Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap menggadaikan keselamatan warga setelah mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal itu, tertuang dalam peraturan turunan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2020 tentang Cipta Kerja–peraturan pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Jadi, perlindungan warga dari limbah batu bara itu omong kosong. Apalagi, sekarang ketika limbah batu bara bukan lagi beracun dan berbahaya," kata Koordinator Jaringan Aktivis Tambang (JATAM), Merah Johansyah dalam keterangan tertulis, Minggu (14/3).
Dalam laporan analisa timbulan dan kebijakan pengelolaan limbah B3 di Indonesia terbitan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), limbah batu bara hasil pembakaran termasuk dalam jenis limbah terbanyak pada 2019. Bahkan, dinyatakan masuk dalam tingkat bahaya tinggi.
Padahal, menurut dia, ketika limbah batu bara masih berstatus limba B3 banyak studi kasus menunjukkan perizinan belum berhasil memastikan perlindungan atas risikonya.
Para penghasil abu limbah batubara maupun pihak ketiga belum betul-betul mengelolah risiko dan memenuhi persyaratan teknis yang layak, sebagaimana diatur regulasi.
Beberapa kasus malah menunjukkan pemilik izin melakukan pembuangan abu ilegal tanpa pengelolaan di sungai, rawa, tanah kosong dekat rumah penduduk, hingga memberikan secara cuma-cuma kepada penduduk sebagai material urug.
Misalnya, kata dia, kasus PT Indominco, Kalimantan Timur, perusahaan ini sudah divonis bersalah akibat pengelolaan buruk limbah batubara dengan membiarkan tidak ada pemulihan di lapangan. "Ironisnya, nilai dendanya sangat kecil dan tidak membuat efek jera," tuturnya.
Kasus serupa juga menyebabkan kerugian terhadap warga di sekitar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Mpanau, Sulawesi Tengah. "Warga (di sana) sakit dan mengadu ke pemerintah justru diminta membuktikan sendiri keterkaitannya penyakit yang diderita dengan dampak limbah batubara operasi PLTU. Dari kasus itu, kebijakan ini membuat pebisnis batubara semakin ugal-ugalan membuang limbah dan terbebas dari hukum," tegasnya.
Di Indonesia, studi tentang pencemaran lingkungan akibat limbah batubara dan dampaknya terhadap kesehatan masih sangat terbatas. Apalagi, informasi hasil pengujian air tanah tidak tersedia untuk diakses publik, meski disyaratkan dalam pengelolaan limbah.
"Seringnya, inspeksi serius dilakukan setelah keresahan masyarakat kian merebak atau jika ada pengaduan masyarakat. Jika pun dijatuhkan, tidak selalu menjamin masyarakat terbebas dari pelanggaran berulang," tutur Merah.