close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pertambangan. Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi pertambangan. Foto Pixabay
Nasional
Minggu, 09 Januari 2022 19:32

JATAM khawatirkan ada transaksi bisnis dalam pencabutan IUP

JATAM menilai pemerintah lebih baik terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar terjadi pemerataan, transparan, dan adil .
swipe

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkritisi niatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Indonesia.

Presiden, Kamis lalu, mengklaim Pencabutan IUP ini dilatari oleh para pemegang IUP tidak pernah menyampaikan rencana kerja, meski sudah bertahun-tahun izin telah diberikan.

Alih-alih pencabutan IUP, JATAM menilai pemerintah lebih baik terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar terjadi pemerataan, transparan, dan adil untuk mengoreksi ketimpangan ketidakadilan dan kerusakan alam.

Selanjutnya, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menyoroti sikap pemerintah yang tak segera membuka data perusahaan yang terdampak pencabutan izin usaha pertambangan (IUP). Menurut dia, semestinya dengan keluarnya surat keputusan pencabutan IUP, pemerintah juga melampirkan daftar perusahaan yang akan dicabut.

“Sikap ESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) yang tampak tertutup itu mengindikasikan ada transaksi yang tengah berlangsung. JATAM khawatir ribuan perusahaan yang izinnya dicabut itu dijadikan sumber keuangan oleh elite politik tertentu,” kata Melky seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Minggu (9/1).

Dia menilai tindakan yang dilakukan hanya akan menambah masalah baru yaitu eksploitasi alam dan kerusakan pulau. Bahkan ini hanya alih-alih elite politik tertentu yang memegang kekuasaan. Menurutnya, langkah yang diambil Jokowi tidak perlu diapresiasi.

“Saya rasa langkah Presiden Jokowi yang mencabut ribuan izin tambang minerba itu, tak ada yang perlu diapresiasi, mengingat selain tak didasari dan tak menyentuh perusahan pemegang IUP yang melakukan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan, juga hanya akan membuka ruang eksploitasi baru yang berdampak pada percepatan dan perluasan kerusakan di seluruh kepulauan di Indonesia," ungkapnya dengan Wartawan.

JATAM menduga, pencabutan ribuan izin tambang ini merupakan bagian dari upaya konsolidasi perusahaan tambang dan percepatan pengerukan komoditas tambang. 

“Alih-alih didasari penyelamatan lingkungan, perlindungan hak warga dan evaluasi atas carut marut proses perizinan tambang, pencabutan izin ini jelas dalam rangka untuk mempercepat pengerukan di tapak-tapak tambang," kata Melky.

Pihak JATAM, kata dia khawatir akan pencabutan IUP tersebut karena pastinya pemerintah yang akan diuntungkan dari pencabutan IUP terlepasnya dari berbagai regulasi yang muncul, pastinya ada kaitannya dari kebijakan fiskal dan perizinan, seperti Revisi UU Minerba dan Undang-undang Cipta Kerja. Ditambah lagi ada jaminan proses perizinan yang lebih singkat dan mudah untuk perusahaan yang mau masuk ke konsesi yang sudah dicabut itu.

“Para pelaku bisnis pertambangan dalam lingkaran pemerintahan saat ini juga patut diduga akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam pencabutan izin tambang ini. Hal ini tidak lepas dari berbagai regulasi yang muncul belakangan yang memberikan banyak insentif fiskal dan perizinan, seperti Revisi UU MInerba dan UU Cipta Kerja, yang akan memberikan karpet merah bagi para oligarki tambang di lingkar kekuasaan untuk masuk dan menguasai konsesi dari ribuan izin yang telah dicabut Presiden Jokowi kemarin," tegas dia dalam keterangan tulisnya.

Selain itu, kebijakan pencabutan izin tambang oleh Presiden Jokowi juga tidak menyentuh perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang memiliki rekam jejak buruk nyata selama ini. 

“Sebagai contoh, misalnya, PT Kaltim Prima Coal (KPC), tambang batu bara terbesar di indonesia saat ini yang terhubung dengan Bakrie, petinggi Golkar, memindah-paksakan warga Dayak Basap di Desa Keraitan di Bengalon dengan cara intimidasi. PT KPC juga diketahui menambang jalan umum di ruas jalan penghubung Bengalon-Sangata yang secara aturan tidak dibolehkan," ungkapnya.

Bahkan, PT KPC telah habis masa kontrak pada 31 Desember 2021, tapi aktivitas di lapangan terus berjalan hingga saat ini. 

Sementara itu, PT KPC, PT Adaro Indonesia juga tercatat pernah merampas tanah ulayat warga di Desa Kasiau, Kabupaten Tabalong, Kalsel. Perusahaan tambang batu bara raksasa milik keluarga Thohir ini, juga tersandung kasus pengemplangan pajak dan menjadi salah satu perusahaan yang menyebabkan banjir parah di Kalsel tiap tahunnya.

“ Selain keluarga Thohir, nama lain yang tercatat pernah menjadi pemilik saham di PT Adaro Indonesia adalah Sandiaga Uno, mantan calon wakil presiden pada Pemilu 2019 lalu yang kini menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif," tuturnya.


JATAM mencatat terdapat anak perusahaan Toba Bara, PT Adimitra Baratama Nusantara yang akibat aktivitas tambangnya menyebabkan rumah-rumah warga ambles di Kukar, Kaltim pada November 2018. Toba Bara merupakan grup perusahaan yang bergerak di bidang energi dan pertambangan diketahui terkait dengan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

“Selain berbasis jejak kejahatan korporasi, pencabutan izin juga mesti menyasar pada perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan bencana. JATAM mencatat, setidaknya terdapat 783 IUP berada di kawasan bencana yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia," jelas dia.

Demikian juga dengan tambang yang berada di kawasan hutan, yang pada 2019 saja, terdapat 2.196 IUP yang beroperasi di kawasan hutan. 

“Belum lagi dengan deretan perusahaan yang meninggalkan lubang-lubang tambang tanpa reklamasi dan telah menyebabkan banyak anak-anak tewas-tenggelam," tutup dia.

img
Ratih Widihastuti Ayu Hanifah
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan