close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi Kamisan ke-568 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/1/2019). Antara Foto
icon caption
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi Kamisan ke-568 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/1/2019). Antara Foto
Nasional
Kamis, 10 Januari 2019 20:11

Jaksa Agung masih tradisional memandang kasus pelanggaran HAM

Kejaksaan Agung harus melihat pelanggaran HAM berat masa lalu secara jernih. Banyak kasus yang tidak bisa digeneralisir.
swipe

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Miftah Fadhli, mengatakan Jaksa Agung dalam menyikapi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu masih berpatokan pada prosedur hukum acara pidana secara tradisional.

“Karena Jaksa Agung itu masih berpatokan pada prosedur hukum acara pidana yang tradisional. Sedangkan kita menghadapi kasus yang berbeda dari kasus-kasus pidana pada umumnya,” kata Miftah saat ditemui di Jakarta pada Kamis (10/1).

Karena masih tradisional itulah Jaksa Agung kerap memandang kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tak mempunyai bukti kuat, sehingga tidak bisa diproses secara hukum lebih lanjut. Pihak Jaksa Agung kemudian menawarkan penyelesaian dengan cara non yudisial atau rekonsiliasi terkait.

Menurut Miftah, Kejaksaan Agung harus bisa melihat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara jernih. Ada banyak kasus pelanggaran HAM berat yang tidak bisa digeneralisir. Jaksa Agung karena itu harus mendalami dan mengidentifikasi kasus-kasusnya terlebih dahulu, selanjutnya baru memutuskan bakal diselesaikan dengan cara yudisial atau non yudisial.

“Jangan kemudian Jaksa Agung menolak menindaklanjuti laporan dari Komnas HAM,” ujar Miftah.

Menurut Miftah, sejumlah bukti yang diserahkan Komnas HAM sudah cukup bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hanya kasus 65 yang memang agak sulit penyelesaiannya lantaran pelakunya mungkin sudah ada yang meninggal dunia. 

"Sebenarnya dari bukti-bukti itu sudah cukup, ya. Kecuali kasus 65, kita tidak bisa berharap banyak untuk bisa diselesaikan dengan cara yudisial, “ ujar Miftah. 

Menurut Miftah, untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat harus dilakukan dengan cara  prosedur hukum pidana secara khusus. Namun untuk kasus 65, karena sulit diusut lantaran beberapa pelakunya sudah meninggal, pemerintah seharusnya bisa memenuhi kebutuhan korban dari segi ekonomi, sosial, dan budaya.

“Kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat urgen,” kata Miftah.

Sebelumnya, Jaksa Agung RI, HM Prasetyo, mengatakan Komnas HAM tak pernah menemukan bukti kuat sejak melakukan penyelidikan terkait kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Itu sebabnya, Prasetyo menyarankan agar kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan dengan cara pendekatan non yudisial atau rekonsiliasi.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan