close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan, korban tragedi Semanggi di aksi kamisan ke-538 di depan Istana Negara./Alinea, Saumi
icon caption
Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan, korban tragedi Semanggi di aksi kamisan ke-538 di depan Istana Negara./Alinea, Saumi
Nasional
Sabtu, 19 Mei 2018 15:08

Jalan panjang Sumarsih setelah 20 tahun reformasi

Reformasi tidak bisa diukur dengan kata Amien Rais yang bilang, kalau reformasi itu buahnya pembangunan Gedung DPR.
swipe

Langit pada Kamis sore di Jakarta berawan, Maria Katarina Sumarsih masih setia berdiri di depan Istana Presiden Kamis pekan lalu. Setiap Kamis sore, sejak 18 Januari 2007 ia berdiri diam di depan istana negara mengenakan pakaian serba hitam dan membawa payung hitam, tak peduli cuaca sedang terik atau hujan. 

Perempuan yang akrab disapa Sumarsih ini tidak berdiri sendirian. Ia ditemani oleh puluhan muda-mudi berpakaian hitam-hitam yang antusias dengan aksi hari itu.

Sumarsih menjelaskan kepada reporter Alinea.id, jika aksi yang digelar saban Kamis sore itu awalnya bernama Aksi Diam. Namun pada kemudian hari, masyarakat mengenal aksi ini sebagai Aksi Kamisan, sedangkan orang di sekitar Istana Negara menyebutnya Aksi Payung Hitam.

Sumarsih masih mengingat rasa takut yang ia rasakan pada tahun 1998. Pada tahun itu, ia dan keluarga kecilnya yang masih lengkap selalu menikmati santap makan malam bersama sembari mengobrol di meja makan. 

Setiap malam, kenang Sumarsih di meja makan selalu dibuka dengan obrolan kegiatan masing-masing anggota keluarganya pada hari itu. Ada juga terselip perjuangan para mahasiswa, situasi politik yang sedang memanas. Penutupnya, Sumarsih selalu bertanya kepada anggota keluarganya "Besok mau dimasakin apa?" kenang wanita paruh baya ini. 

Masih segar pula dalam ingatan Sumarsih, bagaimana Reformasi mengubah jalan hidupnya. Benardinus Realino Norma Irawan, anak laki-laki Sumarsih yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa Universitas Atmajaya harus meregang nyawanya. Peluru tajam menghujam dada sebelah kiri Wawan yang saat itu tengah menolong temannya yang tertembak.

Sumarsih yang kala itu bekerja di Sekretariat Jenderal DPR RI merasa terkhianati oleh negara. Ia yang selama itu rajin mengabdikan dirinya, harus menerima kenyataan jika anaknya ditembak mati oleh negara.

“Bu, di kampus-kampus sekarang ada intelnya bu. Kata temen Wawan (anak laki-laki Sumarsih). Wawan masuk daftar blacklist, ada di nomor pertama yang akan dihabisi,” ujar Sumarsih dengan pahit.

Ia juga mengenang kala anak laki-lakinya itu pernah meminta kuliah di luar negeri akibat kabar itu. Namun, permintaannya ditolak dengan alasan biaya. 

Tak lama kemudian, temannya mengabari Wawan kalau namanya sudah hilang dari daftar blacklist. Sumarsih lega dan menasehati Wawan agar berhenti berorganisasi dan cepat lulus kuliah.

Reformasi gagal

Sesaat setelah Presiden Soeharto lengser, bagi Sumarsih pergantian presiden ke B.J. Habibie bukanlah jawaban atas reformasi. Justru rasa takut dan cemas makin menghantui, apalagi saat itu Kampus Trisakti diberondong tembakan setiap hari. 

Setiap hari, kata Sumarsih selalu ada desingan suara tembakan di sekitar gedung DPR. Baginya saat Presiden Habibie yang menjadi presiden situasi makin tidak terkendali bahkan menelan banyak korban. Hingga kini, bagi ia reformasi sampai hari ini masih gagal. 

“Reformasi tidak bisa diukur dengan kata Amien Rais yang bilang kalau reformasi itu buahnya pembangunan Gedung DPR,” tuturnya. 

Bagi Sumarsih, reformasi gagal menjalankan enam amanat yang dituntut demonstran pada 1998. Nah, pada aksi kamisan ke-538 kali ini, bertepatan dengan 20 tahun reformasi pun Sumarsih menyebut adalah reformasi yang gagal. 

Dimana letak kegagalannya? Sumarsih merinci, pertama soal adili Soeharto dan kroni-kroninya, pengadilan tidak berhasil mengadili Soeharto dengan tuntas. Ia kecewa dengan kondisi saat ini dimana anak-anak Presiden Soeharto yakni Tommy Soeharto dan Siti Hardiyanti Rukmana mendapat panggung dengan mudah membangun partai baru yang lolos untuk ikut pemilu 2019. 

Kedua, penegakkan supremasi hukum dinilainya hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sebab masih maraknya kasus jual beli perkara.

Perempuan kelahiran Semarang ini juga mengungkapkan kekecewaannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengangkat jenderal lanjut usia seperti Wiranto sebagai Menkopolhukam. Keinginannya untuk menemui Presiden Jokowi pun sampai hari ini masih sebatas cita-cita, sekalipun terus berkirim surat tak pernah ada balasannya. 

Sampai pada Kamis ke-538 ini, Sumarsih telah mengirimkan sebanyak 168 surat kepada Presiden Jokowi setiap Kamis. Padahal kata Sumarsih, Visi Nisi Nawacita Jokowi menjanjikan keluarga korban kasus HAM masa lalu tuntas. Kasus yang dimaksud adalah: Tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Penghilangan paksa, Tanjung Priuk, Talang Sari hingga Tragedi 1965. 

Meski masih terus menelan rasa kecewa, terkhianati karena dalang dari kematian anaknya belum terungkap, Sunarsih masih memiliki harap dan optimis kasus tersebut bisa terungkap. Baginya, undang-undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM adalah kekuatan seorang ibu untuk memperjuangkan kebenaran. 

Sebagaimana diketahui, kasus-kasus pelanggaran HAM itu tidak pernah kadaluarsa. Selama dalam UUD 1945 Indonesia adalah negara hukum belum dihapus, Sunarsih masih memiliki harapan. 

Ia bahkan mengaku tidak takut mati. Baginya, mati adalah keuntungan. Maka selama sisa hidupnya, Sunarsih akan terus berjuang melanjutkan apa yang diperjuangkan anaknya. 

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan