close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan orasi saat kampanye akbar pemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Sudrajat - Ahmad Syaikhu di Monumen Perjuangan Rakyat, Bandung, Jawa Barat./Antara Foto
icon caption
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan orasi saat kampanye akbar pemenangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Sudrajat - Ahmad Syaikhu di Monumen Perjuangan Rakyat, Bandung, Jawa Barat./Antara Foto
Nasional
Selasa, 29 Mei 2018 14:15

Izin tambang jadi komoditas seksi untuk barter dana kampanye di Pilkada

Perlu ada transparansi dana kampanye masing-masing kandidat peserta Pilkada Serentak 2018.
swipe

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 yang akan diselenggarakan 27 Juni mendatang masih memiliki beberapa catatan kritis. Salah satunya terkait pendanaan kampanye para calon kepala daerah yang menjadi perhatian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Koordinator Jatam Nasional, Merah Johansyah, menyatakan perlu adanya transparansi dana kampanye masing-masing kandidat yang sampai saat ini belum diberikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terlebih adanya perizinan terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang marak dikeluarkan menjelang pilkada serentak.

"Jadi keluarnya izin-izin tambang menjelang pemilu daerah itu harus diwaspadai. Ini kami duga, izin tambang ini diterbitin untuk mendapatkan uang kontan, uang cash, untuk membiayai kampanye kandidat tertentu," kata Merah kepada Alinea.

Dugaan itu dikarenakan banyaknya perizinan tambang yang dikeluarkan di daerah-daerah yang menjadi titik berlangsungnya Pilkada. Berdasarkan data Jatam, ada 170 perizinan tambang yang dikeluarkan pemerintah daerah. Di Jawa Tengah ditemukan ada 120 izin tambang yang diterbitkan jelang Pilkada. Jawa Barat ada 34 izin tambang, juga di Lampung, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan juga Kalimantan Timur yang bahkan banyak ditemukan penambangan ilegal.

"Itu (perizinan keluar) hanya enam bulan sebelum pilkada serentak berlangsung, bahkan hanya dua minggu sebelum penetapan masa calon," tutur Merah.

Kekhawatiran tersebut juga diperkuat karena adanya sumber dana kampanye dari pihak swasta, selain dana mandiri kandidat peserta dan partai politik pengusung. Merah menyatakan sumber pendanaan dari pihak swasta itu dikhawatirkan berasal dari sumber tak jelas berupa sumbangsih pengusaha tambang.

Pengobralan izin demi kepentingan politik itu tentunya akan mengesampingkan perlindungan lingkungan dan sumber daya alam. Demi menghindari barter yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu itu, menurut anggota Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Amalia Salabi, perlu adanya sistem transparansi dana kampanye pada setiap kandidat pilkada.

"Jika bisa membuat sistem informasi dana kampanye yang membuka, mentransparansi, siapa saja yang menyumbang di situ," tutur perempuan lulusan jurusan Sejarah itu.

Menurutnya, Bawaslu dan KPU menjadi lembaga yang seharusnya bersinergi memberikan keterbukaan informasi tersebut kepada masyarakat. Dengan adanya keterbukaan dana kampanye, masyarakat dapat menentukan pilihan kepada calon yang tidak hanya memberikan janji palsu.

Sayangnya diakui Amalia, Bawaslu dan KPU pun hanya meminta laporan dana kampanye yang hanya bersifat administrasi saja. Wacana untuk membuat sebuah sistem keterbukaan informasi kepada publik secara online, belum juga terlihat dari dua lembaga tersebut.

"Jadi memang kita menunggu sikap progresif membuat transparansi dana kampanye," kata Amalia.

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan