Perang Israel vs Iran dan masa depan suram drone Elang Hitam
Pesawat nirawak atau drone kian aktif terjun langsung dalam peperangan. Tak hanya menjalankan misi surveilans, drone-drone kombatan yang menggendong beragam jenis senjata kini rutin dipakai untuk menyerang target-target musuh. Perang Israel versus Iran serta Rusia versus Iran jadi panggung teranyar drone kombatan.
Saat membombardir Israel, akhir pekan lalu, misalnya, Iran menggunakan sekitar 200 drone jenis Shahed-136. Dilaporkan, Iran juga menerjunkan drone Shahed-238 yang sudah bermesin jet yang kecepatannya mencapai 402-599 kilometer per jam. Drone-drone Iran mampu mengelak dari pantauan radar dan menembus pertahanan udara Israel.
Dalam perang di Ukraina, Rusia dan Ukraina juga rutin menggunakan pesawat nirawak, terutama untuk misi-misi surveilans. Rusia menggunakan Shahed-136, sedangkan Ukraina memanfaatkan Bayraktar TB2 buatan Turki untuk mengintai posisi artileri dan pergerakan prajurit Rusia.
Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai pesawat nirawak atau drone sudah lama dibutuhkan Indonesia untuk memperkuat pertahanan udara. Drone terutama bisa dimanfaatkan untuk menjangkau wilayah yang sulit ditembus oleh alutsista konvensional.
Tak hanya untuk perang, menurut Fahmi, drone bisa dimanfaatkan pemerintah untuk operasi-operasi pengawasan dan penangkalan "invasi" ruang udara nasional secara tidak sah oleh pihak asing, serta deteksi dini aktivitas-aktivitas ilegal di darat dan perairan Indonesia.
"Kita tahu masih ada banyak celah rawan dalam penegakan kedaulatan dan penegakan keamanan terutama di kawasan-kawasan terluar maupun kawasan yang medannya sulit dijangkau dengan menggunakan moda berawak," kata Fahmi kepada Alinea.id, Selasa (23/4).
Konflik antara Iran vs Israel serta Rusia vs Ukraina, menurut Fahmi, menunjukkan pentingnya dominasi kekuatan udara serta urgensi kepemilikan drone kombatan. Ia berharap pemerintah serius mengebut pengembangan pesawat nirawak untuk memperkuat pertahanan.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, pengembangan drone secara mandiri perlu disokong investasi yang besar serta kemampuan riset dan teknologi yang terintegrasi antara lembaga negara, perguruan tinggi, dan industri pertahanan.
"UU ini mengamanatkan mengurangi ketergantungan pada alutsista impor sekaligus meningkatkan kemampuan industri pertahanan nasional untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pertahanan negara secara mandiri," ucap Fahmi.
Jika memungkinkan, menurut Fahmi, opsi impor drone kombatan juga perlu dibuka. Pasalnya, kerja sama pengadaan dengan korporasi senjata asing bisa membuka peluang transfer teknologi dan meningkatkan kemampuan produksi.
"Selain alasan efisiensi, belanja impor dengan skema offset menyangkut transfer teknologi dan kemampuan produksi yang bagus seperti yang tampak dalam pembelian Bayraktar dari Turki, jelas tetap diperlukan agar kapabilitas dalam negeri juga terus meningkat," kata Fahmi.
Indonesia sebenarnya sempat punya rencana terperinci untuk mengembangkan drone buatan dalam negeri berkategori Medium Altitude Long Endurance (MALE). Dinamai drone Elang Hitam, pengembangan pesawat nirawak itu bahkan tercatat sebagai salah satu proyek strategis nasional pada Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 (Perpres 109/2020).
Sejak 2017, proyek itu digarap periset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan PT Dirgantara Indonesia (DI), PT Len Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Kementerian Pertahanan (Kemhan). Drone MALE kombatan semula dipersiapkan guna memperkuat perangkat tempur skuadron TNI-AU. Proyek itu sempat ditargetkan rampung pada 2025.
Namun, proyek drone Elang Hitam mangkrak saat BPPT dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2020. Sekira dua tahun berselang, drone Elang Hitam "turun kelas" setelah dialihkan BRIN ke dalam format versi drone sipil. Konsorsium penyokong proyek drone Elang Hitam pun bubar.
Akhmad Farid Widodo, eks perekayasa BPPT yang terlibat langsung dalam proyek drone Elang Hitam, mengaku tak tahu lagi bagaimana nasib proyek riset yang pernah ia garap tersebut. Setelah berstatus sebagai periset di Pusat Riset Teknologi Penerbangan BRIN, Farid tak dilibatkan dalam proyek pengembangan drone sipil.
"Tentang MALE sendiri saya tidak melihat ada progresnya. Saya tidak melihat ada program tentang ini. Yang ada kegiatan- kegiatan riset parsial yang tidak mengarah pada program pengembangan produk tertentu," ucap Farid kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Berkaca pada strategisnya peran drone dalam perang Iran vs Israel, menurut Farid, sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintah tidak mengembangkan drone militer secara mandiri. Apalagi, Indonesia nyaris memiliki drone tempur jika proyek drone Elang Hitam tak mangkrak di tengah jalan.
"Dengan melihat perang era-era ini, di mana drone tempur menjadi alutsista andalan, membuktikan bahwa drone tempur seharusnya menjadi teknologi pertahanan prioritas untuk dikembangkan secara mandiri dan juga berpotensi untuk menjadi komoditi ekspor," kata Farid.
Pengembangan drone militer secara mandiri, kata Farid, punya efek pengganda. Dengan menguasai teknologi drone secara mumpuni, negara akan memperkuat sistem persenjataan udara, sistem perang elektronika, dan memperkuat kemandirian teknologi pertahanan nasional. "Bahkan mendorong pengembangan sistem pertahanan kita yang lain," imbuhnya.
Kepada Alinea.id, pelaksana tugas Kepala Pusat Teknologi Penerbangan BRIN Agus Aribowo sempat menyebut perubahan arah riset dari drone MALE kombatan ke drone MALE sipil perlu dilakukan lantaran BRIN pesimistis spesifikasi militer yang diinginkan TNI AU bakal terpenuhi. Ia khawatir drone MALE yang dikembangkan berbasis riset sebelumnya justru tak terpakai.