Jalan panjang legalisasi ganja di Indonesia
Baru-baru ini, Korea Selatan menjadi negara pertama di Asia Timur yang melegalkan ganja sebagai kebutuhan medis. Mereka melakukan amandemen Undang-Undang Manajemen Obat Narkotika, yang bakal memperluas kesempatan untuk pengobatan penyakit langka dan tak bisa disembuhkan, terutama untuk epilepsi.
Sebelum Korea Selatan, sudah ada sejumlah negara yang mengambil kebijakan legalisasi ganja. Sebut saja Uruguay, Chile, Belgia, Inggris, Spanyol, Kanada, serta beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Di kawasan ASEAN, Thailand dan Malaysia pun disebut-sebut tengah menimbang legalisasi ganja di negara mereka. Setidaknya, ada tiga kepentingan negara-negara yang melegalkan ganja, yakni untuk kebutuhan medis, rekreasi, dan penggabungan keduanya.
Narkotika golongan I
Tanaman berdaun khas mirip jari ini di Indonesia masih ilegal. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017, menurut Deputi Pencegahan Narkotika BNN Ali Johardi, permintaan ganja sangat tinggi. Ali mengatakan, ganja merupakan pintu gerbang bagi para pengguna untuk mencoba jenis narkotika lainnya.
“Hasil sitaan ganja dari BNN dan Polri di atas 2 ton per tahun. Artinya, pasokan dan permintaan masih cukup tinggi,” ujar Ali, saat dihubungi, Jumat (7/12).
Ali mengatakan, BNN sudah melakukan berbagai upaya pengendalian serta pemberantasan di berbagai daerah yang menjadi lumbung ganja terbesar. Misalnya saja di Aceh, BNN melakukan pendekatan dengan para petani.
“Kepala BNN sekarang ada kebijakan alternative development di Aceh untuk mengganti tanaman ganja ke tanaman lain yang bisa menghasilkan nilai tambah. Kita ajak petani di Gayo atau Aceh Tengah untuk menanam kopi, serta di Bireun untuk menanam padi,” kata dia.
Meski demikian, kata Ali, upaya tersebut tidak mudah. Butuh kerja sama dari berbagai pihak untuk menegakkan hukum, serta mengedukasi kelompok masyarakat tentang ganja.
Saat ini, lanjut Ali, ganja ditanam bukan hanya di Aceh. Tanaman ini sudah menyebar di Kalimantan hingga Papua. Jika tidak dikendalikan, maka penyebaran dan penyalahgunaan ganja bisa semakin menjalar.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Analis Kebijakan Narkotika Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Yohan Misero mengatakan, ganja masuk ke dalam jenis narkotika golongan I, menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Namun, sayangnya, kata Yohan, regulasi ini disusun tak ada pondasi studi ilmiah menyoal jenis-jenis narkotika, termasuk ganja.
“Memasukkan ganja sebagai jenis narkotika golongan I, itu keliru,” kata Yohan, saat dihubungi, Jumat (7/12).
Yohan menuturkan, dua tahun lalu pihaknya sudah mengirimkan surat ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk meminta penjelasan atau publikasi soal alasan penggolongan ganja masuk narkotika golongan I.
“Namun, sampai saat ini tidak ada jawaban,” kata dia.
Yohan juga berpendapat, orang menggunakan narkotika dengan berbagai alasan sesungguhnya tak perlu dipenjara.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111 ayat 1 disebutkan, “orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.”
“Padahal regulasi ini keliru, karena mengkonsumsi ganja adalah pilihan pribadi dan dalam tujuan tertentu,” ujarnya.
Baru-baru ini, Korea Selatan menjadi negara pertama di Asia Timur yang melegalkan ganja sebagai kebutuhan medis. Mereka melakukan amandemen Undang-Undang Manajemen Obat Narkotika, yang bakal memperluas kesempatan untuk pengobatan penyakit langka dan tak bisa disembuhkan, terutama untuk epilepsi.
Sebelum Korea Selatan, sudah ada sejumlah negara yang mengambil kebijakan legalisasi ganja. Sebut saja Uruguay, Chile, Belgia, Inggris, Spanyol, Kanada, serta beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Di kawasan ASEAN, Thailand dan Malaysia pun disebut-sebut tengah menimbang legalisasi ganja di negara mereka. Setidaknya, ada tiga kepentingan negara-negara yang melegalkan ganja, yakni untuk kebutuhan medis, rekreasi, dan penggabungan keduanya.
Narkotika golongan I
Tanaman berdaun khas mirip jari ini di Indonesia masih ilegal. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017, menurut Deputi Pencegahan Narkotika BNN Ali Johardi, permintaan ganja sangat tinggi. Ali mengatakan, ganja merupakan pintu gerbang bagi para pengguna untuk mencoba jenis narkotika lainnya.
“Hasil sitaan ganja dari BNN dan Polri di atas 2 ton per tahun. Artinya, pasokan dan permintaan masih cukup tinggi,” ujar Ali, saat dihubungi, Jumat (7/12).
Ali mengatakan, BNN sudah melakukan berbagai upaya pengendalian serta pemberantasan di berbagai daerah yang menjadi lumbung ganja terbesar. Misalnya saja di Aceh, BNN melakukan pendekatan dengan para petani.
“Kepala BNN sekarang ada kebijakan alternative development di Aceh untuk mengganti tanaman ganja ke tanaman lain yang bisa menghasilkan nilai tambah. Kita ajak petani di Gayo atau Aceh Tengah untuk menanam kopi, serta di Bireun untuk menanam padi,” kata dia.
Meski demikian, kata Ali, upaya tersebut tidak mudah. Butuh kerja sama dari berbagai pihak untuk menegakkan hukum, serta mengedukasi kelompok masyarakat tentang ganja.
Saat ini, lanjut Ali, ganja ditanam bukan hanya di Aceh. Tanaman ini sudah menyebar di Kalimantan hingga Papua. Jika tidak dikendalikan, maka penyebaran dan penyalahgunaan ganja bisa semakin menjalar.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Analis Kebijakan Narkotika Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Yohan Misero mengatakan, ganja masuk ke dalam jenis narkotika golongan I, menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Namun, sayangnya, kata Yohan, regulasi ini disusun tak ada pondasi studi ilmiah menyoal jenis-jenis narkotika, termasuk ganja.
“Memasukkan ganja sebagai jenis narkotika golongan I, itu keliru,” kata Yohan, saat dihubungi, Jumat (7/12).
Yohan menuturkan, dua tahun lalu pihaknya sudah mengirimkan surat ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk meminta penjelasan atau publikasi soal alasan penggolongan ganja masuk narkotika golongan I.
“Namun, sampai saat ini tidak ada jawaban,” kata dia.
Yohan juga berpendapat, orang menggunakan narkotika dengan berbagai alasan sesungguhnya tak perlu dipenjara.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111 ayat 1 disebutkan, “orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.”
“Padahal regulasi ini keliru, karena mengkonsumsi ganja adalah pilihan pribadi dan dalam tujuan tertentu,” ujarnya.
Makanan hingga bangunan
Kisah menarik disampaikan Sekretaris Jenderal Lingkar Ganja Nasional (LGN)—sebuah komunitas yang mengadvokasi dan mengedukasi tanaman ganja—Atsaka Robbyka, kala dia mengunjungi Kamboja.
Pria yang akrab disapa Robay ini mengungkapkan, dia melihat ganja diperjualbelikan secara bebas di pinggiran jalan.
“Mereka jual pizza dengan taburan ganja,” kata Robay saat ditemui di Kebun Kumara, Cirendeu, Tangerang Selatan, pekan lalu.
Makanan itu disebut Happy Pizza. Di Kamboja sendiri, menurut Robay, konsumsi ganja sebenarnya termasuk ilegal. Orang-orang yang menikmati Happy Pizza akan dilindungi selama mereka mengkonsumsinya di dalam restoran.
Menariknya, Robay melihat pula petapa yang memanfaatkan ganja untuk aktivitas spiritual.
“Mereka bilang, ganja bisa membawa spiritual mereka ke Tuhan,” ujar Robay.
Sementara itu, Ketua LGN Dhira Narayana mengatakan, semua bagian tanaman ganja bisa dimanfaatkan. Tak ada yang mubazir.
“Ganja itu semuanya bisa dimanfaatkan, dari akar hingga bunganya,” kata Dhira, ditemui pekan lalu.
Menurut dia, akar tanaman ganja bisa jadi bahan campuran fiber. Untuk ginseng pun bisa. Batangnya, kata Dhira, bisa pula dimanfaatkan menjadi bahan bangunan.
Serat ganja bisa diolah menjadi produk-produk fesyen, seperti sepatu, kemeja, kaus, tas, dan dompet. Dhira kemudian menunjukkan sebuah dompet, yang terbuat dari serat ganja. Dompet dari serat ganja itu berwarna putih, dianyam, dan diproduksi di Nepal.
Dhira melanjutkan, di Ambon pernah ada sebuah buku yang membahas manfaat ganja di masa silam. Penggunaan ganja sebagai rekreasi dan medis di Ambon itu merujuk pada penelitian yang dilakukan ahli botani Jerman-Belanda, G.E. Rumphius. Bukunya berjudul Herbarium Amboinense, terbit pada 1741.
Menurut Dania Putri dan Tom Blickman, dalam laporan riset mereka berjudul Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan (2016), orang Ambon mendapatkan biji ganja dari Pulau Jawa.
“Di wilayah itu, akar ganja dikonsumsi untuk mengobati gonorea (kencing nanah). Bagian daunnya, terkadang dicampur dengan pala dan diseduh sebagai teh untuk tujuan mengurangi gangguan asma, nyeri dada pleuritik (inveksi virus), dan sekresi empedu,” tulis Putri dan Blickman.
Robay sendiri tak menyarankan penggunaan ganja dengan diisap, karena kurang baik dan efeknya langsung ke paru-paru.
“Takutnya kan ada permasalahan juga di paru-parunya. Sebenarnya salah satu bentuk penyalahgunaannya itu diisap. Tidak boleh itu,” kata Robay.
Berbeda pendapat, Ali menegaskan, ganja tak memiliki manfaat untuk pengobatan maupun ilmu pengetahuan. Menurutnya, selama ini para pengguna, penyimpan, dan pengedar ganja juga diganjar sesuai undang-undang yang berlaku.
Ali melanjutkan, hasil dari pemberantasan dan penelitian ganja, para pengguna ganja diserang otaknya.
“Hasilnya mengalami kebodohan permanen,” ujar Ali.
Sedangkan Yohan menilai, belum pernah ada penelitian ilmiah yang menyebutkan dampak ganja yang bisa merusak fisik maupun psikis penggunanya.
Ganja untuk medis
Negara-negara yang melegalkan ganja, mayoritas diperuntukkan sebagai medis. Dari 46 negara bagian di Amerika Serikat, 36 di antaranya memanfaatkan ganja sebagai kebutuhan dalam dunia pengobatan.
Pada Desember 2017 lalu, Paraguay meloloskan legalisasi ganja untuk keperluan medis, mengikuti sejumlah negara Amerika Latin lainnya, seperti Peru, Chile, Argentina, Kolombia, dan Uruguay.
Per 1 November 2018, Inggris sudah mengizinkan warganya memperoleh obat berbasis ganja melalui resep. Di Kanada, yang kini sudah melegalkan ganja untuk medis dan nonmedis, bahkan sudah melegalkan mariyuana untuk medis sejak 2001.
“Dalam ganja itu sendiri ada komponen yang namanya tetra hydro-cannabinol (THC) dan (CBD),” kata Dokter Ahli Adiksi Yayasan Gagas, Bambang Eka, saat dihubungi, Selasa (4/12).
Menurut World Health Organization (WHO), CBD bisa dimanfaatkan untuk mengobati penyakit. Bambang mengatakan, ada banyak penyakit yang bisa diobati oleh ganja, misalnya diabetes, parkinson, dan kanker.
“Zaman dahulu, daun ganja juga digunakan untuk mengobati mual ibu-ibu hamil di trimester pertama,” ujar Bambang.
Dalam laporan penelitian berjudul Regulation of nausea and vomiting by cannabinoids (2010), Linda A Parker, Erin M Rock, dan Cheryl L Limebeer menulis, CBD yang terkandung dalam ganja bisa dimanfaatkan mengatasi rasa mual dan muntah pasien kanker, usai kemoterapi. Penelitian itu menyebutkan, ganja bisa mengurangi muntah akut hingga 70%.
Bambang yakin, rokok lebih bahaya ketimbang ganja. Sebab, menurut dia, ganja termasuk jenis tanaman, bukan obat-obatan sintetis.
Tanaman yang dalam bahasa Latin disebut Cannabis sativa syn. Cannabis indica ini, kata Bambang, bisa merangsang otak manusia untuk melepaskan empat zat: endorphin, serotonin, oksitosin, dan dopamin. Ganja hanya merangsang pengeluaran keempat zat tersebut beberapa kali lipat saja.
“Sementara, penggunaan narkoba sintetis akan merangsang keempat zat tersebut 200 kali lipat. Itu berbahaya,” katanya.
Namun, Ali membantah anggapan, bila efek yang dihasilkan dari memakai ganja cukup ringan dibandingkan jenis narkotika lainnya.
Dari kacamata ekonomi, Yohan menilai, potensi pasar ganja sebagai medis sangat bagus. Dia melihat, bila Indonesia tak segera melakukan legalisasi ganja untuk medis, maka akan kehilangan potensi market itu.
“Sekarang saja sudah banyak masyarakat Indonesia yang pergi berobat ke Singapura, Malaysia, sampai Australia, karena industri medis kita lambat berkembang,” kata Yohan.
Ditanya soal penggunaan ganja untuk medis, Ali mengatakan, hal tersebut butuh payung hukum yang baru. Pemerintah, kata dia, membuka peluang bagi institusi yang ingin melakukan penelitian ilmiah mengenai ganja dan manfaatnya. Jika ganja terbukti memiliki nilai guna yang positif, baru bisa direkomendasikan untuk dibuatkan regulasi pemanfaatannya.
“Ini perlu proakatif. Kami kerja sama dengan Kemenkes duduk bersama membicarakan penelitian dan cara seperti apa yang mau dilakukan, serta rujukan apa yang akan dibuat,” ujar Ali.
Riset terhalang restu
Namun, BNN selama ini tak merestui penelitian tentang ganja. Hal itu diakui Robay. Sudah sejak tiga tahun lalu, LGN melalui Yayasan Sativa Nusantara (YSN) telah melayangkan proposal riset untuk menyelami lebih jauh manfaat ganja.
Direktur Eksekutif YSN Inang Winarso mengatakan, riset pada 2015 itu merupakan usaha untuk melihat manfaat ganja sebagai obat diabetes.
“Yang diteliti akar, bunga, dan bijinya,” ujar Inang, saat dihubungi, Kamis (22/11).
Inang menyebutkan, penggunaan ganja sebagai medis tak terbatas pada satu varietas saja. Seluruh varietas, mulai dari Cannabis sativa, Cannabis indica, dan Cannabis ruderalis, dapat dimanfaatkan sebagai obat.
Sesungguhnya, Kemenkes sudah merestui penelitian ini pada 30 Januari 2015. Lantas, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek mengeluarkan surat keputusan pada 23 Maret 2015, yang memberikan izin penelitian menggunakan tanaman papaver, ganja, dan koka.
Akan tetapi, penelitian itu terbentur, karena BNN tak kunjung memberikan pintu. LGN tak menyerah. Mereka kembali mengajukan proposal tahun ini ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes, untuk meriset ganja sebagai medis.
“Baru minggu lalu izinnya turun lagi,” kata Robay, sembari menunjukkan fotokopi dari Kemenkes, yang sudah diterimanya sejak 2015. “Surat ini tak punya kadaluwarsa.”
Robay mengatakan, kali ini penelitian akan dipimpin Musyri Musman, seorang profesor dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Tim penelitinya, tinggal menunggu respons dan bahan baku dari BNN. Sedangkan metodenya sudah disiapkan.
“Yang menghambat penelitian itu tinggal bahan baku dari BNN. BNN punya berton-ton ganja, kalau dibakar kan tidak jelas,” ujarnya.
Menurut Bambang, penggunaan ganja di Indonesia belum ada panduannya. Yang ada, lanjut Bambang, hanya surat edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2010, yang mengatur pemakaian ganja satu hari sebesar 5 gram direhabilitasi, tidak dipidana.
Bambang memiliki pandangan, legalisasi ganja sebagai pengobatan dapat meningkatkan devisa negara. Sebab, kata dia, jika ganja tetap ilegal, negara pula yang merugi.
Meski manfaatnya banyak, Yohan mengatakan, legalisasi ganja juga harus disiapkan dengan matang. Perlu regulasi khusus bila ganja dilegalkan, dalam sisi konsumsi, distribusi, maupun produksi.
Legalisasi ganja di berbagai negara, menurut Yohan, juga didorong teknologi, regulasi, penelitian, serta industri yang canggih. Selain itu, gerakan masyarakat di negara-negara itupun sudah sadar pentingnya ganja untuk dunia kesehatan, bukan lagi hanya sekadar rekreasi.
“Tahun depan Thailand dan Vietnam sudah menyusun proposal pelegalan ganja untuk medis. Di Spanyol di beberapa negara bagian, ada Cannabis Club. Kumpulan orang tersebut bisa menanam hingga 100 tanaman ganja,” kata dia.
Menyinggung legalisasi ganja di berbagai negara, Ali mengatakan, Indonesia tidak bisa serta merta mengadopsi pengalaman yang sudah terjadi di negara lain. Menurutnya, legalisasi ganja di negara lain dilakukan dengan tujuan tertentu.
Selain itu, kata Ali, kualitas ganja di Indonesia, terutama Aceh, berbeda dengan di negara lain. Zat tetrahydrocannabinol (THC) yang terkandung dalam ganja Aceh lebih tinggi dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan negara lain, seperti Myanmar dan Maroko.
“Makanya kita menyatakan ganja sebagai narkotika golongan I. Karena dunia pun sudah mengakui kalau ganja di Aceh itu the best quality in the world. Efeknya bisa menyerang syaraf otak,” kata dia.
Yohan menilai, bila ganja dilegalkan, mesti ada undang-undang yang spesifik tentang ganja. Misalnya, pembatasan jumlah tanaman ganja. Selain itu, kalau diperjualbelikan secara legal, tetap harus ada yang mengatur. Misalnya, lembaga atau badan usaha milik negara.
Legalisasi ganja di negeri ini barangkali masih cukup panjang untuk direalisasikan. Meski demikian, kiranya perlu keterbukaan pemangku kepentingan, untuk membuka pintu lebar-lebar terkait penelitian tentang manfaat ganja.
Sebab, bukan tidak mungkin, kalimat ini benar: “Tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia, termasuk ganja.”