Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjegal mantan koruptor yang ingin berlaga dalam perhelatan calon legislatif (caleg) dalam Pemilu tahun 2019, tidak berjalan mulus. Banyak tantangan yang dihadapi dari berbagai pihak baik dari partai politik bahkan yang berasal dari pemerintah.
KPU beralasan melarang korutor berlaga di Pemilu bagian dari upaya perbaikan kualitas pemilu agar terbebas dari mantan koruptor. Alasan tersebut didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menilai bahwa larangan koruptor menjadi caleg dapat mendorong efek positif bagi pembangunan politik Indonesia yang lebih bersih dan bebas korupsi.
Dukungan KPK lain terkait kewajiban para caleg untuk menyerahkan LHKPN sebelum pemungutan suaranya berlangsung pada tanggal 17 April 2019. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mendukung penjegalan koruptor menjadi pimpinan daerah.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz menilai, terjadi ketimpangan yang terjadi dalam sistem demokrasi saat ini. Sebab, lembaga penyelenggara pemilu selalu ingin memperbaiki kualitas begitu juga dengan pemerintah yang selalu berusaha untuk memperbaiki dan memperkuat lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.
Sayang, pada level Partai Politik tidak kunjung dilakukannya perbaikan. Apalagi, pemerintah juga tidak secara tegas mengaturnya.
"Selama 10 tahun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden tidak pernah berbicara mengenai tata kelola partai. Begitu juga pada era Presiden Joko Widodo yang selama 3,5 tahun sangat menghindar berbicara tata kelola partai politik," Fariz pada Sabtu (5/5).
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menambahkan, bagi partai politik duet wacana antara KPU dan KPK yang berusaha menjegal para mantan koruptor tersebut malah dianggap berlebihan dari beberapa kelompok. Kewajiban menyerahkan LHKPN juga dinilai tidak relevan, karena tidak semua calon legislatif adalah pejabat negara.
"Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus menjadi upaya bersama-sama. Termasuk dalam rekrutmen penyelenggara negara, melalui pemilu 2019," tukas Kaka.
Kaka juga menghimbau agar larangan caleg mantan koruptor berlaga harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Selain itu, upaya untuk pencegahan korupsi dengan melarang mantan koruptor menjadi calon legislatif harus menjadi tugas parpol, untuk menghadirkan representasi partai politik yang bersih di pemerintahan dan parlemen.
Sementara posisi pemerintah harus menjadi bagian yang terdepan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Caranya dengan ikut serta mencari jalan keluar dari kebuntuan regulasi untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Seperti diketahui, regulasi UU nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum memang tidak mengatur secara spesifik diperbolehkannya calon legistatif berlaga pada Pemilu. Sehingga, aturan yang melarang para terpidana koruptor dianggap tidak memiliki dasar hukum.