Pemerintah RI segera mencari informasi detail identitas ABK WNI di kapal China.
Kasus eksploitasi terhadap anak buah kapal warga negara Indonesia (ABK WNI) pekerja di sebuah kapal penangkap ikan berbendera China menyentak perhatian publik.
Lebih parah lagi, jenazah tiga ABK WNI yang meninggal di kapal itu dibuang ke laut, sebagaimana diungkap stasiun televisi Korea Selatan MBC.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut kasus ini bentuk praktik perbudakan di sektor perikanan, mirip kasus Benjina di Maluku Tenggara 2015 silam.
"Ini semacam fenomena gunung es. Banyak praktik perbudakan dan pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia yang terjadi di kapal perikanan," ujar Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Parid Ridwanuddin dihubungi Alinea.id, Kamis (7/5)
Merujuk data Walk Free Foundation (2016), Parid menyebut sebanyak 736.100 individu yang mengalami perbudakan.
"Sebagian besar pihak yang mengalami perdagangan manusia, dan perbudakan di Indonesia tersebut terjadi di bidang perikanan. Ironisnya, sampai hari ini pemerintah Indonesia tidak memiliki data resmi mengenai jumlah pekerja perikanan sekaligus berapa banyak yang menjadi korban perbudakan di atas kapal," ungkap Parid.
Pihaknya mendesak pemerintah Indonesia segera merumuskan kebijakan perlindungan khusus untuk buruh perikanan yang rentan dengan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM.
"Ini menunjukkan pemerintah Indonesia lemah dalam melakukan perlindungan terhadap ABK Indonesia," bebernya.
KIARA kemudian merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia, di antaranya segera meratifikasi Konvensi ILO 188.
"Jika terjadi di perairan Indonesia, harus ditegakkan hukum Indonesia. Jika terjadi di perairan internasional, pemerintah wajib melakukan diplomasi kepada negara asal kapal itu dan mendorong diberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan dan pelanggar HAM," jelasnya.
Pemerintah Indonesia, lanjut Parid, harus segera mengetahui serta mencari informasi detail identitas korban dan memberikan kabar kepada keluarga korban.
"Negara harus memberikan jaminan kehidupan kepada keluarga korban," terangnya.
KIARA juga mendesak pemerintah mencabut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja karena mengancam perkerja perikanan.
"Pasal 28 RUU Omnibus Law Pasal 35A Ayat 2 yang merevisi UU Perikanan menyebut kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI, wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% dari jumlah anak buah kapal," kata Parid.
Melalui pasal ini, lanjut dia, pemerintah Indonesia memperbolehkan kapal asing untuk memiliki ABK dari Indonesia sebanyak 70%.
"Pasal ini harus dipertanyakan mengingat sampai hari ini Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap konvensi ILO 188 sebagai upaya perlindungan terhadap ABK," urainya.
Bahkan, sambung dia, RUU Omnibus Law Cipta Kerja malah memberikan pintu lebar kepada kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEE.
"Di dalam Pasal 28 RUU Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya yang merevisi pasal 27 ayat 2 UU Perikanan menyebut, setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memenuhi perizinan usaha dari Pemerintah Pusat,” sambungnya.
Padahal, jelas Parid, selama ini yang menjadi aktor utama pelaku pelanggaran HAM perikanan serta perbudakan di atas kapal adalah kapal-kapal asing.
"Poin ini harus diberikan catatan serius, mengingat izin untuk kapal-kapal asing justru akan membuka jalan bagi pelanggaran HAM perikanan serta perbudakan di atas kapal," kata Parid.