Ivermectin, dari senat AS ke lingkar Jokowi
Bertepatan dengan legalnya kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, sebuah rapat dengar pendapat digelar di Gedung Senat AS di Washington D.C. pada 8 Desember 2020. Menghadirkan para pengusung fringe theory dan penolak masker, rapat itu sepi anggota senat.
Tak hanya diboikot para politikus Partai Demokrat, sejumlah anggota senat dari Partai Republik juga menolak hadir dalam rapat itu. Meski begitu, rapat tak lazim yang diinisiasi Ketua Komite Keamanan Nasional dan Urusan Dalam Negeri Senat AS, Ron Johnson, itu berlangsung hingga tuntas.
“Rapat ini didesain untuk mengeksplorasi pendekatan-pendekatan tak biasa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Akar dari permasalahan kita selama ini adalah pikiran-pikiran yang tidak terbuka," kata politikus Partai Republik itu saat membuka rapat.
Salah satu saksi yang dihadirkan ialah Jane Orient. Dokter berusia 74 tahun asal Arizona itu masyhur di Negeri Paman Sam sebagai penentang program vaksinasi untuk melawan Covid-19. Ia punya teori Covid-19 ditransmisikan dari sisa kotoran manusia yang menguap di udara.
"Mungkin sebaiknya alih-alih meminta orang-orang patuh memakai masker, kita harus rajin-rajin menutup toilet atau menaburkan Clorox (sebuah merek disinfektan populer di AS) ke dalam toilet sebelum membilas," cetus Orient.
Teori-teori lainnya dikemukakan oleh rekan-rekan Orient dan dibahas secara serius di rapat itu. Sesekali, para pakar yang hadir juga memuji model-model perawatan Covid-19 yang belum teruji klinis seperti penggunaan hydroxychloroquine yang pernah dipromosikan Presiden AS Donald Trump.
Di antara para saksi, Pierre Kory, seorang dokter spesialis paru-paru dari Aurora St. Luke's Medical Center di Milwaukee, Wisconsin, hadir khusus untuk bicara panjang lebar soal khasiat ivermectin. Ia menyebut ivermectin sebagai obat ajaib yang bisa digunakan melemahkan SARS-Cov-2.
Dalam pemaparannya, Kory mengutip sekitar dua puluh studi yang membahas keampuhan ivermectin. Ia juga mengumbar data yang secara sekilas menggambarkan penurunan jumlah kematian pada pasien-pasien penderita Covid-19 berusia di atas 60 tahun di sejumlah negara di Amerika Latin usai mengonsumsi ivermectin.
"Data-data ini menunjukkan bahwa ivermectin obat ajaib untuk melawan Covid-19. Besarnya efek terhadap Covid-19 serupa dengan dampak historis ivermectin melawan penyakit akibat parasit di berbagai belahan dunia yang telah diganjar hadiah Nobel," kata Kory.
Data dalam bentuk grafik itu disuplai para dokter kolega Kory di Frontline COVID-19 Critical Care (FLCCC) Alliance. Di organisasi nirlaba yang dibentuk pada awal pandemi Covid-19 itu, Kory berstatus sebagai presiden dan pendiri.
Selain rangkaian data itu, Kory bahkan sudah punya panduan pemakaian invermectin lengkap dengan jumlah dosis dan suplemen tambahan yang perlu dikonsumsi. Panduan itu turut ia paparkan kepada khalayak peserta rapat.
"Sudah ada solusi yang tersedia. Sebuah solusi yang tidak bisa dikesampingkan dan diabaikan. Ada kebutuhan genting untuk memberitahukan informasi (tentang invermectin) ini kepada seluruh tenaga kesehatan di negeri ini dan di seluruh dunia," kata Kory.
Potongan-potongan pernyataan Kory di rapat senat itu lantas diabadikan dalam bentuk video dan disebar di media sosial. Pada 11 Desember 2020 atau hanya berselang tiga hari dari rapat itu, tercatat sudah ada sekitar satu juta orang yang menonton video Kory "jualan" ivermectin.
Sebelum rapat di senat itu, Kory memang sudah lama mempromosikan ivermectin bersama FLCCC. Di akun Twitternya, FLCCC bahkan mengumumkan sebagai sebuah gerakan global untuk mengarustamakan ivermectin sebagai obat Covid-19.
Bersama Paul E. Marik, koleganya di FLCCC, Kory bahkan pernah menulis sebuah makalah mengulas keampuhan ivermectin yang terbit di jurnal kenamaan Frontiers Media. Belakangan, makalah itu dihapus lantaran dinilai mengandung klaim-klaim yang meragukan.
Dalam sebuah wawancara, Kory menyebut penghapusan ulasan tentang ivermectin di Frontiers Media sebagai upaya sensor. "Saya menemukan hal ini (penghapusan makalah dia dan Marik) sebagai sesuatu yang abnormal," kata Kory seperti dikutip dari The Scientist.
Lemah data ilmiah
Salah satu studi yang dikutip Kory dalam makalahnya dan dibawa ke senat AS ialah riset bertajuk "The FDA-approved drug ivermectin inhibits the replication of SARS-CoV-2 in vitro" yang digarap Leon Caly, Julian D. Druce, Mike G.Catton, David A. Jans, dan Kylie M. Wagstaff.
Dalam riset yang terbit di Jurnal Antiviral Research Volume 178 pada June 2020 itu, para peneliti menemukan ivermectin bisa menghentikan perkembangbiakkan SARS-Cov-2 dalam sel kultur (culture cell) yang mereka kembangkan secara khusus di laboratorium.
"Tidak ada bukti keracunan akibat ivermectin yang kami temukan dari hasil observasi saat pengetesan, entah itu pada perigi sampel atau pada sampel obat yang diuji secara paralel," tulis Wagstaff dan rekan-rekannya.
Pada sebuah artikel yang dipublikasikan di laman resmi Monash University, Wagstaf selaku ketua tim peneliti menjelaskan temuannya dalam bahasa orang awam. Sederhananya, kata dia, ivermectin bisa membunuh virus penyebab Covid-19 hanya dalam 48 jam.
Akan tetapi, keampuhan itu baru terbukti dalam uji in vitro di laboratorium. Wagstaff mengingatkan ivermectin belum bisa digunakan untuk pengobatan Covid-19. "Uji coba perlu dilakukan terlebih dulu pada manusia," kata dia.
Ditemukan Satoshi Omura dari Kitasato University pada pertengahan tahun 1970-an, ivermectin pada mulanya digunakan sebagai obat antiparasit pada hewan ternak dan peliharaan. Pada akhir 1970-an, ivermectin mulai dipakai untuk obat onchocerciasis (river blindness) di kawasan Afrika barat.
Terbukti ampuh melawan berbagai jenis parasit, obat yang utamanya diproduksi perusahaan farmasi Merck itu kemudian mulai digunakan untuk pengobatan zika, HIV, malaria, dan cikungunya pada dekade 1990-an. Pada 2015, Omura bersama peneliti Merck dihadiahi nobel karena wonderdrug yang mereka temukan.
"Ivermectin sudah digunakan secara luas dan dianggap sebagai obat yang aman. Kita perlu mengetahui seberapa besar dosis yang dibutuhkan pada manusia supaya itu bisa efektif. Itu langkah selanjutnya," kata Wagstaff.
Tak lama setelah temuan Wagstaff dan kawan-kawan dipublikasikan, sebuah makalah pendek diterbitkan di British Journal of Clinical Pharmacology. Makalah yang dikerjakan Ricardo Pena-Silva, Stephen B. Duffull, Andrew C. Steer, Sandra Jamirillo-Rincon, Amanda Gwee, dan Xia Zhou itu meragukan ivermectin bisa dipakai sebagai obat Covid-19.
Tesis utama mereka: percobaan in vitro mustahil berhasil pada uji in vivo (pada hewan dan manusia) jika metodenya serupa, yakni diinjeksi atau diberikan dalam bentuk tablet. Itu karena ivermectin cenderung terikat pada protein dalam darah sehingga konsentrasinya tidak akan setebal ketika diaplikasikan pada sel kultur.
Sebagai gambaran, dengan injeksi 1700mcg/kg invermectin atau sekitar 8 kali lipat dosis yang disetujui Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat, konsentrasi plasma yang dihasilkan hanya 0,28μM. Padahal, konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek antiviral sekitar 5μM
"Meskipun ivermectin dalam dosis tinggi pada orang dewasa dan anak-anak dapat ditoleransi, efek klinis ivermectin pada kisaran 5μM tidak diketahui dan kemungkinan bisa menimbulkan keracunan," tulis Pena-Silva dan kawan-kawan.
Selain persoalan dosis, para pakar kesehatan juga mempersoalkan keterbatasan data ilmiah dalam kajian-kajian mengenai keampuhan ivermectin sebagai obat Covid-19. Pada riset Wagstaff cs, misalnya, tidak dijelaskan bagaimana ivermectin mengintervensi SARS-Cov-2.
Soal itu, Wagstaff sendiri hanya baru bisa menduga-duga. "Kemungkinan itu (ivermectin) serupa seperti reaksinya pada virus-virus lainnya, yaitu dia bekerja menghentikan virus meredam kemampuan sel-sel pada inang untuk membersihkannya (SARS-Cov-2)," ujar dia.
Pakar penyakit menular dari John Hopkins University, Amesh Adalja mengatakan kebanyakan riset soal ivermectin masih sebatas anekdot. Menurut dia, tak ada riset berstandar tinggi yang mampu menunjukkan efektivitas dan metode penggunaan ivermectin yang paling tepat untuk mengobati Covid-19.
"Kita butuh lebih banyak data sebelum kita bisa mengatakan bahwa ini adalah pengobatan yang definitif. Kami ingin melihat lebih banyak data sebelum merekomendasikannya kepada para pasien," kata Adalja seperti dikutip dari AP.
Dimulai dari Amerika Latin
Meskipun disanggah para ilmuwan dan pakar di bidang kesehatan dan miskin uji klinis pada manusia, ivermectin terlanjur sohor jadi obat Covid-19, terutama di Amerika Selatan. Pada 8 Mei 2020, Kementerian Kesehatan Peru merekomendasikan ivermectin untuk mengobati kasus Covid-19 bergejala ringan dan berat. Langkah serupa diambil Bolivia, Brasil, dan Guatemala.
Patricia García, peneliti di Cayetano Heredia University, mengatakan mayoritas pasien Covid-19 di Peru pernah menjajal obat itu. "Dari 10 orang yang datang, saya berani bilang delapan di antaranya pernah mencoba ivermectin," kata dia seperti dikutip dari Nature.
Salah satu alasan kenapa ivermectin bisa populer meskipun diragukan keampuhannya ialah karena kencangnya propaganda di media sosial. Di AS, misalnya, FLCCC rutin menghasilkan konten-konten pro ivermectin. Unggahan-unggahan itu lantas disebarluaskan kelompok antivaksin, pro-Trump, dan para pegiat teori konspirasi.
Menurut managing editor Science-Based Medicine David Gorski, kelompok pendukung ivermectin juga bikin situs-situs pseudo-scientific untuk menjustifikasi penggunaan ivermectin di jagat maya, semisal ivmmeta.com dan c19ivermectin.com. Situs-situs itu, kata Gorski, dipenuhi dengan eror yang memalukan.
Pada ivmmeta.com, misalnya, pemilik situs menunjukkan seolah-olah ivermectin di-endorse WHO dengan menyertakan angka risk ratio (RR) pada pasien Covid-19 versi WHO. Ditautkan pada situs itu, kajian WHO menunjukkan konsusmi ivermectin meningkatkan kesehatan pasien hingga 81%.
Padahal, WHO hanya merekomendasikan ivermectin digunakan pada uji klinis saja. Dalam sebuah analisis, panel pakar WHO bahkan menyimpulkan efek ivermectin tak jelas pada beragam aspek penting, semisal tingkat kematian, perlu atau tidaknya mesin ventilator, perawatan rumah sakit, durasi rawat inap, dan viral clearance.
Gorski menyimpulkan gembar-gembor ivermectin serupa dengan demam hydroxychloroquine yang melanda pada awal pandemi. Ketika itu, hydroxychloroquine laris manis setelah dipromosikan secara "gila-gilaan" sebagai obat Covid-19. Belakangan, obat itu terbukti tak punya efek medis terhadap SARS-Cov-2.
"Obat ini dipromosikan dengan cara yang sama (seperti hydroxychloroquine) dan oleh orang-orang yang sama pula. Bersamaan dengan itu, teori-teori konspirasi juga lahir berbasis bukti ilmiah yang lemah terkait penggunaannya," kata profesor ilmu bedah di Wayne State University School of Medicine itu.
Sejauh ini, promosi ivermectin yang diinisasi FLCCC dan sejawatnya tergolong berhasil. Januari lalu, Afrika Selatan mulai menggunakan ivermectin sebagai obat Covid-19. Di tengah gelombang kedua Covid-19 yang melanda, India juga membagikan ivermectin secara masif kepada para pasien Covid-19 di negara mereka.
Indonesia juga tak mau ketinggalan. Di lingkungan pejabat, ivermectin bisa dikata kali pertama di-endorse oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko sejak awal Juni. Selain mengklaim rutin meminumnya, Moeldoko juga tercatat membagikan ivermectin kepada warga di Kabupaten Kudus dan Kota Semarang, Jawa Tengah.
Dari Moeldoko, bola ivermectin beralih ke tangan Menteri BUMN Erick Thohir. Dalam sebuah konferensi pers virtual, belum lama ini, Erick secara tidak langsung meresmikan penggunaan ivermectin sebagai obat Covid-19. Erick menunjuk langsung PT Indofarma Tbk untuk memproduksi jutaan butir ivermectin siap pakai.
Seolah sejalan dengan promosi orang-orang dekat Jokowi itu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) lantas merilis izin edar untuk ivermectin akhir Juni lalu. Belakangan, BPOM mengeluarkan izin uji klinis obat anti parasit itu untuk obat Covid-19.