Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut ada kejanggalan dalam maksud dan tujuan pemerintah pusat membebaskan bea masuk dan pajak impor, bagi barang-barang untuk keperluan penanganan Covid-19. Hal ini lantaran Pasal 9 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengamanatkan kebijakan tersebut, tak memberikan latar belakang atau alasan yang tegas kebijakan tersebut dapat diterapkan.
"Kalau kita menyaksikan keanehan dalam perppu ini, saya merasa yang membuat perppu ini sudah mengatur sangat cemerlang supaya bisa digunakan hanya untuk ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, atau sistem stabilitas sistem keuangan tanpa terkait akibat pandemi Covid-19," ujar Asfinawati dalam diskusi yang digelar secara virtual di Jakarta, Selasa (21/4).
Dalam Pasal 9 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, disebutkan bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Poin a pasal tersebut menyebut fasilitas tersebut dapat diberikan dalam rangka menangani pandemi Covid-19. Adapun dalam poin b pasal tersebut, disebutkan kebijakan tersebut dapat diterapkan dalam "menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan."
Menurut Asfinawati, dua penjelasan ketentuan tersebut tidak konsisten dan tak berhubungan. Dengan demikian, Menteri Keuangan dapat menerapkan kebijakan tersebut dalam situasi apapun.
Kejanggalan semakin dirasakan Asfinawati lantaran aturan turunan dari perppu tersebut cukup banyak. Dia merinci, terdapat satu peraturan presiden, delapan peraturan pemerintah, dan tujuh peraturan menteri yang tertera sebagai turunan ketentuan tersebut.
Pada 17 April 2020 lalu, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona.
"Artinya, kita sebetulnya tidak betul-betul tahu apa yang diatur dalam sebuah Perppu ini. Nah ini ciri-ciri perppu yang berpotensi untuk abuse of power," kata Asfinawati menjelaskan.
Selain itu, Asfinawati menilai proses penyusunan perppu terkesan tidak transparan. "Apalagi ya kita tidak tahu bagaimana mekanismenya (penyusunan), tiba-tiba sudah jadi aja," ucapnya.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, terdapat 73 jenis barang yang diberikan fasilitas bebas bea masuk dan pajak impor untuk kebutuhan penanganan Covid-19.
Sebanyak 73 jenis barang itu di antaranya hand sanitizer dan produk mengandung disinfektan, termasuk sabun mengandung obat seperti sabun disinfektan; test kit dan reagent laboratorium seperti tes cepat dan massal atau rapid test, dan alat tes polymerase chain reaction (PCR).
Kemudian, media kultur olahan untuk pengembangan mikroorganisme tes swab, serta kelompok obat dan vitamin. Peralatan medis di antaranya termometer, ventilator, swab, alat pemindai panas manusia, alat suntik, alat uji laboratorium in vitro baik elektrik maupun non elektrik, alat terapi oksigen, hingga inkubator bayi.
Kelompok barang lain yakni alat pelindung diri (APD) di antaranya masker dan pakaian pelindung, sarung tangan, alat pelindung kaki, pelindung wajah, kacamata pelindung, pelindung kepala.