Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan (JPHPKKS) meminta tim khusus Polri untuk mendalami kembali adanya dugaan kekerasan seksual istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi di Magelang.
Sebab, menurut jaringan, laporan Putri Candrwathi sebelumnya terkait pelecehan seksual di rumah pribadi Ferdy Sambo, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan dihentikan penyidik, dan dianggap sebagai upaya menghalangi penyidikan.
"Dengan preseden sebelumnya, tidak menutup kemungkinan pengakuannya terakhir sebagai korban perkosaan di TKP Magelang, menjadi obstruction of justice jilid kedua, setelah yang pertama gagal, untuk menutup-nutupi motif sebenarnya di balik terbunuhnya Brigadir J," ujar Ratna Batara Munti dari JPHPKKS dalam keterangannya, Sabtu (10/9).
Menurut Ratna, adanya ketimpangan gender di masyarakat membuat perempuan dipandang lebih rentan ketimbang laki-laki sebagai korban kekerasan seksual. Sehingga tidak melihat latar belakang dan status sosial perempuan, perempuan bisa menjadi korban. Namun di sisi lain, anggapan bahwa semua perempuan lemah dan tidak berdaya juga keliru.
"Perempuan memiliki agensi pada dirinya, dan mengabaikan hal ini justru membuat kita menjadi bias," kata dia.
Dalam kasus Putri Candrawathi, Ratna mengatakan penyidik perlu hati-hati. Sebab, profil Putri berbeda dengan umumnya korban kekerasan seksual yang diketahui atau didampingi lembaga layanan selama ini.
"Ada peristiwa besar terkait pembunuhan berencana dan temuan obstruction of justice dimana Putri Candrawathi yang mengaku sebagai korban kekerasan seksual merupakan tersangka pembunuhan dan terlibat dalam upaya perintangan proses hukum," ungkapnya.
Menurut Ratna, analisis relasi kuasa antara pelaku kekerasan dengan perempuan korban yang biasanya digunakan dalam kasus perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja dalam kasus Putri. Faktor relasi mana yang lebih dominan dalam hubungan Putri dengan Brigadir J terutama terkait status sosial, struktur dan kultur kepolisian, semua faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan
Di sisi lain, lanjut Ratna, kasus pembunuhan Brigadir J memperlihatkan ada permasalahan serius di tubuh Polri, sehingga perlu melakukan pembenahan. Terutama terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang masih diskriminatif selama ini.
Dalam kasus Putri sebagai tersangka, kata dia, penyidik tidak melakukan penahanan padahal ia merupakan tersangka pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman yang serius dan terlibat dalam tindakan obstructionof justice.
Sebelumnya, laporan Putri terkait pelecehan seksual di Polres Jakarta Selatan secara cepat di proses ke tahap penyidikan. Respons penyidik memperlihatkan sikap yang membedakan atau tepatnya memberikan perlakuan istimewa terhadap Putri dibanding banyak perempuan lainnya baik sebagai tersangka maupun sebagai korban kekerasan seksual.
Dari banyak laporan penanganan kasus kekerasan seksual, tambah Ratna, laporan korban sulit diproses, dan membutuhkan usaha keras untuk bisa naik ke tahap sidik, bahkan menghabiskan waktu yang lama namun tidak berhasil.
"Begitu pun bagi perempuan tersangka atau terpidana, penahanan tetap dilakukan meskipun memiliki anak bayi bahkan yang masih menyusui," pungkas dia.