Rosyid, termasuk bagian ongkos yang harus dikeluarkan nelayan. “Nelayan sih enggak masalah BBM naik, tapi harus sesuai. Begitu BBM naik, harga ikan naik. Tapi (sekarang) harga jual hasil laut tetap saja (sama),” ucapnya.
Di sisi lain, nelayan mesti bersaing dengan kapal perusahaan penangkap ikan yang punya modal besar dan peralatan lebih modern. “(Nelayan tradisional) bukan disingkirin, tapi sedikit-sedikit tersingkir,” kata dia.
Rosyid jadi salah satu “korban”. Kini, ia berjualan makanan laut dengan gerobak keliling untuk menyambung hidup keluarganya. Namun, tak semua nelayan bisa seperti Rosyid yang mencoba peruntungan lain untuk bertahan hidup.
“Keahliannya hanya di laut,” ucapnya.
Segala kesulitan, yang berujung kemiskinan di pesisir, seperti yang dialami nelayan di Cilincing adalah gambaran yang belum bisa ditangani pemerintah.
Saat membuka rapat kerja nasional (rakernas) Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) 2022 secara virtual pada 2 September 2022, Wapres Ma’ruf Amin mengatakan, pemerintah tengah menargetkan penurunan kemiskinan ekstrem pada 212 kabupaten/kota di 25 provinsi. Tahun 2023, pemerintah menargetkan 514 kabupaten/kota dari 34 provinsi.
“Dari target penurunan ekstrem di 212 kabupaten/kota di tahun 2022, sebanyak 69,3% atau 147 kabupaten/kota merupakan wilayah pesisir dengan total jumlah penduduk miskin ekstrem sebanyak 1,3 juta atau 12,5% dari total penduduk miskin ekstrem di Indonesia yang berjumlah 10,86 juta jiwa,” ujarnya.
Padahal, kata Ma’ruf, total estimasi potensi sumber daya ikan sebanyak 12,01 juta ton per tahun. Jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan mencapai 8,6 juta ton per tahun.
“Potensi kelautan dan perikanan yang besar sangat disayangkan masih belum diimbangi dengan kesejahteraan nelayan,” kata dia.
“Penghasilan nelayan cenderung fluktuatif, tidak pasti, dengan pola kerja yang berisiko tinggi.”
Demi mengurangi angka kemiskinan ekstrem di pesisir, Ma’ruf mengatakan, pemerintah menyiapkan strategi pemberdayaan nelayan lewat pendidikan, pelatihan, penyuluhan, pendampingan, kemitraan usaha, kemudahan akses iptek dan informasi, serta penguatan kelembagaan.
Sebagai catatan, setiap tahun jumlah nelayan cenderung turun-naik. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada 2019 jumlah nelayan di Indonesia ada 5,23 juta. Lalu, berkurang pada 2020 menjadi 5,08 juta dan naik sedikit pada 2021 jadi 5,17 juta. Namun, bila dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 6,56 juta, jumlahnya jauh menurun.
Jika dirinci, nelayan laut pada 2019 berjumlah 2,08 juta, lalu 2020 jadi 2,35 juta, dan 2021 tetap 2,35 juta. Sedangkan nelayan perairan umum daratan pada 2019 sebanyak 2,49 juta, 2020 2,23 juta, dan 2021 jadi 2,25 juta. Sementara jumlah nelayan pembudidaya pada 2017 sebanyak 2,89 juta. Namun, susut pada 2021 jadi 2,25 juta.
Adapun produksi perikanan tangkap laut Indonesia terus meningkat. Pada 2017 mencapai 6,60 juta ton, sedangkan 2021 menjadi 6,76 juta ton. Sementara produksi perikanan budi daya laut cenderung turun. Tahun 2021 mencapai 7,31 juta ton, turun dibanding 2020 8,49 juta ton dan 2019 8,61 juta ton.
Segala kesulitan dan cara mengatasinya
Menurut Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Maliki, ada beberapa faktor yang menyebabkan nelayan lebih miskin ekstrem dibandingkan profesi lain.
Pertama, meski sumber daya laut melimpah, tetapi kemampuan sumber daya manusianya memanfaatkan teknologi dan alat tangkap relatif masih kurang.
“Istilahnya, produktivitasnya memang lebih rendah, sehingga mereka tidak banyak menikmati potensi sumber daya laut yang cukup besar,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (1/2).
Kedua, kekurangan modal. Soalnya, biaya operasional tinggi mengakibatkan biaya produksi terlalu mahal. “Apabila dijumlahkan dari pengeluaran produksi dan dikurangi hasil penjualan, maka nelayan tidak terlalu banyak menikmati keuntungan,” ucapnya.
Ketiga, terkait sistem penjualan. Maliki mengatakan, hasil tangkap nelayan biasanya dibanderol dengan harga relatif rendah. Pengepul juga menetapkan harga tak sesuai dengan nilai keekonomian.
Tantangan lainnya, akses infrastruktur di pesisir pun kurang memadai. Hal itu bisa berdampak pada biaya transportasi yang mahal. Belum lagi masalah sampah di pesisir dan laut.
“Mereka tidak dapat menikmati potensi laut kita yang cukup banyak, apalagi kita negara kepulauan,” ujarnya.
Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengatakan, di pesisir ada konsep nelayan tak menganggap dirinya miskin. Namun, tak bisa dihindari ada stigma miskin, kumuh, dan bodoh yang sengaja dilekatkan kepada nelayan.
“Mereka sudah cukup kok dengan laut yang mereka punya hari ini,” ujar Susan, Rabu (1/2).
“Tapi kondisi hari ini, ya mereka terjebak dalam situasi terpaksa atau dipaksa dimiskinkan secara terstruktur.”
Ia mencontohkan kondisi nelayan di Teluk Jakarta, yang terusik dengan reklamasi. “Pembangunan-pembangunan yang memiskinkan, yang kemudian membuat mereka semakin jauh dari ruang hidupnya,” kata dia.
Situasi makin pelik usai terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Dalam pasal 26 peraturan itu ada klausul pengurusan izin pada pemerintah untuk orang yang melakukan usaha perikanan.
Menurut Susan, Perppu Cipta Kerja juga memberi karpet merah masuknya investasi perikanan asing, sehingga bisa beroperasi di perairan Indonesia. Ketika ada kapal penangkap ikan skala perusahaan, maka nelayan tradisional kalah bersaing.
“Menurut kami, nelayan tradisional itu sedang dipaksa untuk dihilangkan,” tuturnya.
Susan mengatakan, kondisi itu berbanding terbalik dengan penerimaan fantastis negara dari subsektor perikanan tangkap. Awal tahun ini, Ditjen Perikanan Tangkap KKP mengumumkan, capaian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) subsektor perikanan tangkap sebesar Rp1,26 triliun. Angka itu tumbuh 61% secara tahunan, dibandingkan jumlah pada 2021 sebesar Rp784 miliar.
“Kalau kita telaah lagi, itu enggak terlalu signifikan juga dengan kesejahteraan nelayan,” katanya.
Selain itu, Susan menyebut, pemerintah tak punya konsep yang jelas tentang pengelolaan ruang laut. Sebab, situasi sekarang terbuka investasi mana pun untuk masuk ke pesisir, tanpa mempertimbangkan relasi manusia dengan alam.
“(Pemerintah) juga tidak punya program yang jelas bagaimana mau mendorong mereka keluar dari skema kemiskinan terstruktur ini,” kata Susan.
Dari segudang masalah ini, Maliki menjelaskan, formula ideal yang bisa dilakukan adalah kerja sama antarkementerian dan lembaga (K/L) di bawah komando Wapres Ma’ruf Amin. Menurutnya, prinsip kerja sama itu adalah menggunakan data dan pemikiran yang sama atas sebuah kondisi yang ingin diselesaikan.
“Program pemerintah daerah, program bukan pemerintah, itu diatur bersama-sama, sehingga berjalan bersama-sama dan ‘mengeroyok’ orang yang betul-betul akan kita entaskan (kemiskinannya),” ujar Maliki.
Jika ingin mengatasi kemiskinan ekstrem pada nelayan, Susan menyarankan pemerintah memberi apa yang dibutuhkan. “Nelayan enggak butuh sesuatu hal yang mewah,” kata dia.
“Yang menjadi penting buat mereka, negara memastikan mereka bisa melaut dengan tenang, enggak diusir, enggak terusir, dan ada fasilitas.”
Misalnya, ujar Susan, pemerintah bisa mengatasi kesulitan nelayan dengan ketersediaan BBM bersubsidi, perlindungan kesehatan, dan jaminan asuransi melaut. “Itu yang penting buat mereka,” ujarnya.
Sayangnya, menurut Susan, pemerintah belum sampai ke tahap itu. Jika keadaannya tak berubah, kata dia, Indonesia makin jauh dari mimpi nelayan berdaulat.
“Nyatanya kan nelayan semakin sulit. Sekarang regenerasi nelayan saja sulit,” katanya.
“Karena banyak yang orang tuanya nelayan, mengatakan (kepada anaknya) ‘enggak usah jadi nelayan’. Mereka tahu, betapa sulitnya menjadi nelayan di Indonesia.”