Penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipker) terus berlanjut. Puluhan guru besar, dekan, dan sekitar 200 dosen di 67 perguruan tinggi menyatakan sikap untuk menolak UU Cipker yang disahkan oleh DPR bersama pemerintah pada Senin (5/10).
Penolakan didasarkan lantaran proses pembahasan dan pengesahan UU sapu jagat itu dianggap janggal. Karena itu, mereka mempertanyakan sikap DPR dan pemerintah yang telah mengesahkan regulasi Omnibus Law UU Cipker.
"Kenapa UU Cipker yang prosedur dan materi muatannya sebagaimana tadi telah disampaikan, banyak bermasalah harus terburu-buru disahkan bahkan sampai menyita waktu istirahat para anggota dewan dan menteri-menteri yang terhormat," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Profesor Susi Dwi Harijanti, saat membacakan pernyataan sikap yang dilakukan secara daring lewat aplikasi Zoom pada Rabu (7/10).
Susi menyatakan, proses pembahasan dan pengesahan yang dilakukan tengah malam berpotensi menghasilkan produk hukum yang banyak menyimpang. Bahkan, penggrapan regulasi di tengah malam dapat melahirkan persepsi publik negatif terhadap kinerja DPR dan pemerintah.
Di samping itu, Susi juga menyayangkan, sikap abai DPR dan pemerintah dari telaah ilmiah yang mengkritik kehadiran UU Cipker.
"Lalu, dianggap apa sesungguhnya partisipasi publik yang harus diadakan menurut Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 juncto UU Nomor 15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan?" tanya dia dengan nada tinggi.
"Apakah memang tidak ingin mendengar suara kami, suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini," lanjut dia,
Susi menilai, regulasi sapu jagat yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat baru dilantik pada tahun lalu sarat dengan pelanggaran konstitusi. Misalnya, kewenangan luas yang diberikan oleh pemda sebagaiman bunyi Pasal 18 ayat 5 UUD 1945.
"Ternyata, UU Cipker ini banyak sekali menarik semua kewenangan ke pusat dengan ratusan peraturan pemerintah yang menjadi turunan UU," paparnya.
Dia menganggap, pemda telah dikerdilkan dengan adanya regulasi omnibus law ini. "Jakarta menjadi terlalu kuat. Bahkan pendapatan asli daerah bisa berkurang karena undang-undang inisiatif dari pemerintah," terang Susi.
Di sisi lain, terjadi pengabaian terhadap hak-hak buruh yang tertuang dalam regulasi itu. "Bagaimana relasi buruh dan perusahaan dapat adil, jika buruh diwajibkan mematuhi aturan perusahaan yang dibentuk oleh perusahaannya?" terangnya.
"Jangankan hak manusia, hak lingkungan hidup pun diabaikan," tambah dia.
Kendati demikian, para akademisi itu berharap, pada pemangku kebijakan yang terlibat dalam perancang RUU Cipker dapat mendengar aspirasi rakyat.
"Kami berharap agar bapak-bapak, ibu-ibu yang terhormat, serta saudara-saudara yang lainnya yang terlibat di dalam pembentukan undang-undang Cipta Kerja ini dengan sungguh-sungguh mendengarkan suara keberatan kami. Kami rakyat Indonesia," tandasnya.
Pernyataan sikap itu terdiri dari IAIN Samarinda, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, STHI Jentera, STH Bandung, STIH Amalong Samarinda, Universitas Airlangga, Universitas 17 Agustus Semarang, Universitas 17 Agustus Samarinda, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universitas Andalas, Universitas Bengkulu, Universitas Brawijaya, Universitas Bung Hatta, Universitas Borneo Tarakan, Universitas Cendrawasih, Universitas Cokro A Minoto Yogyakarta, Universitas Diponegoro.
Kemudian, Universitas Gadjah Mada, Universitas Halueleo, Universitas Hangtuah Surabaya, Universitas Hassanudin, Universitas Isan Gorontalo, Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, UIN Alaudin, UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, Universitas Jember, Universitas Jendral Sudirman, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
Selanjutnya, Universitas Katolik Sugiapratana, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Lampung, Universitas Mataram, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Universitas Merdeka Malang, Universitas Mulawarman, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Muhammadiyah Luwuk, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kemudian Universitas Ibnu Hadun Bogor, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Nusa Cendana, UPN Veteran Jakarta, Universitas Palangkaraya, Universitas Padjajaran, Universitas Panca Bakti Pontianak, Universitas Pattimura, Universitas Parahyangan, Universitas Paramadina, Universitas Riau, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Syahwal, Universitas Tadulako, Universitas Trisakti, Universitas Trunojoyo Madura, Unwiku Purwokerto, Unwiku Surabaya, Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda, dan Universitas Widya Mataram.