Kejaksaan menjelaskan alasan terkait absennya dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pidana terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terhadap terdakwa Ahyudin. Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) itu adalah terdakwa dalam persidangan penyelewengan dana santunan korban jatuhnya pesawat Lion Air 610 Boeing 737 Max 8 oleh ACT di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11).
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Syarif Sulaeman Nahdi mengatakan, dakwaan terkait pasal tersebut belum sampai ke tangan jaksa penuntut umum (JPU). Sampai saat ini, JPU hanya menerima pasal 372 dan pasal 374 sebagai dakwaan.
“Yang saat ini baru pasal 372 dan 374 KUHP, yang lainnya masih belum sampai ke JPU,” kata Syarif kepada wartawan, Selasa (15/11).
Syarif menyebut, dua pasal dakwaan itu masih dalam penanganan penyidik di Bareskrim Polri. Kedua dakwaan akan menjadi tuntutan terpisah dalam persidangan dengan syarat, apabila polisi dapat mengumpulkan berkasnya secara lengkap.
“Masih tahap penyidikan. Iya (perkara terpisah) kalau berkasnya lengkap,” ujar Syarif.
Sebagai informasi, JPU menyampaikan dakwaan dalam persidangan penyelewengan dana santunan korban jatuhnya pesawat Lion Air 610 Boeing 737 Max 8. Dakwaan diberikan pada tiga orang terdakwa, yakni Ibnu Khajar, Ahyudin, dan Hariyana.
Jaksa mengatakan, Ahyudin bersama Hariyana dan Ibnu Khajar mengetahui penggunaan dana BCIF harus sesuai dengan peruntukannya sebagaimana tertulis dalam Protocol BCIF April 2020. Pada kenyataannya tetap memproses pengajuan dan pencairan dana pembangunan fasilitas pendidikan program implementasi Boeing tersebut sekalipun mengetahui nilai RAB yang disetujui oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) jauh di bawah nilai proposal yang diajukan dan yang diterima oleh ACT dari pihak Boeing.
“Ditemukan bahwa dari jumlah uang sebesar Rp 138,5 miliar dana BCIF yang diterima oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari boeing tersebut, yang benar-benar digunakan untuk implementasi kegiatan Boeing adalah hanyalah sejumlah Rp 20,5 miliar,” kata jaksa dalam dakwaan, Selasa (15/11).
Jaksa menyebut, nilai puluhan miliar itu terinci dalam pembayaran proyek boeing sesuai PKS dengan nilai Rp18,1 miliar, pembayaran proyek boeing atas nama Lilis Uswatun senilai Rp2,3 miliar, dan pembayaran proyek boeing atas nama Francisco senilai Rp500 juta.
Sedangkan, sisa dana BCIF tersebut digunakan oleh Ahyudin bersama-sama dengan Ibnu Khajar dan Hariyana tidak sesuai dengan implementasi Boeing. Namun, malah digunakan bukan untuk kepentingan pembangunan fasilitas sosial sebagaimana yang ditentukan dalam Protocol BCIF adalah sebesar Rp117,9 miliar.
Secara rinci, pembayaran tersebut adalah gaji dan THR karyawan serta relawan dengan nilai Rp33,2 miliar, pembayaran ke PT Agro Wakaf Corpora senilai Rp14 miliar, pembayaran ke Yayasan Global Qurban sejumlah Rp11,4 miliar, dan terbesar keempat adalah pembayaran ke Koperasi Syariah 212 dengan jumlah Rp10 miliar.
“Tidak teridentifikasi senilai Rp1,1 miliar,” ujarnya.
Ahyudin memberikan instruksi melalui chat/panggilan whatsapp maupun lisan kepada Hariyana, untuk proses pencairan dana di luar implementasi dana Boeing tersebut. Hal itu dilakukan juga sepengetahuan Ibnu Khajar selaku Presiden ACT.
“Padahal mereka mengetahui bahwa dana BCIF tersebut tidak boleh digunakan untuk peruntukan lain selain untuk kegiatan implementasi Boeing,” ucapnya.
Para terdakwa diancam pidana dalam Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.