DKI Jakarta dianggap sudah darurat bencana sehingga rencana pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia oleh Jokowi didukung akademisi.
Guru Besar Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan (UPH) Manlian Ronald A. Simanjuntak menilai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta darurat bencana. Bukan saja bencana alam, melainkan pula bencana non-alam seperti ledakan jumlah penduduk.
"Dua tahun terakhir, Jakarta pernah dilalui lempeng gempa. Dan tidak main-main 5,1 skala richter, hampir 6 SR, Taiwan itu sudah collapse. Bencana sosial, kita tahu kepadatan jumlah penduduk, dan permasalahan lainnya," tutur Manlian di Jakarta, Sabtu (4/5).
Sehingga, kata dia, pembangunan Lintas Rel Terpadu (Light Rail Transit/LRT) dan Moda Raya Terpadu (Mass Rapid Tansit/MRT) belum tentu mampu menuntaskan permasalahan sosial yang ada.
"Kalau Jakarta disebut darurat bencana, maka tujuannya agar kita waspada, peka terhadap beban kota Jakarta. Jumlah manusia pagi hari dan malam hari itu gap-nya begitu besar," ujar Manlian.
Lebih lanjut, Manlian mengatakan, daerah perbatasan kota tua Jakarta pun terjadi kemacetan.
"Mengapa kemacetan selalu terjadi di Cikampek, karena memang dampak dari perbatasan ya, dan ternyata bebannya begitu besar," kata dia.
Untuk itu, rencana presiden Joko Widodo memindahkan ibu kota Republik Indonesia dari DKI Jakarta ke provinsi lainnya di luar Pulau Jawa dinilai terlalu dini. Meskipun begitu, Manlian menyambut baik pembicaraan pemindahan ibu kota tersebut.
"Bahasa saya dengan teman-teman staf presiden, terlalu dini lah kita untuk langsung memutuskan. Itu kan dari rapat terbatas 29 April lalu," tutur Manlian.
Ia pun merespons positif rencana pemindahan ibu kota karena mempertimbangkan kepadatan penduduk, geliat pembangunan yang serba cepat, dan tingkat kerawanan terhadap bencana.
"Artinya, beban kota Jakarta jadi begitu besar, belum lagi masalah sosial lainnya. Seperti potensi kebencanaan," ujar Manlian.
Menurutnya, pemindahan ibu kota memerlukan perencanaan yang matang.
"Perlu dipersiapkan lebih dulu, baru diputuskan, itu prosesnya panjang, dan kalau kita tinjau dari tahun 1957, (pemindahan ibu kota) hanya wacana saja," kata Manlian.
Ia menyarankan, pemindahan ibu kota memerlukan feasibility studies atau studi kelayakan secara lengkap dan komprehensif. Salah satu pertimbangannya, kata dia, terkait apakah selaras dengan kebijakan satu peta.
Lebih lanjut, Manlian menegaskan, bahwa ibu kota adalah wajah negara. Sehingga, menurutnya, jangan melupakan aspek historis dan sosial-budaya.
"Seharusnya daerah yang nanti menjadi ibu kota yang baru sudah siap dimasuki budaya baru," kata Manlian.