Amnesty International Indonesia memandang pengakuan Presiden Jokowi atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu, tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum. Kendati demikian, pihaknya tetap menghargai sikap Jokowi dalam mengakui terjadinya pelanggaran HAM sejak1960-an di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, pernyataan ini sudah lama tertunda. Pasalnya, para korban dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan dan kebenaran selama beberapa dekade.
Usman pun berpandangan, pengakuan tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam luka korban dan keluarganya.
"Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas," kata Usman kepada Alinea.id, Rabu (11/1).
Usman menyebut, pemilihan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat oleh pemerintah tidak menghindarkan kenyataan kengerian kejahatan terabaikan lainnya. Sebagai contoh, pelanggaran yang dilakukan selama pendudukan dan invasi Timor Timur, Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, kasus pembunuhan Munir.
"Jika Presiden serius bicara kasus yang terjadi setelah tahun 2000. Itu seharusnya juga disebutkan," ujarnya.
Kelalaian ini merupakan penghinaan bagi banyak korban. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini, termasuk dalam empat kasus yang tidak disebutkan Jokowi dengan putusan bebasnya terdakwa.
Apabila, Jokowi benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang harus segera, efektif, menyeluruh. Selain itu, penyidik tidak memihak dalam menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di mana pun itu terjadi. Apalagi, jika ada cukup bukti yang dapat diterima, tentu menuntut para penegak hukum dalam pengadilan bersifat adil di hadapan pengadilan pidana.
Para penegak hukum juga diingatkan bahwa tidak bisa hanya mengatakan tidak cukup bukti. Sebab, selama ini lembaga yang berwenang, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan.
Pemerintah Indonesia diminta untuk melek dalam mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku. Langkah ini sebagai satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM.
"Presiden harus perintah kan Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan," ujarnya.
Usman menegaskan, Jokowi dan jajarannya, masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) dalam hal ini. Bahkan, isu ini tidak bisa disederhanakan menjadi kasus per kasus.
Sebagai contoh, pelanggaran HAM berat di Aceh itu terjadi di banyak tempat dan di waktu berbeda selama periode pemberlakuan status daerah operasi militer sejak 1989 hingga 1998. Sementara yg disebutkan oleh Presiden Misalnya terbatas pada kasus Rumah Gedong 1989.
"Pelanggaran HAM berat masa lalu itu tidak terbatas pada yang telah diselidiki Komnas HAM, terlebih mengingat kapasitas dan sumber terbatas dari penyelidikan Komnas HAM," ucapnya.
Sebelumnya, Jokowi mengklaim kesungguhan pemerintah agar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat tidak terjadi lagi di tanah air. Dirinya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM dan mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada berbagai peristiwa.
“Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang,” kata Jokowi usai menerima Laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1).
Presiden pun sangat menyesalkan 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu, yaitu:
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
6. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;
10. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;
11. Peristiwa Wamena, Papua di 2003, dan
12.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.