Bisakah Jamaah Islamiyah berganti jubah?
Densus 88 Polri kembali menangkap terduga teroris anggota Jamaah Islamiyah (JI) di Bekasi, Jawa Barat, pertengahan November lalu. Kali itu, tiga ulama digulung Densus dari kota berjuluk kota Patriot itu. Salah satunya ialah Farid Ahmad Okbah (FAO), Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI).
Farid disebut polisi sebagai petinggi di Dewan Pengarah Lembaga Amil Zakat Badan Mal Abdurrahman Bin Auf (LAZ BM ABA). Diketuai Fitria Sanjaya (FS)--turut ditangkap polisi bersama Farid--lembaga itu ditengarai sengaja dibentuk untuk mengumpulkan dana bagi jaringan JI.
"FS itu dalam strukturnya meminta petunjuk dan laporan kepada FAO dan ZA (Ahmad Zain An-Najah). Dia meminta petunjuk dan bagaimana, apalagi yang harus dikerjakan dan seterusnya," kata Kepala Bagian Bantuan Operasi (Kabagbanops) Densus 88 Kombes Aswin Siregar kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (25/11).
Di luar dugaan keterlibannya sebagai orang JI, Farid diketahui sempat menjabat Ketua Majelis Syuro Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) DKI Jakarta. Nama pria kelahiran Bangil, 5 Mei 1963 juga sempat tercatat sebagai salah satu anggota Majelis Syuro Partai Masyumi Reborn yang dideklarasikan pada November 2020 lalu.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menyebut Farid ditangkap berbasis informasi yang disampaikan tersangka kasus teroris bernama Arif Siswanto (AS). Menurut Ramadhan, Farid mengusulkan kepada AS untuk membentuk partai politik untuk melindungi anggota-anggota JI.
"Dia (Farid) ikut memberikan solusi kepada saudara AS (Arif) yang telah ditangkap terkait dengan pengamanan anggota JI pasca penangkapan saudara PW (Para Wijayanto) dengan membuat wadah baru. Adapun partai yang dibentuk oleh FAO adalah Partai Dakwah Rakyat Indonesia," kata Ramadhan.
Para Wijayanto yang dimaksud Ramadhan ialah pemimpin JI yang ditangkap Densus 88 di Bekasi pada 2019. Ia memimpin JI setelah organisasi tersebut resmi dilarang pemerintah pada 2007. Para telah berulangkali mengirimkan kader-kader JI untuk berlatih militer di Suriah.
Wakil Ketua Umum PDRI Masri Sitanggang membantah tudingan Polri. Ia menyebut pembentukan PDRI merupakan gagasan kolektif dari para petinggi Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Partai Islam Ideologis (BPU-PPII).
"Ustadz Farid Ahmad Okbah adalah orang yang diamanahkan oleh BPU-PPII untuk menerima jabatan sebagai ketua umum karena BPU-PPII melihat rekam jejaknya yang konsisten dalam dunia dakwah dan tidak pernah terlibat dalam aksi melanggar hukum atau inkonstitusional. Apalagi, terlibat teror," ujarnya dalam pernyataan kepada media.
Saat ini, menurut Masri, PDRI masih menunggu surat keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selagi menunggu berbadan hukum, PDRI tengah fokus membentuk jaringan di tingkat provinsi, kabupaten, kota, dan kecamatan.
"Selama ini aktivitas kepartaian hanya terkait hal tersebut dan merupakan aktivitas konstitusional yang dibolehkan oleh hukum di Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi,” kata pria kelahiran 5 Oktober 1959 itu.
Terlepas dari kontroversi PDRI dibentuk untuk menampung orang-orang JI, pengamat terorisme Al Chaidar menyebut polisi keliru jika terus menangkapi orang-orang yang diduga terafiliasi dengan JI. Menurut dia, JI sudah bukan lagi organisasi teroris.
Pada periode 2007-2013, JI telah bertransformasi menjadi lembaga dakwah dan tidak pernah lagi tercatat melancarkan aksi-aksi teror di dalam negeri. Serangan teroris terakhir yang melibatkan JI terjadi pada 2009. Setelah 2013, JI kembali berganti jubah sebagai lembaga humanitarian.
"JI menjadi organisasi humanitarian atau organisasi yang banyak mengumpulkan dana kemanusian. Jadi saya pikir Ustaz Farid dan Ustaz Zain yang masuk ke JI di fase ketiga dan keempat tidak terlibat dengan aksi terorisme organisasi JI," kata Al Chaidar.
Kelompok teror dan parpol
Resmi berdiri pada 1993, JI sebenarnya tergolong organisasi teroris yang tua. Kebanyakan kelompok teroris, sebagaimana dicatat Seth G Jones dan Martin C Libicki dalam How Terrorist Group End: Implication for Countering Al Qaeda yang terbit pada 2008, rata-rata berumur pendek.
Dalam kajiannya, Jones dan Libicki meneliti 648 kelompok teroris yang aktif beroperasi pada periode 1968 hingga 2006. Pada periode itu, mereka menemukan sebanyak 268 kelompok teroris bubar, 136 kelompok teroris pecah, dan 244 lainnya tetap aktif.
Mayoritas kelompok teroris, kata Jones dan Libicki, berakhir karena dua alasan utama. Pertama, kelompok teroris hancur lantaran diberantas polisi hingga ke akar-akarnya (40%). Kedua, organisasi teroris bubar karena dibukakan jalan oleh pemerintah untuk terlibat dalam proses politik.
"Kebanyakan kelompok teroris yang berakhir karena proses politik biasanya punya tujuan politis yang sempit. Semakin sempit tujuan mereka, semakin mungkin mereka mencapainya lewat politik akomodasi," tulis Jones dan Libicki.
Sisa kelompok teroris lainnya, menurut kajian mereka, berakhir karena diberantas militer (7%) atau meraih kemenangan karena tujuannya tercapai (10%). Kelompok teroris yang sukses meraih kemenangan umumnya punya merupakan kelompok besar yang punya anggota lebih dari 1.000 orang.
Dalam kajian itu, Jones dan Libicki juga menemukan kelompok teroris yang dimotivasi agama cenderung lebih resilien ketimbang kelompok teroris lainnya. "Tapi, mereka jarang mencapai tujuan mereka. Tidak satu pun kelompok teroris berbasis agama yang meraih kemenangan dalam periode itu," jelas Jones dan Libicki.
Di luar jenis ideologinya, kelompok teroris terkadang bersikap rasional. Pada keadaan terdesak atau saat mendapat tawaran menarik, kelompok teroris bisa diajak berkompromi. Bersama bekas "musuh" mereka, tokoh-tokoh kelompok teroris bahkan kerap berkompetisi di pemilu untuk berebut kekuasaan secara legal.
Terlepas dari proses politisasinya yang beragam, kelompok teroris yang berhasil bertransformasi menjadi partai politik, semisal African National Congress (ANC), Hezbollah, Palestinian Liberation Organization (PLO), Kosovo Liberation Army, dan Irish Republican Army (IRA).
Meski begitu, proses politisasi kelompok teroris tak selalu mulus. Dalam "How Al Qaeda Ends: The Decline and Demise of Terrorist Group" yang terbit di jurnal International Security pada 2006, Audrey Kurth Cronin mengatakan politisasi dan proses negosiasi potensial membuat kelompok teroris pecah.
Langkah PLO membuka opsi damai dengan Israel, misalnya, menyebabkan lahirnya sejumlah kelompok sempalan (splinter) di tubuh organisasi pimpinan Yasser Arafat tersebut. Pada kasus IRA, Real Irish Republican Army terbentuk setelah perjanjian damai antara IRA dan pemerintah Inggris ditandatangani pada 1980-an.
Salah satu proses politisasi kelompok teroris yang paling kontraproduktif, kata Cronin, terjadi di Kolombia. Pada 1984, pemerintah Kolombia menandatangani perjanjian damai dengan Ejercio Popular de Liberation (EPL) dan menganugerahkan status politik kepada EPL.
Perjanjian itu diprotes faksi-faksi di tubuh EPL. Sejumlah anggota EPL kemudian membentuk organisasi paramiliter baru yang lebih "sadis" ketimbang pendahulunya. Tak butuh lama, perjanjian damai dilupakan. Perang antara kelompok teroris dan militer pun kembali pecah.
"Kekerasan meningkat dan bahkan kian membuat aktor-aktor politik makin terpecah. Yang terburuk, kelompok-kelompok sempalan ini lebih berbahaya dari organisasi induknya. Melancarkan aksi teror sebagai respons keharusan untuk menunjukkan eksistensi mereka dan sinyalemen ketidakpuasan terhadap perjanjian damai," jelas Cronin.
Proses politisasi pada kelompok teroris juga tidak serta merta selalu disertai pelucutan senjata. Sejumlah kelompok teroris, di antaranya Hezbollah dan Hamas, tetap mempertahankan sayap militer mereka meskipun sudah menyandang status sebagai partai politik resmi di negara masing-masing.
Dalam Bombs and Ballots: Governance by Islamist Terrorist and Guerilla Groups yang terbit pada 2010, Krista E. Wiegand merinci ada sejumlah tahapan yang mesti dilalui oleh organisasi teroris atau geriliawan sebelum bertranformasi menjadi entitas politik yang legal di negara masing-masing.
Tahapan-tahapan itu, semisal melepaskan jalan kekerasan, menggeser tujuan organisasi, membangun sayap politik, menerima eksistensi sistem dan institusi pemerintah, memperoleh pengakuan dari negara, dan memobiliasi dukungan dari publik.
Salah satu tahap paling penting, kata Wiegand, ialah menyetop aksi-aksi teror dan menjauhi jalan kekerasan. Dalam proses ini, anggota kelompok teroris harus mau dilucuti senjatanya, menghentikan aktivitas-aktivitas kriminal, dan kembali diintegrasikan ke masyarakat.
"Tak hanya menghentikan kekerasan, kelompok teroris juga harus mau melepaskan tujuan-tujuan politis yang dianggap membahayakan eksistensi negara dan institusinya... Di sisi lain, penting bagi pemerintah yang berkuasa saat itu juga untuk mengakui dan menjamin hak-hak kelompok-kelompok itu untuk eksis sebagai partai politik," jelas Wiegand.
Langkah lain yang tak kalah krusial ialah meningkatkan kepercayaan publik terhadap eks kelompok teroris. Karena kelompok teroris kerap ditakuti atau dibenci mayoritas publik, Wiegand mengatakan, upaya-upaya untuk mengubah persepsi mesti menjadi salah satu fokus utama kelompok teroris usai reintegrasi.
Masih jadi ancaman?
Lantas mungkinkah JI melepas jalan kekerasan dan berganti jubah menjadi lembaga dakwah atau organisasi politik? Dalam sebuah analisis yang yang terbit di The Diplomat, peneliti Centre of Excellence for National Security (CENS) Bilveer Singh mengatakan JI tetap menjadi kelompok teroris yang paling berbahaya di Asia Tenggara.
Dari perbincangan dengan mantan anggota JI Sofyan Tsauri dan Anwar Abbas, Singh mengaku mendapat informasi JI masih tetap mempertahankan sayap militernya. Kebanyakan anggota sayap militer JI merupakan dalang dan pelaku pengeboman yang terjadi di Indonesia pada periode 2000-2009.
"Elemen militer ini tidak dimobilisasi tetapi semata dibiarkan tidak aktif. Mereka 'diparkir' sampai ada instruksi untuk bergerak. Sejak 2009, kader militer JI hanya terlibat dalam pertempuran di luar Indonesia, terutama di Filipina, juga di Irak dan Suriah," jelas Singh.
JI masih aktif menyebarkan ideologi di pesantren, masjid, dan institusi pendidikan. Di luar itu, JI juga ditengarai punya lembaga penerbitan dan outlet media. Risalah Mujahideen and Symina--dua media yang rutin beredar di Yogyakarta dan Kudus--ditengarai milik orang JI.
Wajah JI lainnya, lanjut Singh, ialah lembaga humanitarian. Ia menyebut Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) yang aktif beroperasi di Timur Tengah sebagai lembaga kemanusiaan yang terafiliasi dengan JI. Oleh AS, lembaga itu sudah ditetapkan terkait dengan Al Qaeda dan JI.
"JI juga mengirim bantuan kemanusiaan untuk mendukung orang-orang bertempur di area operasi JAN. Grup humanitarian lainnya yang terkait JI semisal Lembaga Kemanusiaan One Care. Lembaga itu beroperasi sebagaimana HASI," tulis Singh.
Saat ini, JI diperkirakan memiliki sekitar 2.000-3.000 kader militan dan jutaan simpatisan. Menurut Singh, JI bisa tetap bertahan dan bahkan berkembang pesat lantaran polisi tengah sibuk "mengurusi" kelompok-kelompok teroris yang terafiliasi dengan ISIS sejak 2014.
Hingga kini, JI tetap loyal terhadap para pemimpin Al Qaeda. Banyak anggota JI punya hubungan erat dengan kelompok teroris pro-Al Qaeda semisal Jabhat al-Nusra (JaN) atau organisasi penerus kelompok itu, semisal Jabhat Fatah al-Sham (JFaS) dan Tahrir al-Sham (TaS).
Meskipun emirnya terus berganti, Singh menilai, struktur JI tetap utuh. Itu terlihat masih diadopsinya Pedoman Umum Perjuangan (PUP) JI sebagai arah perjuangan organisasi tersebut dan pertemuan berkala yang digelar petinggi JI. "JI bisa tetap hidup seandainya kursi pemimpin vakum," kata dia.
Pengamat terorisme dari Universitas Udayana, AA Bagus Surya mengatakan sulit bagi JI untuk bertransformasi menjadi partai politik. Menurut Surya, JI tak mungkin melepas ideologinya, menerima sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, dan terjun ke arena politik.
"Kalau JI berubah secara ideologi berarti dia bukan JI lagi, tetapi organisasi yang berbeda. Secara ideologi, JI pasti sulit berubah. Akan tetapi, secara kemasan, sangat mungkin JI berubah agar bisa diterima oleh audiens yang lebih besar," kata Surya saat dihubungi Alinea.id, Selasa (30/11).
Dalam kajian terorisme, menurut Surya, sebuah kelompok teroris memang memungkinkan punya banyak wajah. Apalagi, kelompok tersebut punya banyak pengikut dan stok dana yang mumpuni untuk menjalankan berbagai front perjuangan.
"Kalau kita memahami JI sebagai kelompok, maka akan sangat bisa mereka mengalami perubahan fase kelima (berpartisipasi dalam proses politik). Akan tetapi, kalau JI dipahami sebagai sebuah spirit perjuangan, maka tidak mungkin dia bisa berubah ke fase kelima," jelas Surya.