Jalan baiat dan asa pulang pengungsi Sampang
Sejak wacana baiat mengemuka di kalangan penghuni Rumah Susun (Rusun) Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, hidup Rohman tak tenang. Meski pernah menjadi seorang Suni, tak mudah baginya untuk melepaskan keyakinan sebagai seorang Syiah. Apalagi, sudah banyak yang ia korbankan demi memeluk Syiah.
Di tengah pergulatan batin yang panjang itu, ia kemudian terkenang riwayat Hasan bin Ali. Hasan ialah cucu Nabi Muhammad yang rela menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah demi menghentikan pertikaian dan pertumpahan darah di kalangan umat Muslim.
"Saya mencontoh Imam Hasan dalam masalah ini. Saya melihat Imam Hasan kan waktu dulu agar umat enggak bertengkar dan cekcok terus akhirnya ia memilih baiat ke Muawiyah," ujar Rohman kepada Alinea.id, Rabu (11/11).
Hasan Ali diangkat menjadi khalifah pada 17 Mei tahun 660 Masehi, selepas ayahnya, Ali bin Abu Thalib, tewas dibunuh. Namun, Muawiyah menolak mengakui Khalifah Hasan. Perang sempat berkecamuk. Hasan memutuskan berdamai setelah dikhianati oleh komandan pasukannya sendiri.
"Imam Hasan ini kan berbaiat ke Mauwiah ini demi umat biar enggak cekcok terus. Saya pun demikian. Saya kemarin baru aja dibaiat ke Suni sama (pengungsi) yang lain," kata Rohman.
Rohman sudah sekitar delapan tahun menghuni Rusun Puspa Agro. Sehari-hari, ia bekerja sebagai buruh di sebuah pasar tradisional di Sidoarjo. Sebelum direlokasi secara paksa ke rusun itu, Rohman tinggal di Desa Blu'uran, Kecamatang Karangpenang, Sampang, Madura.
Rohman dan kawan-kawannya terusir dari kampung halamannya setelah permukiman warga Syiah jadi sasaran serangan warga pada 2011-2012. Di Rusun Puspa Agro, ada sekitar 300 pengungsi Syiah asal Sampang. Mereka umumnya adalah pengikut Tajul Muluk.
Seperti Rohman, Tajul juga tinggal di rusun itu usai bebas dari penjara pada 2014. Tajul dibui lantaran dianggap melecehkan Islam saat menyebarluaskan ajaran Syiah. Namun demikian, Tajul menolak diwawancara dan meminta Rohman mewakilinya.
Rohman menuturkan tak mudah tinggal jauh dari kampung halaman. Apalagi, para pengikut Tajul hingga kini masih "dilarang" menginjakkan kaki di tanah Madura. Di lain sisi, kerabat mereka di kampung juga terus dikucilkan.
"Karena kalau begini terus, mau sampai kapan? Kapan ada perdamaian antara kami dan mereka? Kapan damai sesama Muslim? Kalau kayak gini terus, tidak ada titik temu. Gimana lagi? Ya, jalan (baiat) ini yang kami pilih," ujar dia.
Total sudah 274 pengungsi Syiah di rusun itu yang dibaiat menjadi Suni sejak 5 November lalu. Pembaiatan digelar di Pendopo Trunojoyo, Sampang dan disaksikan perwakilan pemerintah daerah, para ulama, serta utusan dari Kantor Staf Presiden (KSP).
Dengan tuntasnya proses pembaiatan itu, Rohman berharap, para pengungsi bisa kembali ke kampung halaman. "Soalnya, kalau Syiah lain kan enggak mengalami kayak kami, enggak ada yang ditekan. Saudara-saudara saya yang di sini hidupnya sulit. Seumpama saya begini terus, saya enggak ada amannya," kata dia.
Sentimen anti-Syiah masih kuat
Sekretaris Utama DPW Ahlulbait Indonesia (ABI) Muhammad Muadz mengatakan memaklumi keputusan pengungsi Sampang di Sidoarjo menerima baiat. Menurut dia, para pengungsi sudah mulai jenuh dan ingin segera pulang ke kampung halaman.
"Perpindahan ke pengungsian itu tidak terlalu mengagetkan buat mereka dari sisi finansial. Tapi, dari sisi sosial, jelas bahwa bagi siapa pun hidup di pengungsian itu ada banyak tekanan," kata dia kepada Alinea.id, Sabtu (14/11).
Menurut Muadz, para pengungsi rata-rata telah memiliki pekerjaan di sektor informal. Sebagian besar pengungsi bekerja sebagai pengupas kelapa dan berjualan satai. Bantuan dari pemerintah juga mulai mengalir secara rutin sejak 2015. "Setiap kepala keluarga itu mendapat Rp709.000," jelas Muadz.
Soal baiat yang terkesan tiba-tiba, Muadz mengaku tidak kaget. Ia mengatakan, wacana baiat sudah lama dikemukakan elite-elite lokal di Sampang bagi pengungsi Syiah di Sidoarjo yang ingin pulang. Wacana itu kian "berwujud" di kalangan para pengikut Tajul Muluk, April lalu.
Ketika itu, kata Muadz, Tajul Muluk menghentikan kerja sama advokasi dengan ABI tanpa alasan yang jelas. "Ya, cukup sampai di sini saja. Kita (pengungsi Sampang) akan coba jalan sendiri. Itu terucap di April 2020," ujarnya menirukan pernyataan Tajul.
Muadz mengatakan pembaiatan seolah didesain menjadi satu-satunya jalan bagi pengungsi Syiah. Menurut dia, Pemkab Sampang dan pemerintah pusat tidak pernah serius berupaya merekonsiliasi para pengungsi Syiah dan warga Sampang.
"Kami ke KSP sebelum pandemi. Lagi-lagi pemerintah tidak bisa menjelaskan secara gamblang model penyelesaian seperti apa yang coba diupayakan. Akhirnya kami mengajukan tuntutan untuk menyegerakan pemulangan. Tapi, itu hanya direspons normatif oleh KSP," ujar Muadz.
Meski menghormati pilihan para pengungsi, Muadz mewanti-wanti Tajul dan kawan-kawan. Pasalnya, hingga kini belum ada jaminan dari pemerintah yang menyatakan pengungsi eks Syiah diperkenankan pulang. Selain itu, resistensi terhadap kaum Syiah juga masih kuat.
Ia mencontohkan kasus penolakan pemakaman jenazah anak pengikut Tajul di Sampang yang terjadi hanya beberapa hari sebelum pembaiatan. "Catatan saya, itu bukan kejadian yang pertama. Setidaknya itu kejadian yang keenam. Sebelumnya sudah ada lima jenazah yang ditolak untuk dimakamkan di kampung," ujar Muadz.
Anggota Dewan Syura ABI Abdullah Beik membenarkan organisasinya putus hubungan dengan kelompok Tajul Muluk sejak Maret. Keputusan konversi ke Suni yang diambil para pengungsi pun tidak pernah didiskusikan dengan ABI.
"Mereka memang dikatakan tidak berhubungan lagi dengan ABI. Baiat itu tanpa koordinasi dengan ABI," kata Abdullah saat dihubungi Alinea.id, Selasa (17/11).
Lebih jauh, Abdullah mengaku heran pembaiatan semacam itu bisa terjadi. Menurut dia, pembaiatan hanya dilakukan terhadap mereka yang pindah agama atau keyakinan.
"Kalau cuma berpindah dari satu mahzab ke mazhab yang lain, di dalam Islam, itu tidak pernah saya tahu ada yang namanya pembaiatan. Toh, semua hak dan kewajiban masih sama. Tidak ada yang membedakan," ujar dia.
Abdullah juga mengkritik proses pembaiatan yang disaksikan perwakilan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sampang dan KSP. Menurut dia, kehadiran mereka menunjukkan negara tidak berpihak kepada kelompok-kelompok minoritas.
"Sehingga betul-betul pemerintah turut ikut campur dalam hal yang seharusnya tidak ikut campur. Di sisi lain, ini menunjukkan ketidakberhasilan menciptakan jiwa toleransi, jiwa hidup bersama. Bukannya kita bangga dengan bhineka tunggal ika?" cetus dia.
Hak pengungsi Sampang harus dipenuhi
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan menduga pembaiatan bukan murni keinginan para pengungsi asal Sampang. Menurut dia, opsi pembaiatan dipilih karena dipengaruhi tekanan psikologis yang dialami para pengungsi selama bertahun-tahun.
"Intimidasi terus-menerus yang membuat orang-orang ini kehilangan harapan untuk bisa kembali ke apa yang mereka selama ini punya di Sampang dalam keadaan tetap sebagai Syiah," kata Halili kepada Alinea.id, Minggu (15/11).
Menurut Halili, pembaiatan para pengungsi Sampang merupakan bentuk kegagalan negara dalam melindungi hak sipil warga negaranya. Ia menegaskan pembaiatan tidak akan terjadi jika pemerintah sejak awal serius menuntaskan konflik Syiah-Suni di Sampang.
"Banyak kesaksian yang mengatakan bahwa serangan itu (terhadap kaum Syiah pada 2011 dan 2012) bukan oleh masyarakat sekitar, tetapi sekelompok orang yang memang dimobilisasi untuk melakukan serangan. Artinya, ini kerjaan kelompok-kelompok intoleran," kata Halili.
Lebih jauh, Halili meminta pemerintah tidak melupakan hak-hak pengungsi Syiah yang tetap bertahan dengan keyakinan mereka. "Menurut saya, (pembaiatan sebagian besar pengungsi) potensial memperburuk ancaman, kerentanan kepada mereka yang memilih untuk tetap tinggal," katanya.
Tenaga Ahli Utama Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM KSP Rumadi Ahmad mengakui pembaiatan tidak akan memuaskan semua pihak dan potensial menghadirkan preseden buruk dalam penyelesaian konflik agama. Namun demikian, ia berharap pembaiatan pengungsi Syiah membuka jalan bagi proses rekonsiliasi.
"Perlu dipahami bahwa konflik semacam ini tidak mudah untuk diselesaikan. Ini sangat-sangat sulit untuk diselesaikan. Proses ini sangat panjang dan berdarah-darah," ujar dia kepada Alinea.id, Kamis (12/11).
Kepada Tajul Muluk dan pengikutnya, Rumadi menyarankan agar mereka menjalin komunikasi dengan warga dan kelompok ulama di Sampang. "Tapi, ini harus pelan-pelan agar proses rekonsiliasi yang sudah terbuka berjalan secara natural," ujarnya.
Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Arif Nur Fikri menegaskan negara tidak boleh lepas tangan usai pembaiatan. Hak-hak pengungsi juga harus dipulihkan.
"Oke, misalnya, sudah dibaiat terus boleh pulang. Akan tetapi, bagaimana kondisi piskologis warga? Jadi, bukan hanya dia pindah keyakinan dan masalah selesai. Jadi, itu (pemulihan hak) menjadi tanggung jawab negara," katanya.