close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi garam. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi garam. Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Rabu, 17 Agustus 2022 18:19

Polemik garam industri: Dirintis peneliti, terganjal instruksi menteri

Proyek rintisan pemurnian garam yang dikembangkan peneliti BPPT mangkrak sejak direksi PT Garam berganti.
swipe

Kepala Pusat Teknologi Sumber Daya Energi dan Industri Kimia Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hens Saputra gundah. Sejak 2021, proyek rintisan permunian garam rakyat yang ia "bangun" bersama koleganya di salah satu pabrik PT Garam di Manyar, Gresik, Jawa Timur, mangkrak. Teknologi pemurnian yang sudah susah payah diriset itu tak kunjung dipakai. 

"Kalau saya berpikir, itu hanya dalih mereka (PT Garam) karena enggak mau mengoperasikan saja. Tetapi, nyatanya perusahaan swasta lain banyak yang mau rebutan itu. Banyak yang mau sewa," kata Hens berbincang dengan Alinea.id, Minggu (14/8). 

Sebelum berkarier di BRIN, Hens salah satu periset senior industri kimia di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pada September 2021, BPPT dilebur ke BRIN sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN. 

"Sebelum melebur ke BRIN, BPPT ditunjuk sebagai koordinator PRN (program riset nasional) garam industri bersama KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), PT Garam, Kementerian Perindustrian, dan Indonesia Power," kata Hens.

Arahan itu tertuang dalam Peraturan Presiden 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Tertulis pada lampiran Perpres itu, pengembangan industri garam jadi salah satu proyek harus dikebut pemerintah di bidang teknologi. 

Mandat itu, kata Hens, dijalankan BPPT dan instansi terkait dengan riset dan pembangunan sejumlah proyek rintisan. Hens salah satu peneliti BPPT yang terlibat langsung dalam menjalankan arahan Presiden itu. 

Salah satu proyek rintisannya ialah pembangunan instalasi permunian garam di pabrik PT Garam Indonesia di Manyar. Teknologi hasil riset peneliti BPPT itu sudah diujicoba pada 2021 dan terbukti mampu meningkatkan kualitas garam rakyat. Kapasitas produksinya sekitar 400 ribu ton per tahun. 

Namun, PT Garam urung memanfaatkan teknologi tersebut. Keputusan itu dikeluarkan jajaran direksi baru sejalan dengan arahan Kementerian BUMN. Kementerian pimpinan Erick Thohir itu menginstruksikan agar perusahaan-perusahaan pelat merah hanya menggunakan teknologi baru yang terbukti menguntungkan secara ekonomi saat menghasilkan produk untuk dijual. 

"Direksi ganti semua. Kemudian Kementerian BUMN minta harus ada sertifikat provenisasi secara ekonomi. Teknologi itu harus dibuktikan murah dan menguntungkan. Berarti harus ada yang menjual produk supaya ada gambaran cost (biaya). Berapa kemudian yang dijual dan dapat untung berapa," jelas Hens. 

Kebijakan baru itu bikin proyek rintisan BPPT mangkrak. Padahal, kapasitas produksi proyek rintisan itu tergolong masih kecil untuk menyuplai kebutuhan garam nasional. Untuk kebutuhan aneka pangan saja, Indonesia setidaknya butuh 600 ribu ton garam. "Butuh 15 pabrik lagi. Kami hanya ingin membuat contoh sebenarnya," jelas Hens. 

Pada 2021, kebutuhan garam nasional tercatat mencapai 4,6 juta ton. Namun, PT Garam dan sentra-sentra garam di Indonesia hanya bisa memproduksi sekitar 1,5 juta ton. Sekitar 3,07 juta ton garam diimpor. Selain itu, ada sekitar 738 ribu ton garam produksi lokal yang tidak terserap karena kualitasnya rendah. 

"Impor kita masih lumayan banyak, tapi kualitas garam rakyat kita masih rendah sehingga butuh teknologi peningkatan kualitas. Kadar NaCl garam rakyat rata-rata masih di bawah 90%. Makanya, kami buat teknologi peningkatan NaCl garam rakyat ke garam industri," ucap Hens.

Garam industri, kata Hens, harus punya kadar kemurnian NaCl sekitar 97%. Di sektor farmasi dan kosmetik, perusahaan-perusahaan bahkan mematok kadar kemurnian paling rendah 99%. 

"Bayangin itu kalau dikloning (direplikasi) jadi beberapa pabrik oleh pihak BUMN atau industri swasta. Saya rasa untuk menyerap 700 ribu ton garam yang tidak terserap bisa tercapai," kata Hens.

Selain pabrik permunian garam, Hens mengatakan, BPPT juga mengembangkan teknologi untuk mengolah air buangan (rejected brine) pembangkit listrik teknologi uap (PLTU) untuk menghasilkan chlor alkali plant (CAP) untuk bahan baku industri kosmetik serta meriset teknologi bittern yang menghasilkan produk turunan garam industri berupa MgO dan minuman isotonik.

Untuk rekayasa garam CAP, Hens mengatakan, proyek rintisannya sudah dibangun di PLTU Suryalaya di Cilegon, Banten. Kapasitasnya sekitar 2 ton garam CAP per hari. Teknologi yang dirancang BPPT untuk pemurnian air buangan PLTU itu sudah diuji coba dan terbukti mampu menghasilkan garam dengan kandungan NaCl sebesar 98% serta magnesium (Mg) dan kalsium (Ca) di bawah 0,06 sebagaimana spesifikasi industri CAP.

Menurut Hens, Indonesia bisa menghasilkan 1,8 juta ton garam CAP per tahun jika teknologi yang ia kembangkan bersama koleganya direplikasi di semua PLTU di Jawa. Selama ini, kebutuhan garam CAP Indonesia sebesar 2,5 juta ton per tahun dan mayoritas diimpor dari Australia.

"Teknologi ini juga bisa menghasilkan air bersih yang dapat dikonsumsi dengan perbandingan 1 banding 6. Jadi, kalau air yang diolah 7 ton akan menghasilkan garam 1 ton. Berarti ada 6 kubik air bersih yang dihasilkan. Selain itu, ada mineral lain yang bisa diolah, seperti magnesium, kalsium, dan sulfat," terang Hens. 

Proyek rintisan garam CAP PLTU Suryalaya semula diproyeksikan bakal mulai beroperasi pada 2022. Namun, target pengoperasian dimundurkan lantaran kendala pada anggaran riset imbas pandemi Covid-19. "Jadi, mungkin baru tahun depan akan ada pabrik 100 ribu ton yang besar-besar," imbuh Hens.

Ganjalan nonteknis

Mantan Deputi Bidang Teknologi BPPT Eniya Listiani Dewi mengaku heran aplikasi teknologi pemurnian garam yang dikembangkan peneliti BPPT terganjal kendala nonteknis. Menurut dia, inovasi teknologi pengolahan garam yang dirintis peneliti BPPT sudah sangat mumpuni. 

"Dari dulu selalu ada persoalan non teknis. Saya sih enggak mau menyalahkan pihak mana pun. Tapi, sebenarnya teknologi kita sudah siap," ujar Eniya saat berbincang dengan Alinea.id via Zoom, Minggu (7/8).

Sebelum dipegang Hens, proyek pemurnian garam rakyat di Manyar dirintis Eniya dan sejumlah peneliti dan perekayasa BPPT. Pembangunannya sudah dimulai sejak 2019. Proyek pemurnian garam itu "pindahan" dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Eniya dan rekan-rekannya pernah diinstruksikan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menggarap proyek pemurnian garam rakyat di lahan seluas 280 hektare di Kupang, NTT. Dana sebesar Rp40 miliar telah dikucurkan. Namun, proyek tersebut terkendala persoalan lahan. 

"Ternyata itu bukan lahan pemda karena lahan perorangan. Jadi, ada masalah lahan. Lahan yang disewa itu statusnya belum clear. Sampai sekarang, pabrik di Kupang belum jadi. Padahal, swasembada garam ditargetkan 2021. Kalau sukses, bakal dikloning menjadi 5 pabrik di tempat lain," tutur Eniya.

Ganjalan nonteknis juga pernah dialami tim Eniya saat menggarap proyek garam farmasi. Pada 2015, bersama Kimia Farma, tim peneliti BPPT yang dipimpin Eniya pernah merancang dan membangun pabrik garam farmasi di Watu Dakon, Ponorogo, Jawa Timur. Dari hasil uji coba, pabrik itu sudah bisa menghasilkan 2.000 ton garam farmasi per tahun. 

"Kita ingin mensubtitusi impor dari 4.000 ton per tahun garam farmasi. Artinya kita sudah mensubtitusi impor sebesar 50%. Kalau itu berhasil, fase berikutnya sudah skala pengembangan," kata Eniya.

Ketika itu, garam farmasi yang dihasilkan tak bisa langsung dikomersialiasi. Salah satu yang mengganjal ialah pedoman cara pembuatan obat yang baik (CPOB) yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Diperlakukan bak obat, garam farmasi harus dihasilkan menggunakan peralatan berbahan stainless steel.

Menurut Eniya, produksi garam farmasi tak mungkin dilakukan menggunakan peralatan berbahan baja. Reaksi kimia antara garam dan baja bakal menghasilkan karat. Walhasil, produk yang dihasilkan potensial terkontaminasi. 

"Ini yang sangat memberatkan saat merancang desain dan realisasi di lapangan. Jadi, kenapa enggak jalan? Bukan karena urusan teknis, tapi lebih kepada nonteknis. Saya perlu dua tahun membujuk BPOM mau mengubah regulasi agar tidak kaku seperti bahan baku obat," kata Eniya.

Pada 2017, pengembangan garam farmasi terhenti karena perubahan susunan direksi di Kimia Farma. Proyek tersebut kembali jalan setelah mendapat suntikan dana dari PT. Karya Daya Syafarmasi (KDS). "Saat ini, PT KDS dan Kimia Farma sudah jalan. Tinggal menunggu market-nya," ujar Eniya.

Presiden Jokowi meninjau panen garam di Kecamatan Kuoang Timur Kabupaten Kupang NTT, Rabu (21/8/2019). /Foto Antara

Ganjalan harga

Direktur Utama PT Garam Arif Haendra membenarkan perusahaannya belum "berani" menggunakan teknologi pemurnian garam buatan eks peneliti BPPT karena masih menunggu pembuktian dari segi bisnis. Sejauh ini, Arif menyebut PT Garam masih mengandalkan bahan baku impor lantaran garam produksi lokal masih terlampau mahal harganya. 

"Dari petani sudah Rp750 per kilogram. Lalu, dicuci susut 15%. Biaya mencucinya Rp400-500 rupiah per kilogram. Sudah Rp1500 lebih keluar biaya. Yang impor hanya Rp500. Jadi, ada disparitas harga karena di luar negeri skala ekonominya pertama sangat besar. Jutaan ton dan tidak dikerjakan oleh manusia," kata Arif kepada Alinea.id, Senin (15/8).

Menurut Arif, kualitas garam petani lokal sebenarnya tak jauh berbeda dengan kualitas garam yang diimpor. Sebagaimana dibuktikan peneliti BPPT, pemurniannya pun bisa dilakukan. Hanya saja, harga bahan baku dari tangan petani tidak kompetitif saat sampai ke tangan pengusaha.

"Pabrik (pemurnian) serupa yang itu (bisa menghasilkan) 1,5 juta ton. Tapi, problemnya, bahan baku lokal harganya tinggi karena prosesnya sangat tradisional. Kita mau jual harga berapa? Sejauh ini belum masuk skala ekonominya," terang Arif. 

Arif menekankan bila ia bukan anti teknologi dalam negeri. Ia bersedia menggunakan alat tersebut apabila ada pihak swasta yang berhasil melakukan produksi secara efisien dan menghasilkan produk dengan harga yang kompetitif. 

"PT Garam siap memanfaatkan alat tersebut. Tapi, sebelumnya sebenarnya kebutuhan untuk beberapa aspek industri, seperti aneka pangan dan sebagainya. Industri yang sebenarnya tidak butuh-butuh amat garam impor berkualitas, ya, diproteksi saja. Jangan beli garam impor," kata Arif.

Komisaris Utama PT Garam Fredy Juwono memandang wajar jika direksi PT Garam belum bisa segera menggunakan teknologi pemurnian garam buatan BRIN. Pasalnya, ada pertimbangan ongkos produksi yang harus dihitung sesuai mekanisme pasar.

"Jadi, yang dipertimbangkan bukan lagi kualitasnya, tapi daya saing harga. PT Garam itu BUMN, dia belum mau menggunakan kalau belum terbukti ekonomis karena nanti bisa merugikan perusahaan," kata Fredy kepada Alinea.id, Selasa (16/8). 

Fredy mengungkapkan jajaran komisaris sepakat agar peluang ekonomi penggunaan teknologi pemurnian garam BRIN dihitung terlebih dahulu. PT Garam, kata dia, tak ingin jika niat baik perusahaan untuk menyerap garam rakyat justru malah merugikan dari sisi bisnis.

"Jadi, sebenarnya titik keseimbangan yang mesti dicari antara pemurnian garam petani sama produksi yang murah agar harga garam juga murah dan kompetitif dengan garam lokal. Jadi, jangan sampai produksi PT. Garam terhambat produksinya gara-gara penggunaan teknologi ini, bila belum diproven," kata Fredy.

Ilustrasi petani garam. /Foto Antara

Dorong scale up

Kepala Bidang Pemanfaatan Teknologi Kementerian Koordinator Kementerian Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Masduki mengatakan kementeriannya tengah mendorong proyek pemurnian garam yang dikembangkan BPTT di pabrik PT Garam di Manyar ditingkatkan ke skala komersial.

"Pada skala uji di PT Garam, sesungguhnya teknologi ini sudah dapat dibuktikan dengan berhasilnya proses pemurnian garam rakyat dengan meningkatnya kadar NaCl pascadiolah dengan peralatan dari BPPT," kata Masduki kepada Alinea.id, Senin (15/8).

Masduki mengatakan sedang mendekati Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar teknologi pemurnian garam rancangan BPPT atau kini BRIN itu mendapat investasi dari pengusaha. Ia meyakini banyak pengusaha yang tertarik melanjutkan proyek tersebut. 

"Pihak swasta yang sudah bersedia memanfaatkan teknologi ini adalah PT KAK. Namun, masih terkendala penyediaan lokasi atau lahan pabriknya. Pihak BUMN, dalam hal ini Kimia Farma, juga berminat untuk memanfaatkan teknologi pemanfaatan bittern sebagai bahan baku farmasi," ungkap Masduki.

Bittern ialah istilah khusus untuk menyebut limbah garam. Saat ini, peneliti BRIN tengah meneliti pengolahan bittern menggunakan membran supaya limbah tersebut memiliki nilai tambah. Selama ini, bittern biasanya dibuang oleh petani garam di sentra-sentra produksi garam. 

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Lebih jauh, Masduki menyayangkan jika proyek pemurnian garam di Manyar teganjal syarat yang berbelit di hilir. Ia menegaskan kementeriannya siap mendukung pengembangan proyek tersebut. Apalagi, pengembangan garam industri juga masuk dalam daftar proyek strategis nasional teranyar versi Permenko Nomor 9 Tahun 2022. 

"Tapi, kami akan memberi dukungan yang dapat diberikan tentunya adalah kemudahan berusaha melalui kemudahan perizinan dan ke depan adanya kepastian pasar (off-taker) sekaligus mengurangi volume impor (Kementerian Perdagangan)," jelas Masduki. 

Terpisah, pelaksana tugas Direktur Penguatan Kemitraan Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN Salim Mustofa mengaku BRIN tengah berkomunikasi dengan PT Garam dan perusahaan swasta untuk memastikan teknologi pemurnian garam yang dikembangkan para periset dan perekayasa BPPT bisa dilanjutkan. 

"Sekarang, kami sedang penjajakan lagi dengan PT Garam. Saya belum bisa bicara banyak karena takutnya melanggar NDA (non disclosure agreement)," kata Salim kepada Alinea.id, Senin (15/8) lalu.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan